Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat Dan Resolusi Konflik

Category : Makalah

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDH-BM) adalah model pengelolaan hutan yang dapat menjanjikan penyelesaiaan masalah-masalah antara masyarakat dengan pemerintah. Di negara-negara maju seperti Jerman dan Jepang, model hutan yang dikelola oleh rakyat / masyarakat mendapat tempat yang terhormat, dan tetap menjanjikan pelestarian lingkungan yang baik pula. Power rakyat ikut serta dalam mengelola SDH bukan merupakan mimpi kosong, tetapi memang sudah menjadi kenyataan di banyak belahan dunia . Perum Perhutani dan HPH di luar Jawa adalah contoh-contoh model hutan yang dikelola oleh BUMN dan BUMS, dan terakhir menghasilkan kerusakan hutan yang sangat serius. Dapat saja orang mengatakan bahwa kemunduran dan kegagalan pengelolaan hutan selama ini karena kualitas SDM rendah. Kemungkinan hal tersebut ada benarnya, tetapi tidak satu-satu karena kualitas SDM. Kriteria lainnya disebabkan karena MORAL hazard dari para pelaku kegiatan kehutanan dan karena lemahnya pengawasan.

Konsep PSDH – BM menghadapi tantangan yang cukup berat karena juga berkaitan dengan SDM masyarakat yang secara rata-rata memiliki pendidikan SD, dan bahkan banyak masyarakat yang tidak lulus sekolah dasar. Konsep PSDH – BM juga menghadapi tantangan dari pemerintah Kabupaten sebab belum tentu pihak Kabupaten memiliki political will untuk mendukung penguatan masyarakat. Oleh karena peran DPRD Kabupaten sangat penting dalam rangka mendukung PSDH-BM dan dalam rangka mengontrol kepentingan-kepentingan pihak pemerintah daerah. Untuk menjamin keberhasilan model PSDH – BM maka kelembagaan, kepemimpinan, dan pendidikan serta latihan masyarakat sangat diperlukan.

Resolusi konflik sumberdaya hutan baik pada tingkat antar instansi pemerintah maupun pada tingkat masayrakat dengan lembaga yang diserahi tugas pemanfaatan SDH seperti HPH, BUMN, dalam era otonomi daerah ini menunjukan eskalasi konflik yang meningkat dari sebelaumnya ketika sentralistik diterapkan. Hal seperti ini tidak dapat dibiarkan, sebab KETIDAKPASTIAN HUKUM bagi siapapun untuk mengelola SDH harus segera ditegakkan. Metoda konsultasi publik untuk mendapatkan legitimasi politik publik dalam PSDH-BM adalah langkah yang niscaya. Semoga kita dapat berbicara dengan hati terbuka dan dengan nurani empati yang dalam guna menyelesaikan semua kegamangan yang terjadi di Indonesia saat ini.

Kegiatan konsultasi publik dalam merumuskan sistem pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat (PSDH – BM) di era otonomi daerah mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut:

(1) Menghimpun semua perbedaan dan persamaan semua stakeholders (para pihak) yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan ;
(2) Menganalisis secara terbuka dan partisipatif semua persamaan dan perbedaan yang ada antara pemerintah daerah, BUMN, pedagang, pencinta dan pelestari lingkungan legislative, masyarakat, dan semua pihak yang terkait
(3) Mencari legitimasi sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih sesuai dengan azas-azas otonomi daerah, kelestarian ekosistem, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat ; dan
(4) Merumuskan sistem pengelolaan SDH yang disepakati oleh publik dan pihak-pihak terkait (statuta pengelola, bentuk usaha, kewenangan, hak dan tanggung jawab, sistem pendukung PAD, basis ekosistem dan kesinambungan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan ,dan lain-lain).

Asumsi dasar yang digunakan dalam Konsultasi Publik adalah bahwa:

(1) Semua pihak (aktor) berada dalam posisi yang sama dalam mengeluarkan pendapat dan bertanggung jawab terhadap apa yang dibicarakan;
(2) Proses dialog harus dibangun melalui semangat partisipatif, berkeadilan, dan keterbukaan, dari semua pihak terkait;
(3) Memposisikan sumberdaya alam hutan sebagai asset bangsa yang harus dipertahankan keberlanjutannya, demi keadilan antar generasi (lestari dalam tiga aspek: lingkungan, sosial, dan ekonomi)
(4) Sumberdaya hutan harus dilihat sebagai satu satuan ekosistem alam yang utuh yang tidak dapat dipisahkan oleh batas tegas administrasi pemerintahan (geopolitik) saja, tetapi SDH memperhatikan hubungan spasial antar wilayah karena banyak terkait dengan keseimbangan wilayah lingkungan hulu dan hilir

Skenario konsultasi publik ini harus dipandu dengan satu alur yang sederhana dan mudah dimengerti oleh semua pihak terkait. Alur organisasi dan kelembagaan proses konsultasi publik untuk penyelesaian konflik kepentingan para pihak dalam PSDH-BM harus ada yang memprakarsai dan sekaligus menjadi fasilitator dan mediator antar pihak yang konflik dalam PSDH.

Skenario tahapan konsultasi publik untuk resolusi konflik PSDH adalah sebagai berikut:

1. Tahap I : Persiapan :
2. Tahap II : Proses Perencanaan Kegiatan
3. Tahap III : Sosialisasi dan Dialog Regional
4. Tahap IV : Sosialisasi dan dialog Provinsial
5. Tahap V : Sosialisasi dan Dialog Tingkat Pulau
6. Tahap VI : Perumusan Nasional dan Arah Kesepakatan Pengelolaan SDH

Download Full Artikel : pengelolaansdhberbasismasyarakatdanresolusikonflik.pdf

Otonomi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bolaang Mangondo

Category : Makalah

Desentralisasi dan otonomi pengelolaan sumberdaya hutan di Bolmong menghadapi beberapa masalah mendasar yaitu : (1) tarik menarik antara kepentingan PAD dan konservasi; (2) belum jelasnya pembagian tugas dan tanggung jawab antara keinginan Pemda dan keinginan Departemen Kehutanan; (3) belum jelasnya tugas dan tanggung jawab antara Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten; (4) belum ada konsep atau strategi yang mantap untuk mengelola hutan di Bolmong; (5) belum ada kesepakatan Visi, Misi, Tujuan, strategi, kebijakan daerah, dan program-program, di Bolmong untuk pengelolaan SDH nya; dan (6) posisi rakyat dan masyarakat dalam sistem pengelolaan SDH di daerah belum jelas dan mungkin belum terfikirkan.

Permasalahan di atas yang berkaitan dengan tugas-tugas instansi pemerintahan harus segera diselesaikan dengan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:

  • Pemerintah daerah, khususnya Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten segera mengambil inisiatif untuk melakukan konsultasi bersama. Dasar-dasar hukum perlu dirujuk, tetapi perlu KEBERANIAN untuk melakukan tindakan terobosan jika ada keinginan-keinginan yang logis dan “common sense” dapat diterima oleh semua pihak;
  • Membuat kontrak sosial baru atas otonomi pengelolaan SDH dengan melibatkan para pihak publik secara luas. Model konsultasi publik dapat dilakukan disini. Outputnya adalah menghasilkan Visi, Misi, tujuan, strategi, program, definisi baru tentang hutan, dan kelembagaan yang mampu menjamin kelestarian sumberdaya hutan yang sinergis dengan hasil dari proses kontrak sosial baru tersebut;
  • Membentuk Dewan / Forum pemerhati Kehutanan yang independen untuk mengontrol kinerja Dinas Kehutanan di Bolmong. Siapa yang menjadi anggota Dewan / Forum pemerhati ini adalah ditentukan oleh publik Bolmong sendiri (multi-pihak). Merumuskan hak dan kewajiban serta tugas dan tanggung jawab Dewan/ forum ini secara bersama-sama.
  • Menjadikan organisasi masyarakat lokal sebagai pelaku utama (subyek) dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang otonom. Hubungan kelembagaan antara organisasi masyarakat dengan instansi pemerintah (Dinas kehutanan) perlu dirumuskan dan diambil kesepakatan secara demokratis dan terbuka. Pemerintah dalam hal ini hendaknya memposisikan sebagai fasilitator, dinamisator, regulator yang partisipatoris, monitoring dan evaluasi.
  • Mengembangkan proses akuntabilitas publik tentang pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan baik oleh pemerintah maupun oleh organisasi masyarakat.

Pendekatan kelembagaan yang diuraikan di atas sebetulnya belum menjamin keterlibatan secara aktif dan partisipatif masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan. Menurut hemat kami, semua orang Indonesia saat ini sudah sepakat bahwa PENGELOLAAN SDH TIDAK LAGI DAPAT MENGABAIKAN PERAN AKTIF MASYARAKAT. Oleh karena itu jika otonomi pengelolaan SDH di Bolmong sudah disepakati model dan pendekatannya, maka harus ada jaminan bahwa masyarakat mendapat posisi penting di dalam sistem pengelolaan tersebut, misalnya kawasan hutan negara statusnya tidak berubah, fungsinya dapat berubah sesuai dengan indikator lokal dan permasalahan lokal, dan pengelolaannya dilaksanakan oleh masyarakat bersama-sama dan dibantu dengan pengusaha yang berjiwa kerakyatan dan kelestarian SDH. Alternatif lain dapat juga seluruh kawasan hutan produksi di kelola oleh manajemen desa melalui institusi lokal BPD (badan Perwakilan Desa dan organisasi desa).

Desentralisasi dan otonomi pengelolaan sumberdaya hutan harus dilihat dalam kontek yang “cerdas” dan jelas-jelas berpihak kepada kepentingan masyarakat. Pemerintah daerah tidak dapat selalu mengatasnamakan rakyat tetapi rakyat tidak pernah diajak bicara dan tidak pernah diajak konsultasi secara terbuka dan demokratis. Banyak praktik-praktik di daerah di Indonesia, dimana peraturan daerah tentang pemanfaatan hutan di buat tetapi hanya untuk kepentingan PAD saja dan tidak tahu harus berbuat apa untuk melestarikan sumberdaya hutannya. Desentralisasi dan otonomi pengelolaan SDH harus dijadikan peluang yang sebaik-baiknya bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk memanfaatkan sumberdaya hutan sesuai dengan kepentingan wilayah DAS, bukan kepentingan yang dibatasi oleh batas-batas administrasi wilayah. Karena itu peran instansi di Propinsi masih tetap penting untuk melakukan koordinasi dan pengawasan kepada instansi-instansi yang ada di kabupaten. Silang pendapat atas interpretasi berbagai peraturan dan perundang-undangan seperti UU N0.22/99 dengan UU.No.41/99 tentang kehutanan, adalah kensicayaan untuk dihindarkan karena memang ketika dibuat sudah mengandung friksi dan interest yang berbeda. Kekuatan otonomi daerah sudah menjadi kemauan politik bangsa dan oleh arena itu harus dijadikan pintu masuk untuk memperbaiki seluruh kinerja komponen masyarakat did aerah, bukan digunakan tameng untuk semakin minindas masyarakat.

Pemikiran pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya tipikal untuk Bolmong harus dilakukan tidak atas dasar kepentingan memanen kayu saja, tetapi sesuai dengan potensi Kabupaten yang banyak memiliki hutan lindung dan konservasi, maka desain-desain pembangunan kehutanannya hendaknya bertumpu pada pengembangan potensi tersebut, bukan kembali mengikuti pola-pola perusahaan besar seprti HPH. Bomong kelihatan akan lebih sesuai jika menggunakan pendekatan “sylvi bisnis yang forest based small scale enterprises”. Tentu, organisasi masyarakat perlu diberi tanggung jawab untuk ikut aktif dalam pengelolaan tersebut. Dalam arti yang lebih luas sebagai sebuah strategi, maka otonomi pengelolaan SDH Bolmong ke depan hendaknya mengikuti prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah yang berbasis masyarakat akan menjamin kelestarian sumberdaya hutan Bolmong pada masa yang akan datang. Ini sebuah KEYAKINAN.

Download Full Artikel : otonomipengelolaansdhbolaangmangondo.pdf

Masa Depan Hutan Papua

Category : Makalah

Propinsi Irian Jaya (sekarang Propinsi Papua) telah menerima dampak dan akibat dari kebijakan nasional pada masa yang lalu. Pemerintah daerah dan masyarakat (termasuk masyarakat adat) secara “terpaksa” selama orde baru menerima apapun keputusan tentang pemanfaatan sumberdaya alam oleh pemerintah pusat. Kasus yang setiap anak bangsa ini tahu adalah pertambangan Freeport dan kasus eksploitasi hutan oleh HPH di Papua. Sistem eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat tersebut berdampak kepada :

  • dirasakan adanya kesewenang-wenangan pemerintah pusat terhadap daerah dalam hal pemberian izin dan pemanfaatan ekonomi ;
  • pemda dan masyarakat merasa adanya faktor ketidakadilan dalam pembagian manfaat antara pusat dan daerah, khususnya bagi daerah-daerah yang telah menjadi mesin pencetak uang seperti Papua;
  • pemerataan dan pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan masyarakat dalam arti luas di Papua selama orde baru tidak terjadi. Misalnya saja dari aspek pembangunan infrastruktur sosial dan dukungan pengembangan sumberdaya manusia yang sangat kurang;
  • terpinggirkannya masyarakat adat dalam proses pembangunan. Sangat sering terjadi hak-hak masyarakat adat dianggap tidak ada dan karena itu pemerintah pusat dengan segala kebijakan SDA nya tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang bersifat khusus.

Di era desentralisasi dan otonomi daerah ini besar peluang untuk melakukan penataan ulang terhadap pengurusan, peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (hutan khususnya). Masalahnya adalah siapa yang berani mengambil sikap konfrontatif atau koordinatif dalam menata ulang sistem pengelolaan sumberdaya hutan di Papua. Dukungan politik paling kuat yang dimiliki oleh masyarakat papua sekarang ini adalah munculnya kesadaran pemerintah pusat bahwa pemerintah daerah dan masyarakat Papua harus diberi kedaulatan dalam pemanfaatan sumberdaya alamnya untuk kepentingan masyarakat, daerah, dan nasional. Konsep Berbagi manfaat secara berkeadilan harus didorong oleh pemerintah pusat.

Sisi yang lain semua orang tahu bahwa Propinsi Papua telah memiliki UU Otonomi sendiri, yang segera harus dikonsultasikan kepada publik di Papua secara transparan, berkeadilan, dan demokratis. Semua keuatan sosial politik dan budaya harus dilibatkan dalam proses-proses publik tersebut. Jika hubungan pemerintah daerah dengan publik tidak dibangun dengan prinsip-prinsip demokrasi maka diktator baru akan muncul dari oknum-oknum yang ada di pemerintah daerah. Apa gunanya otonomi jika hanya berhenti pada otonomi institusi. Otonomi harus menjangkau sampai otonomi pedesaan secara luas. Distribusi asset lahan secara merata kepada rakyat adalah keniscayaan di dalam membangun ekonomi kerakyatan di Papua. Inilah persoalan yang harus diatur dalam pelaksanaan otonomi daerah khususnya otonomi pengelolaan sumberdaya hutan (otoda PSDH).

Masa depan keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan di Papua harus mengambil pelajaran penting dari sistem pengusahaan hutan yang dijalankan sejak tahun 1970-an melalui model HPH. Pelajaran penting itu berkaitan dengan pendekatan dan dampak yang dihasilkan dari pendekatan tersebut. Semua hal yang bersifat positif selama model HPH dilaksanakan tentu dapat dipetik untuk kepentingan masa yang akan datan. Tetapi sebaliknya dampak negatif dan semua kekuarangan yang terdapat dalam model HPH harus segera ditinggalkan dan dilupakan untuk selama-lamanya.

Pendekatan “berbasis masyarakat” dalam pendekatan membangun sumberdaya hutan di Propinsi papua pada mas yang akan datang merupakan pilihan yang niscaya (tidak dapat ditolak) lagi, sebab di papua hubungan kultural masyarakat dengan sumberdaya hutan ibaratkan anak bayi dengan ibunya, dimana sang bayi dapat hidup dengan sehat dan kuat ketika meminum air susu ibunya. Ketika hubungan kultural tersebut di putus atau ditiadakan maka hal ini akan menimbulkan dampak bagi kehidupan sang bayi tersebut. Hubungan emosional-kultural itu yang menyebabkan sistem pengelolaan SDH Papuan harus berbasiskan pada kepentingan masyarakat dalam arti khusus dan dalam arti luas. Dalam pengertian ini tidak berarti bahwa para pengusaha bukan masyarakat, sebab mereka juga masyarakat, hanya saja Papua memerlukan pengusaha yang berpihak kepada masyarakat papua pada umumnya dan masyarakat sekitar hutan pada khususnya. Mudah-mudahan kertas kerja ini dapat menjadi bahan diskusi dan menambah wawasan semua pihak.

Download Full Artikel : masadepanhutanpapua.pdf