Model Formasi Sosial Dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Indonesia

Category : Makalah

Memahami pembangunan hutan selama lebih dari 100 tahun di Indonesia khususnya hutan di Jawa, dan lebih dari 35 tahun pengusahaan hutan alam di luar Jawa, telah memberikan suatu pembelajaran yang panjang dan melelahkan. Mempelajari sejarah yang panjang itu tidak pula dengan serta merta dapat digunakan untuk melakukan prediksi dan memotret kemungkinan melakukan pengelolaan hutan pada masa yang akan datang. Mengapa demikian? Karena situasi yang melatar belakangi berbeda secara signifikan, utamanya jika di lihat dari aspek perkembangan penduduk , kemajuan teknologi, dan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakatnya. Namun demikian mempelajari dua model pengelolaan hutan di Jawa dan luar Jawa yang dilaksanakan selama ini adalah keniscayaan pula. Mengapa niscaya karena tidak mungkin melakukan prediksi pengelolaan sumberdaya hutan pada masa yang akan datang tanpa melihat pengalaman masa lalu. Baik dan buruk, gagal dan berhasilnya sebuah model pengelolaan hutan pasti dapat dijadikan bahan rujukan dan evaluasi.

Tulisan ini bukan evaluasi pada sistem pengelolaan hutan yang sudah ada, tetapi lebih memperdalam aspek sosial politik dan kebijakan yang selama ini ada dan bagaimana aspek tersebut di analisis untuk mengembangkan dan membangun sumberdaya alam hutan pada masa yang akan datang. Satu catatan penting yang selama ini kurang mendapat perhatian dengan serius di kalangan rimbawan adalah memahami sumberdaya alam hutan dari perspektif non-teknis yaitu perspektif sosial politik yang kemudian berdampak kepada model kebijakan yang diambil. Pertanyaan dasar yang akan di jawab adalah bagaimana seharusnya posisi dan peran pemerintah (pusat dan daerah) dalam pengelolaan hutan waktu yang akan datang?

Aspek politik pengelolaan sumberdaya hutan akan membahas hubungan negara dan rakyat atas sumber daya alam hutan, merumuskan aktor-aktor para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan ke depan, pengaruh politik global atas eksploitasi sumberdaya alam, kapitalisme lingkungan, dan model-model politik ekologi yang pro rakyat. Pada bahasan politik ini akan disintesa langkah-langkah model rehabilitasi dan konservasi pengelolaan hutan sesuai dengan masalah dan potensi kawasan hutannya.

Aspek Sosial pengelolaan sumberdaya hutan akan membahas interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan, relasi masyarakat dengan lahan, kemiskinan penduduk di sekitar kawasan hutan, konflik laten tentang tenurial, dan peluang masyarakat aktif dalam pengelolaan hutan negara dan sumberdaya hutan lainnya.

Identifikasi politik dan sosial di atas akan di analisis melalui sintesa teori-teori pembangunan yang berkembang di dunia dan relevansinya dengan problematika kekinian dan masa yang akan datang di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Pendekatan ini dilakukan sebagai suatu kristalisasi pemikiran kami selama beberapa tahun ini, yang terus terang sangat prihatin dengan kondisi kemunduran kualitas dan kuantitas sumberdaya alam hutan tropika Indonesia. Beberapa pertanyaan yang akan di jawab dalam tulisan ini adalah :
(1) benarkah ada konspirasi teori-teori pembangunan terhadap model-model pembangunan sumberdaya hutan?; (2) Adakah persoalan kemiskinan masyarakat desa hutan terkait dengan akses sumberdaya alam hutan ? ;(3) apakah n-ach masyarakat untuk mencapai kesejahteraan punya relevansi dengan hilangnya tertib sosial, tertib hukum, dan kerusakan sumberdaya alam hutan?; dan (4) Prospek kebutuhan kebijakan pemerintah seperti apa yang relevan untuk mempertahankan eksisitensi dan mengelola sumberdaya hutan indonesia masa yang akan datang ? Eksplorasi pemikiran di atas akan dilengkapi dengan contoh-contoh kasus di lapangan.

Rencana tindakan pengelolaan sumberdaya hutan yang kami maksud di sini adalah pengelolaan pada tataran tingkat kawasan hutan. Kategori keadaan kawasan hutan Indonesia saat ini adalah sebagai berikut:
(1) di usahakan dengan model HPH aktif dan tidak aktif
(2) kawasan hutan tanaman
(3) kawasan hutan lindung
(4) kawasan hutan konservasi
(5) kawasan hutan tidak bertuan khususnya di kawasan eks HPH nakal

Karekteristik butir (1) sampai (4) menghadapi masalah yang telah diuraikan di atas. Pada semua karakteristik tersebut muncul konflik pemanfaatan antar pengusaha dan masyarakat lokal dan masyarakat adat. Penyelesaiaan masalah butir (1) sampai (4) telah diupayakan oleh pemerintah melalui berbagai macam program seperti PMDH, perhutanan sosial, HKm, PHBM, PHBMR dan PHOR. Upaya-upaya tersebut sesungguhnya sudah dalam konsep pemikiran yang tidak sepenuhnya berorientasi pada investasi dan juga tidak sepenuhnya kepada teori strukturalis / ketergantungan, tetapi model teori yang dipakai adalah masuk pada model artikulasi formasi sosial, yang banyak dipakai dalam pembangunan pemberdayaan masyarakat. Walaupun program-program tersebut sudah dilaksanakan tetapi harus pula diakui bahwa ternyata belum cukup efektif untuk mencapai tujuaannya. Menurut kami ada yang belum sempurna dalam program tersebut yaitu kemampuan SDM pengelola belum mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ke model artikulasi formasi sosial tersebut. Kemudiannya juga pergantian kebijakan oleh pemerintah cenderung menghasilkan tindakan tidak produktif, sementara kebijakan terdahulu belum menghasilkan apa-apa. Masyarakat sering melihat tindakan seperti ini sebagai tindakan yang membingungkan rakyat dan petugas pemerintah di daerah. Akhirnya betul-betul tidak produktif hasilnya, yaitu “kebingungan untuk melangkah”.

Kami mempunyai keyakinan yang tinggi bahwa pengelolaan sumberdaya hutan pada masa yang akan datang, di abad 21 ini jangan lagi bertumpu kepada satu model saja, hanya model HPH, hanya model hutan rakyat saja, hanya model BUMN saja. Pengalaman selama ini dengan hanya bertumpu pada BUMN dan BUMS saja, model tersebut tidak mampu menjaga amanah kelestarian hutannya. Sementara hutan rakyat swadaya yang sangat tidak diprioritaskan justru menunjukkan keberhasilan yang memuaskan. Semakin variatif model pengelolaannya maka semakin kaya alternatif kita. Biodiversitas model pengelolaan sumberdaya hutan sangat diperlukan karena kita memiliki kondisi geografis yang berbeda antar wilayah. Katakanlah seperti maluku dan Mentawai akan lebih sesuai pengelolaan sumberdaya hutannya dengan pendekatan pulai dan ekosistem. Mari kita belajar dari teori artikulasi formasi sosial ini untuk mengembangkan sumberdaya hutan kita di Indonesia. Jangan pernah melakukan kesalahan dua kali. Seperti pepatah mengatakan “keledai saja tidak mau melakukan kesalahan dua kali”. Pada saat yang sama kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan tidak lagi dapat mengasumsikan yang sangat normatif, tetapi harus berangkat dari realitas sosial dan politik lokal dimana hutan itu ada. Yang selalu harus dipertahankan oleh semua pemangku pengelolaan hutan adalah fungsi hutan tidak boleh hilang dari muka bumi Indonesia. Inilah Khittah rimbawan yang tidak boleh terlupakan oleh siapapun.

Publik juga jangan salah mengartikan tentang pendekatan artikulasi formasi sosial. Pendekatan ini tentu dikembangkan melalui analisis multistakeholders yang menjamin transparansi, keadilan, dan kebersamaan. Contoh kegiatan penelitian dan aksi lapangan di kabupaten Tebo adalah upaya resolusi konflik yang dapat diterima semua pihak . Kita memerlukan “tool” penyelesaian masalah yaitu model pemetaan partisipatif, karena model inilah yang mampu diukur secara riil di lapangan. Penyelesaiaan masalah hanya menyandarkan pada kebijakan pemerintah pusat sering tidak dapat menyelesaikan masalah di lapangan.

Catatan penutup yang penting adalah bahwa kita sudah memiliki banyak pembelajaran dalam pengelolaan sumberdaya hutan seperyi yang diuaraikan di atas. Setuju atau tidak sistem pengelolaan sumberdaya alam kita di Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik ekonomi nasional. Model pengusahaan skala besar adalah gambaran dari intervensi teori pembangunan modernis itu. Munculnya pembuktian lain bahwa usaha kehutanan skala kecil seperti model-model hutan rakyat ternyata lebih sustensi dibanding usaha yang pendekatannya kapitalistik, membuktikan kepada kita bahwa usaha pengelolaan skala besar itu (BUMN dan BUMS) harus belajar dari keberhasilan rakyat tersebut, dan kemudian mencoba membangun hutan dengan spirit yang sama dengan hutan-hutan yang dikelola dengan skala kecil. Kita memerlukan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan masa depan yang dibentuk melalui model artikulasi formasi sosial. Skema-skema bisnis tetap dapat dikembangkan dengan baik walaupun sistem pengeloaan sumberdaya hutan dirumuskan dan dilaksanakan atas pendekatan formasi sosial. Setiap masyarakat memiliki N-Ach dan seharusnya semangat N-Ach ini di dorong ke arah yang positif bukan untuk merusak sumberdaya alam hutan. Semoga tulisan ini berfmanfaat dan dapat merefleksi pada diri kita masing-masing. Inilah refleksi pemikiran kami tentang hal-hal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan dari perspektif sosial dan kebijakan.

Download Full Artikel : modelformasisosial.pdf

Partisipasi Multikulturalisme Di Era Otonomi Daerah

Category : Makalah

Partisipasi dipercaya oleh banyak pihak dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk melakukan perubahan sosial, baik dalam arti proses maupun dalam arti output. Banyak cara untuk mencapai tujuan misalnya melalui cara pemaksaan kehendak yang berkuasa, melalui proyek dan program yang topdown, dan “claim” sepihak dari orang-orang atau kelompok tertentu yang mengatasnamakan pembangunan. Sekian banyak aktor yang terlibat di dalam pembangunnan telah menghasilkan pandangan, persepsi dan pengertian yang berbeda tentang partisipasi tersebut.

Dalam banyak kegiatan pemerintah, istilah partisipasi sering diartikan sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat dalam sebuah kegiatan. Keikutsertaan tersebut selalu diukur dari upaya-upaya memobilisasi tenaga kerja rakyat dalam sebuah kegiatan. Menurut Hobley (1987) bentuk partisipasi seperti ini disebut dengan partisipasi semu. Model partisipasi lainnya adalah apa yang disebut dengan partisipasi perwakilan yaitu keterlibatan masyarakat dalam sebuah kegiatan pembangunan hanya diwakili oleh orang-orang tertentu saja. Partisipasi seperti ini banyak dilakukan karena jumlah masyarakat banyak dan tidak mungkin dilibatkan secara satu persatu. Partisipasi sejati adalah keterlibatan yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok masyarakat atas dasar kehendak sendiri terhadap sesuatu yang dirasakan memberi manfaat , dan keterlibatan tersebut meliputi semua aktivitas dari awal sampai akhir proses (Hobley, 1987).

Perkembangan LSM di Indonesia sangat pesat setelah paska reformasi tahun 1998. Pada tahun 1995 jumlah LSM sekitar 3.225 organisasi. Tahun 1990 jumlah LSM di Indonesia menjadi 8.720, dan tahun 2000 jumlah LSM mencapai 13.400 (yang terdaftar), sementara yang tidak mau mendaftarkan banyak (Info Bisnis, september 2001). Dari sekian banyak data LSM di atas berapa jumlah LSM yang ada di Propinsi Jambi dan tersebar di kabupaten mana saja, tidak ada informasinya. Katagori LSM di Indonesia ada 5 yaitu: (1) berdasarkan penyebarannya; (2) berdasarkan tipologinya; (3) berdasarkan kepedulian bidang; (4) berdasarkan ideologi; dan (5) berdasarkan sumber dana.

Berdasarkan penyebarannya, pada awalnya LSM banyak tersebar di Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Barat (termasuk Jakarta). Kemudian berkembang ke arah Jawa Timur dan DIY. Setelah tahun 1980-an LSM banyak terbentuk di Sumatera Utara, Aceh, Jambi dan Riau, Pulau Sulawesi secara keseluruhan, kalimantan Timur, kalimantan barat, Kalimantan Selatan, Maluku, dan Papua.

Berdasarkan tipologinya, LSM terdari atas LSM individual, LSM yang tersusun atas dasar jaringan / aliansi, dan LSM konsorsium. Berdasarkan pada kepedulian bidang misalnya bidang kesehatan, lingkungan, kehutanan, kelautan dan pantai, kemiskinan desa dan kota, perburuhan, pendidikan, keagamaan, penerbitan, pertanian dan perkebunan, HAM, tambang, wisata, goa-goa, dan lain-lain. Sejak tahun 1998 banyak LSM fokus kepada pemberdayaan masyarakat dan perubahan kebijakan. Berdasarkan ideologinya LSM dikelompokkan kedalam : (1) LSM aliran kanan; (2) LSM aliran kanan; dan (3) LSM aliran tengah

Dengan bebekal pengalaman pribadi kami bergaul bersama-sama LSM, beberapa hal yang perlu diketengahkan berkaitan dengan “potret” LSM yang kami anggap sebagai masalah-masalah,dan masalah ini justru sebagai faktor-faktor yang menjadi penyebab susahnya antar LSM dapat duduk bersama, refleksi bersama, dan berkomunikasi bersama-sama untuk mewujudkan VISI LSM, yaitu:

  1. Orientasi awal mendirikan LSM berbeda satu sama lain, sehingga dalam implementasinya menimbulkan keberpihakan pada gerakan yang tidak sesuai dengan VISI umum LSM. Tipologi LSM yang lain seperti LSM sejati, LSM pedati, dan LSM merpati, sering sangat bermasalah di tengah masyarakat, sehingga LSM itu sering dipuja dan sering di benci oleh masyarakat dan institusi pemerintah atau Perguruan Tinggi;
  2. Manajemen LSM itu tertutup. Banyak publik tidak memahami apa yang menjadi kegiatan LSM. Dipermukaan, LSM dikenal sebagai aktor intelektual demonstrasi yang selalu bermusuhan dengan pemerintah;
  3. Antar LSM hampir tidak pernah melakukan komunikasi program sehingga sering overlapping satu sama lain.
  4. Kejujuran dan keterbukaan sesama LSM masih belum terbangun. LSM selalu mendengungkan transparansi, tetapi hal tersebut secara internal masih harus dibangun di dalam organisasi LSM;
  5. Visi umum LSM sering tidak dipahami oleh LSM tertentu;
  6. Kecurigaan antar LSM sangat tinggi, sehingga sering menimbulkan friksi yang tidak produktif;
  7. Sering terjadi agenda yang di bawa oleh LSM bukan agenda rakyat, tetapi agenda LSM sendiri. Kartena itu hal ini tidak strategis;
  8. Rataan informasi yang diperoleh antar LSM tidak sama. Misalnya tentang informasi isu, agenda-agenda sosial dan pembangunan, serta sumber-sumber dana. Ada LSM yang sangat sibuk dan ada sebagian LSM yang sepi dari kesibukan.
  9. Sering muncul perbedaam keras antar LSM karena persoalan-pesoalan disekitar “ideologi” masing-masing. Contoh seperti ini terjadi di Sulawesi tengah dengan kasus “Dongi-Dongi”.

Partisipasi multikulturalisme dalam mendorong otonomi daerah perlu dibangun guna mencari format perbedaan dan persamaan semua aktor pembangunan yang ada. Pendekatan ini sebenarnya dapat dicoba sebagai salah satu cara menjaga agar tidak terjadi disintegrasi sosial yang tidak perlu. Integrasi sosial baru memang diperlukan di Jambi, sebab saat ini bangsa Indonesia sedang dalam proses membangun demokrasi dari bawah melalui format politik otonomi daerah. Pembelaan terhadap posisi rakyat dalam pembangunan di daerah harus menjadi fokus perjuangan dan gerakan dari seluruh LSM, apapun katagori LSM nya. Kita berharap agar partisipasi sejati yang dimaksud oleh Hobley dapat terbangun di jambi dengan pendampingan dari LSM. Mudah-mudahan makalah ini dapat dijadikan bahan refrensi otokritik untuk gerakan LSM ke depan.

 

Download Full Artikel : partisipasimultikulturalisme.pdf

Meningkatkan Peranan Sumber Daya Hutan

Category : Makalah

Pembangunan Nasional adalah suatu proses kegiatan bangsa untuk memenuhi keinginannya menuju kondisi yang lebih baik. Selama era orde baru bangsa Indonesia telah bereksperimen melaksanakan pembangunan dimaksud. Namun, nampaknya hasil yang dicapainya belum sepenuhnya mampu menempatkan gerakan pembangunan dalam jalur perjalanan yang dicita-citakan bangsa ini. Berbagai analisis oleh para ahli, antara lain selalu ditunjukkan bahwa ketidakseimbangan peran berbagai kepentingan komponen adalah sebagai salah satu indikator yang ikut andil dalam proses pembangunan tersebut tidak berjalan harmonis, baik komponen SDM (baru terbatas sebagai obyek belum subyek) maupun komponen Sumber Daya Pembangunan lainnya (non SDM). Dalam pengertian makro, tujuan pembangunan nasional lebih banyak ditentukan oleh politik ekonomi yang dipegang oleh pemerintah yang berkuasa.

Peranan sektor kehutanan dalam era orde baru seperti yang selalu diberitakan oleh para pakar selalu disebut sebagai yang sangat manis, yakni berperanan sangat besar terutama dalam perolehan Devisa (kedua setelah minyak bumi). Peran kuantitatif sektor kehutanan tersebut karena didukung oleh ekonomi politik yang menyebabkan terjadinya “boom kayu” di awal tahun 1980-an. Namun, memitoskan peranan sektor SDH dalam pembangunan yang seperti itulah sebenarnya yang memposisikan sektor kehutanan dalam kondisi seperti yang sekarang, yang sangat sulit untuk bangkit lagi setelah mulai menampakkan kecenderungan menuju ke kondisi hutan yang porak poranda dan “chaos”. Itu berarti bahwa apabila suatu saat peranan yang demikian itu hilang maka sektor kehutanan menjadi terpinggirkan (dianggap tidak penting dibanding sumberdaya ekonomi di sektor lain). Apakah yang demikian itu adalah benar ?

Krisis di sektor kehutanan Indonesia yang merupakan self-rushing (perusakan diri sendiri) baik perusakan aktiva hutan yang tidak berdasarkan prinsip kelestarian (baik perusakan terhadap fisik maupun perusakan terhadap aktiva lancar (dana) yang diperoleh dari hutan), pada hakekatnya sudah berlangsung sejak awal era orde baru. Krisis seperti itu, diramalkan para pakar sebagai yang akan terus berlansung, sampai dengan tegakan hutan Indonesia habis tak tersisa lagi. Kenapa para pakar sampai kepada ramalan bahwa krisis penghancuran hutan ini tidak akan terbendung lagi ? Kompleksitas masalah krisis ini sudah sering dikemukakan oleh banyak kalangan dalam berbagai pertemuan: kepastian hukum, Otda, PAD, ekonomi masyarakat, dsb. Namun apabila kesemuanya itu diperas menjadi satu, akan bermuara pada terminologi terjadinya “krisis kebudayaan nasional” kalau belum dapat dikatakan sebagai “masih rendahnhya kualitas kebudayaan nasional”.

Salah satu kriteria tinggi rendahnya kebudayaan (culture), adalah keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum. Memahami kebudayaan harus di lihat dari dua aspek yaitu, pertama, kebudayaan dilihat dari sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat; dan kedua, kebudayaan di lihat dari bentuk tindakan yang sering disebut dengan artificial culture. Kebudayaan sebagai satu nilai sifatnya sangat normative, menyangkut hal-hal yang seharusnya dilaksanakan satu momunitas masyarakat. Kebudayaan sebagai satu artificial culture terkait dengan hal-hal atau tindakan-tindakan dalam komunitas masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan lain-lain, sebagai satu produk pemikiran saat tertentu. Permasalahan SDH di Indonesia terkait dengan dua nilai kebudayaan tersebut. Artificial culture biasanya sangat dipengaruhi oleh sistem politik dan politik ekonomi pemerintah yang berkuasa. Dalam hal kebijakan SDH di Indonesia rational choice seperti apa yang dipilih untuk mendukung tujuan pembangunan nasional, biasanya berpihak kepada apa yang disebut oleh Max Weber sebagai rational instrument, artinya pemilihan kebijakan dan politik ekonomi yang diambil terkait dengan “kepentingan penguasa”.

Laju pengrusakan hutan dalam berbagai bentuknya, saat ini dinilai oleh banyak fihak sebagai yang sangat memprihatinkan, sampai memunculkan dugaan bahwa proses ini tidak akan terbendung sampai dengan seluruh SDH yang terjangkau manusia habis. Dugaan ini terutama didasarkan atas kelangkaan dana yang perlu dialokasikan secara memadai bagi pembiayaan proses pencegahannya, maupun terjadinya krisis kebudayaan di seluruh lapisan masyarakat (dari mulai grass root sampai dengan elis) yang belum bagus dalam memberikan penghargaan kepada kepentingan bersama (public property)-nya.

Mengatasi hutan yang terlanjur rusak harus menjadi tekad kuat bagi seluruh rimbawan Indonesia. Hanya saja untuk menyelesaikan ragam masalah tersebut terlebih dahulu menciptakan prakondisinya. Prakondisi dimaksud adalah dengan mengembalikan pemikiran bahwa hutan sesungguhnya merupakan domain publik yang harus diawasi oleh publik juga. Siapapun pengelola SDH harus mampu memberi peluang kepada publik untuk ikut mengawasi peruntukan, pengelolaan, pengawasan, dan pemantauan atas SDH tersebut. Pada saat yang sama persoalan-persoalan kebudayaan bangsa, praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dapat diselesaikan secara elegan. Ke depan harus ada upaya membangun usaha kolaborasi antar stakeholders (masyarakat, pengusaha dan pemerintah). Namun demikian khusus untuk daerah hutan yang terlanjur di okupasi rakyat, perlu diselesaikan dengan sistem penyelesaian tenurial yang khusus, sistem bagi hasil, dan penguatan kelembagaan yang baik.

Semua di atas pada gilirannya akan menghadapi kendala juga manakala SDH masih diposisikan sebagai sector yang diharapkan mampu mendulang devisa dari kayu. Harapan ke depan, SDH Indonesia tidak lagi menjadi mesin pencetak uang demi pembangunan, tetapi diposisikan sebagai mana mestinya yaitu sebagai penyangga kehidupan dalam ekosistem sumberdaya alam. Devisa tentu saja merupakan hal yang harus dipikirkan, dan untuk itu ekonomi politik SDH hendaknya dikembangkan atas dasar bisnis jasa-jasa, pariwisata, perdagangan karbon, dan kembangkan bahan obat-obatan dari hutan alam Indonesia.

Download Full Artikel : peranansdh.pdf