Ketiadaan model dan ukuran operasional demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan menjadi masalah di tengah munculnya fenomena ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi di Indonesia saat ini. Rasio gini Indonesia meningkat dari 0,29 pada tahun 2002 menjadi 0,35 pada tahun 2006. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin justru turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama (Kuncoro, 2007).
Ekonomi Kerakyatan secara umum dipandang sebagai cara untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia di dunia. Cara ini dinilai efektif untuk mengurangi ketimpangan ekonomi yang makin melebar, baik antara negara kaya (utara) – negara miskin (selatan) maupun antara kaum pemilik modal dan kaum pekerja. Pola produksi kapitalis yang berlaku di dunia saat ini, di mana terdapat dikotomi antara buruh dan majikan cenderung makin meningkatkan konsentrasi kekayaan dan akumulasi keuntungan (profit) pada segelintir pemilik modal.
Dalam pola ini, pekerja dianggap sebagai faktor produksi yang kompensasinya hanya sebatas dinilai melalui biaya operasional dalam proses produksi (sebagai biaya tenaga kerja langsung dan biaya tenaga kerja tidak langsung). Apresiasi yang berlebihan terhadap modal, dan sebaliknya terhadap pekerja sebagai seorang manusia, berpotensi mengukuhkan ketimpangan ekonomi (pendapatan) yang menjadi asal-mula terjadinya krisis hubungan industrial dan konflik sosial di dunia. Di samping itu, demokrasi ekonomi juga ditujukan untuk meningkatkan kemampuan (partisipasi) ekonomi rakyat (civil economy) di setiap negara dalam kegiatan perekonomian, baik dalam kegiatan produksi, distribusi, maupun kepemilikan atas faktor-faktor produksi.
Sementara itu, demokrasi ekonomi di Indonesia dipandang para pendiri bangsa sebagai cara untuk memerdekakan ekonomi bangsa. Demokrasi ekonomi atau ekonomi kerkayatan merupakan bagian dari agenda reformasi sosial, yaitu mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosial-ekonomi warisan kolonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut.
Hatta memandang bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air. Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” (Hatta, 1960).
Download Full Artikel : KerangkaKebijakanEkonomiKerakyatan.pdf