Saat ini Institusi Kehutanan formal di Indonesia menghadapi kebingungan dalam mengambil posisi bagaimana seharusnya sumberdaya hutan yang ada dimuka bumi Indonesia dikelola, dimanfaatkan, dan dilestarikan. Demikian pula halnya dengan dunia pendidikan tinggi yang sangat terlambat memberikan solusi yang paling realistik untuk menjawab semua persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam hutan. Antara dunia nyata kehutanan Indonesia dengan pengembangan ilmu-ilmu kehutanan memiliki gap yang sangat tinggi. Sementara itu institusi kehutanan formal seperti Departemen Kehutanan selalu merasa paling benar dan paling menentukan terhadap eksistensi sumberdaya hutan.
Perdebatan dan saling menyalahkan satu sama lain memang bukan pilihan terbaik, tetapi paling tidak semua pemerhati dan aktivis sumberdaya alam mau membaca realitas secara baik, dan berusaha memperkecil perbedaan interpretasi dari realitas tersebut. Apa realitas yang terkait dengan sumberdaya hutan di Indonesia saat ini? Realitas tersebut adalah : (1) paling sedikit ada 45 juta ha lahan kritis, akibat dari sistem pengelolaan hutan yang tidak benar; (2) ada fenomena penebangan liar yang terorganisir rapi di dalam kawasan hutan negara dan tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah; (3) rendahnya rasa memiliki dari warga masyarakat terhadap hutan negara, karena manfaat nyaris kecil sekali bagi mereka; (4) para pengusaha yang selama ini mendapat keberuntungan dari model HPH / HTI sangat kapitalis dan tidak peduli dengan masyarakat; (5) banyak muncul konflik sumberdaya alam hutan antara pemerintah dan kelompok masyarakat adat; (6) otonomi daerah terhadap sistem pengelolaan SDH; (7) eksistensi sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang di inisiasi oleh masyarakat (bukan program pemerintah) ” sangat sulit ” untuk diakui oleh pemerintah, karena ada persoalan status lahan yang di klaim milik negara; dan (8) sebagian besar lahan hutan yang diklaim milik negara ternyata tidak dapat “diamankan” batasnya oleh pemerintah, dan justru menjadi “arena” konflik sosial, politik dan budaya yang mengancam keutuhan negara.
Pengertian hutan desa dapat dilihat dari beberapa sisi pandang antara lain:
- Di lihat dari aspek teritorial, hutan desa adalah hutan yang masuk dalam wilayah administrasi sebuah desa definitif, dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat
- Di lihat dari aspek status, hutan desa adalah kawasan hutan negara yang terletak pada wilayah administrasi desa tertentu, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan desa.
- Di lihat dari aspek pengelolaan, hutan desa adalah kawasan hutan milik rakyat dan milik pemerintah yang terdapat dalam satu wilayah adminstrasi desa tertentu, dan ditetapkan secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan pemerintah sebagai hutan desa yang dikelola oleh organisasi masyarakat desa.
Jika dilihat dari perspektif UU No.41/99 tentang kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5 ayat (1) hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Pengertian ini dekat dengan katagori pengertian butir (2) di atas. Pasal ini memang sangat “state based perspective”, walaupun tidak realistik untuk menyelesaikan persoalan SDH di tingkat lapangan. Tulisan ini selanjutnya memilih alternatif katagori ke (3) sebagai basis bergerak mengembangkan konsep-konsep hutan desa.
Jika dikaitkan dengan hingar bingar dan hiruk pikuk konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat, maka ilmu kehutanan tidak dapat tinggal diam, atau bahkan menolak kehadiran perspektif tersebut. Namun demikian konsep kehutanan konvensional tidak dapat sepenuhnya digunakan untuk mengembangkan sistem pengelolaan HD. Pengelolaan HD mengandung spirit kuat berkaitan dengan kapital sosial (modal sosial) seperti : partisipasi, akuntabilitas, pemerataan, dan kesejahteraan sosial dan integritas sosial. Pengembangan modal sosial ini yang tidak berkembang dalam konsep-konsep pengelolaan hutan konvensional seperti timber management, orthodox concervation, dan lain-lain.
Hutan desa harus di lihat sebagai suatu alternatif dalam melakukan demokratisasi pengelolaan sumebrdaya alam hutan di Indonesia. Berbasis pada kultur hutan desa dapat disetarakan dengan istilah WENGKON hutan di daerah tertentu di Pulau Jawa. Wengkon hutan dikelola oleh desa secara otonom pada masa sebelum kemerdekaan. Istilah ini agak dekat dengan istilah hutan adat pada masa sebelum kemerdekaan. Artinya bahwa secara kultural hutan desa pernah eksis di bumi nusantara ini, dan model-model ini dapat berkembang dengan baik manakala tidak dicampuri dengan konsep kapitalis yang memposisikan rakyat sebagai kaum tereksploitasi. Ketika sistem kapitalis barat masuk ke desa-desa pasca kemerdekaan, maka basis kultural di atas “dihabisi” secara sistematis, baik melalui kekerasan oleh negara maupun oleh pengusaha.
Hutan desa dapat dijadikan salah satu model pengelolaan hutan berbasis pada unit manajemen desa, berskala kecil, dan tetap di dalamnya mengandung tatanan pengelolaan hutan yang berorientasi pada subsisten dan pasar. Yang penting semua keputusan tujuan pengelolaan dipersiapkan dan dilaksanakan oleh organisasi desa yang ditunjuk bersama-sama dengan pemerintah. Posisi Institusi Kehutanan Formal hanya sebagai fasilitator, regulator, dan penilai. Peran pengusaha swasta tetap penting dalam HD terutama terkait dengan permodalan, informasi, industri, dan pasar. Semoga semua program kehutanan sosial (social forestry) yang akan menjadi unggulan departemen kehutanan mampu menangkap spirit dan prinsip-prinsip hutan desa.
Download Full Artikel : hutandesarealitastidakterbantahkan.pdf
Pak San Yth.
Bagaimana dengan LMDH yang dibentuk (Perhutani) untuk mengelola hutan, yang merupakan salah satu wujud implementasi dari PHBM ?