Tindakan seseorang untuk mencapai tujuannya haruslah terukur dengan baik. Seorang ahli perpetaan untuk dapat dikatakan kompeten jika mampu menghadirkan sebuah “peta” rupa bumi yang informative. Seorang Dokter manusia dapat dikatakan memiliki kompetensi baik jika mampu menggunakan pengetahuan profesinya untuk menyembuhkan / menangani pasien yang sedang sakit di bawah keahliannya (jantung, internis, bedah umum/tulang, anak, THT, Gigi, Anestesi, kandungan, dll). Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang dapat menyembuhkan SDH yang sedang dalam keadaan “sakit” ? inilah pertanyaan besar bagi setiap orang yang bekerja di sektor kehutanan dan bagi ahli madya / sarjana kehutanan. Pertanyaan penting ini harus mendapat jawaban secara serius oleh kelompok kompetensi kerja kehutanan.
Seseorang lulus dari universitas pada jenjang pendidikan S1, S2 dan S3 belum dapat dikatakan memiliki kompetensi kerja. Jika kita periksa dokumen setiap program studi pendidikan tinggi pastilah ditemukan adanya kompetensi yang diharapkan (diturunkan dari visi dan misi). Kompetensi umumnya adalah sbb: “lulusan S1 mampu memahami pengetahuan bidang kehutanan, dan dapat menerapkan pengetahuan tersebut dalam dunia kerja”. Muncul pertanyaan masih perlukah sarjana kehutanan diuji kompetensinya?
Adanya sistem sertifikasi kompetensi kerja merupakan mandatori dari UU.No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 18 UU No. 13/2003 sbb:
- Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setekah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja;
- Pengakuan kompetensi kerja dilakukan melalui sertifikasi kompetensi;
- Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman;
- Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang independen.
Dalam melaksanakan tugasnya BNSP dapat memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang memenuhi persyaratan kelembagaan dan teknis. Aspek kelembagaan mencakup LSP dibentuk oleh para pihak yang berkepentingan (pemerintah, swasta, industri, dll) dan memiliki badan hukum. Sudah terbentuk “Lembaga Sertifikasi Profesi Kehutanan Indonesia (LSP-HI)”, sudah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis, serta masih menunggu proses penilaian oleh BSNP.
Untuk memperoleh sertifikasi kerja, setiap pekerja profesi (kehutanan) harus melalui satu uji kompetensi yang dilaksanakan oleh LSP-HI. Ciri-ciri professional dalam kompetensi kerja kehutanan adalah : (1) pekerja adalah orang yang terlatih; (2) memberikan jasa untuk public; (3) pekerja memiliki sertifikat; dan (4) pekerja merupakan anggota organisasi profesi.
Apa sesungguhnya manfaat sertfikasi kompetensi kerja di bidang kehutanan? Manfaat sertifikasi kompetensi kerja (SKK) adalah: (1) dapat menjadi jaminan untuk rekruitmen tenaga kerja kompeten; (2) dapat menjadi dasar penetapan gaji / remunerasi; (3) dapat menjadi dasar untuk pengembangan karier tenaga kerja; dan (4) dapat menjadi acuan untuk perundingan Mutual Recognition Arrangement antar Negara dalam rangka kesepakatan WTO dan AFTA.
Apa implikasi sertifikasi kompetensi kerja kehutanan bagi lembaga / organisasi kehutanan dan para pekerja kehutanan? Karena mandatori UU No.13/2003 tersebut maka setiap seseorang yang bekerja di sektor kehutanan HARUS memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh LSP sektor kerja kehutanan, yang dalam hal ini LSP-HI. Alumni Akademi Kehutanan, jenjang pendidikan D3, Jenjang pendidikan S1, S2, dan S3, yang bekerja di profesi kehutanan (pemerintah, BUMN, swasta dan industry), seharusnya mengikuti uji kompetensi kerja profesi. Dalam konteks lembaga Dinas Kehutanan, Perhutani, Inhutani, HPH, HPHTI, konsultan kehutanan, dll, semuanya menjadi obyek dari sertifikasi kompetensi kerja kehutanan. Pada saatnya siapapun yang akan menjabat sebagai Kepala Dinas Propinsi dan kabupaten, Kepala Bidang, Kepala Seksi, dan lain-lain di satuan kerja profesi kehutanan, harus memiliki sertifikat kompetensi kehutanan (tidak mempersoalkan kealumnian, agama, etnik, bahasa, kaya, miskin, tim sukses, harus multidimensi untuk nasionalisme Indonesia). Otonomi daerah BUKAN hambatan bagi seseorang untuk bekerja secara professional, asalkan memiliki kompetensi kerja profesi kehutanan. Uji coba sertifikasi kompetensi kerja profesi kehutanan akan dimulai tahun 2009 di Perum Perhutani oleh LSP-HI, karena Perhutani dipandang lembaga yang paling siap untuk uji kompetensi.
Download Full Artikel : SertifikasiKompetensiKerjaKehutanan.pdf
Selamat kepada Bapak atas terpilihnya sebagai ketua umum PERSAKI, semoga “ditangan” Bapak organisasi ini lebih bersahaja dan mempunyai daya dobrak. Terima kasih.