Perlindungan Konsumen Bibit Jati : Tanggung Jawab Siapa

2

Category : Makalah

Mekanisme pasar bebas sudah memasuki semua lini kehidupan ekonomi di seluruh dunia. Pasar bebas telah menjadi ideology bagi tatanan ekonomi dunia sejak paham developmentalis menjadi cara dan pandangan hidup negara-negara dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Di dunia ini tiada hentinya pandangan sosialistis berhadapan dengan pandangan liberalis, kedua paham ini selalu mencari mangsa masing-masing sebagai pendukung. Keduanya punya masalah dalam implementasi dan penciptaan welfare state. Ideologi baru yang sekarang ini membonceng globalisasi adalah Neo-liberal, yang ditandai oleh semakin rendahnya campur tangan pemerintah terhadap mekanisme ekonomi, bisnis, dan pasar, privatisasi merupakan salah satu dari Neo-liberalisme intenasional melalui Bank Dunia, dan paket LOI – IMF. Pada saat yang sama pihak swasta memiliki posisi semakin kuat. Pada kasus Neo-liberalisme ini, siapa yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat ? Swasta ? benarkah posisi ini ? lalu apa kerja pemerintah?

Pertanyaan judul diatas yang terkait dengan perlindungan konsumen bibit jati menjadi relevan konteknya dengan globalisasi dan Neo-liberalisme tersebut. Persoalan keadilan dan moralitas dalam pasar bebas menjadi pertanyaan dasar yang sering sekali dilupakan oleh para pihak. Walaupun keadilan dan moralitas sudah diingatkan oleh Adam Smith pada abad 18 dalam bukunya The Theory of Moral Sentiments dan juga oleh John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice tahun 1971. Smith berpendapat bahwa manusia punya kemampuan rasional yang harus dimengerti dalam kerangka perasaan, intiusi, tanpa harus bersifat sentimental. Perasaan bukan hanya sentimental karena sampai tingkat tertentu perasaan punya struktur noetis yang terkait dengan simpati manusia. Secara imajinatif kita perlu menempatkan diri kita pada situasi orang lain sehingga kita akan paham betul moralitas orang lain dan kita bersimpati pada kehidupan mereka., Dengan demikian walaupun keputusan moral itu perasaan tetapi keputusan tersebut sama sekali tidak bersifat subyektif, keputusan tersebut harus mengandung unsur obyektif dan kognitif.

Dalam kasus penyebaran bibit jati ke masyarakat oleh pengusaha, pertanyaan tentang moralitas dan keadilan menjadi relevan, sebab sejauh ini memang banyak masalah berkaitan dengan bibit jati “komersial” , bibit jati unggul dan emas, dan banyak nama lainnya. Walaupun pada saat yang sama pemerintah tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam mengembangkan hutan rakyat, atau institusi kehutanan tidak peduli dengan kepentingan masyarakat. Demikian pula halnya dengan Perguruan Tinggi, kegiatan penelitiannya tidak menyentuh kepentingan masyarakat. Pihak pemerintah tidak boleh menggunakan relasi KUASA nya untuk menekan kreatifitas pengusaha dan masyarakat. Tindakan yang kontra-produktif terhadap inisiatif masyarakat akan merugikan pelestarian bumi ini. Oleh karena itu kepentingan masyarakat sangat terkait dengan keadilan , Hak Azasi manuisa (HAM), dan demokrasi.

Masalah yang kemudian muncul dari system pemasaran bibit jati di pasar bebas ini banyak bermunculan berangkat dari beberapa pertanyaan mendasar sebagai berikut:

  1. Atas dasar apa pengusaha mengatakan bahwa pertumbuhan diameter jati unggul / emas tersebut mencapai 5 cm pertahun ? apakah pertumbuhan pohon itu selalu linear ?
  2. Atas dasar perhitungan seperti apa mengatakan bahwa pendapatan dari 100 pohon akan mencapai nilai 200 juta rupiah ? bukankah ini sangat spekulatif dan memiliki aroma penipuan?
  3. Departemen Kehutanan, Perguruan Tinggi, cenderung memilih diam. Mengapa tidak mengambil sikap mendukung atau menolak?
  4. Di banyak kabupaten, program penghijauan dan pengembangan hutan rakyat yang di biayai oleh pusat, Dinas Kehutanannya justru menerima bibit jati unggul dan emas sebagai jenis tanaman utama. Mengapa mengambil sikap seperti ini ? adakah unsure KKN ?
  5. Pengusaha bibit jati bergandengan tangan dengan Bupati-Bupati dan para Gubernur? Ada apa?
  6. Siapa bertangung jawab jika assumsi-asumsi pertumbuhan dan nilai ekonomi tidak tercapai sampai pada waktunya?
  7. Mengapa tidak ada sosial order dan perlindungan kepada petani?
  8. Mengapa Perum Perhutani sebagai sebuah BUMN yang core bisnisnya adalah tanaman Jati tidak memiliki political will untuk mengembangkan bibit jati unggul khas Jawa untuk rakyat? Jelas pohon induknya dan mudah dilacak jika ada masalah di kemudian hari. Mengapa Perhutani tidak responsive? Mana tanggung jawab publiknya?
  9. Adilkah jika pada saatnya nanti janji-janji pengusaha tidak terwujud dan petani jadi korban? Mekanisme apa yang dapat menjamin tuntutan bagi rakyat kepada pengusaha;
  10. Masih banyak pertanyaan atas masalah-masalah perkembangan tanaman jati untuk rakyat tersebut, yang tidak mungkin dibicarakan satu persatu dalam tulisan ini.

Kasus bibit jati ini menunjukkan bahwa di sektor kehutanan pasar bebas sudah berjalan dan pemerintah tidak mampu mengontrolnya. Kesejahteraan masyarakat yang seharusnya berada pada kebijakan pemerintah untuk menjaminnya, justru telah diambil alih oleh peran swasta pengusaha bibit, tanpa perlindungan yang jelas. Kampanye jati emas ini di Indonesia memang diprakarsai oleh pengusaha yang memiliki jaringan internasional, karena hal yang sama juga menimpa Thailand, Philipina, Viet Nam, laos, dan negara ASEAN lainnya. Dalam rangka ikut mencari solusi pada perlindungan konsumen pengguna bibit jati tersebut di atas maka konsep-konsep keadilan dan moral eekonomi menjadi relevan untuk diketengahkan sebagai basis rujukan. Dari perspektif teori keadilan Smith dan Rawls kemudian di kaitkan dengan UU Perlindungan Konsumen khususnya dikaitkan dengan hak kewajiban pihak pelaku usaha dan konsumen bibit jati, maka sebuah keniscayaan untuk mengoperasionalkan UU No.8/99 di bidang kehutanan, sehingga semangat masyarakat mengembangkan sumberdaya hayati di Indonesia yang lingkungannya sudah semakin merosot dan terpuruk ini dapat terus terjaga dan terlindungi demi hokum. Seharusnya dengan adanya UU No.8 ini, kegiatan membangun hutan dalam kawasan hutan negara bersama dan oleh masyarakat juga hak-haknya harus dilindungi hokum. Ternyata untuk mewujudkan keadilan tidak mudah, sebab banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Hukum-hukum pasar bebas yang ada saat ini berbeda sangat signifikan dari pemikiran Smith dan Rawls. Jika ada pelaku bisnis bibit jati yang berlaku tidak adil maka moralitasnya dipertanyakan. Pasar bebas model Neo-Liberalisme tidak memasukkan unsur moralitas dalam mekanisme dan proses. Kita memerlukan langkah kongkrit untuk memberikan perlindungan konsumen bibit jati unggul / emas dengan cara membentuk Lembaga Konsumen Kehutanan (LKK) yang berlaku untuk semua konsumen komoditas kehutanan (jati, sengon, mahoni, Ac. Mangium, Ac.auriculiformis, kemiri, sono, pinus, kayu putih, rotan, bamboo, dll). Apabila program pengentasan kemiskinan sector kehutanan akan terus dikembangkan maka LKK posisnya menjadi sangat urgen dan penting. Semoga tulisan dapat memicu diskusi yang konstruktif. Download

Full Artikel : perlindungankonsumenbibitjati.pdf

Disampaikan pada Workshop Nasional Jati 2003 oleh P3BPTH Yogyakarta, 29 Mei 2003

Konstruksi Pengetahuan KPH Sebagai Usaha Bersama Masyarakat

Category : Makalah

Sejak awal tulisan ini perlu disampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan masyarakat dalam konteks pengelolaan hutan di Indonesia. Apa sesungguhnya yang ada di dalam pemikiran dan konsep pembangunan hutan tentang masyarakat? Dimana posisi masyarakat dalam pembangunan hutan secara umum? Kehadiran kebijakan tentang pembentukan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) bukan KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) memberi tantangan baru bagi posisioning masyarakat di dalam pembangunan hutan di Indonesia. Apa sesungguhnya spirit dari pembentukan KPH ini? Apakah sebagai bagian dari pemecahan masalah yang dikaitkan dengan kepentingan pelestarian sumberdaya hutan sebagai syarat pengurangan pasok karbon ke atmosfer ? Apakah sebagai langkah kooptasi pemerintah terhadap masyarakat agar takluk dengan pengetahuan negara? Apakah sebagai upaya mensejahterakan rakyat sekitar hutan? Mengapa semua ini perlu ditanyakan, karena secara konsepsional selama ini posisi rakyat dan masyarakat hanya diletakkan sebagai “pelengkap penderita” dan “pemadam kebakaran” dalam kebijakan dan penerapan kegiatan kehutanan di Indonesia. Apakah ada dasar yang kuat terkait dengan pemberian peran pada masyarakat dalam kerangka kerja KPH menurut aturan pemerintah? Apakah konsep keadilan sosial yang menjadi spirit dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi acuan dalam kerangka kerja KPH ?

Konstruksi masyarakat dalam siklus pembangunan dan pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sangat terkait dengan desain kawasan hutan yang dipersiapkan untuk masyarakat di dalam sistem KPH tersebut. Data tentang kawasan hutan di Indonesia sangat bervariasi. Ada laporan yang menyebutkan bahwa hutan di Indonesia akan habis pada tahun 2007-2010, tetapi kenyataannya tidak terbukti. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya rasionalisasi kawasan hutan di Indonesia untuk memantapkan langkah-langkah pengelolaan hutan yang lebih baik. Untuk kepentingan rasionalisasi tersebut diperlukan pemahaman tentang “jangka benah” hutan Indonesia, dan dukungan kelembagaan yang sesuai untuk mendukung semua proses dalam jangka benah tersebut. Pembentukan KPH adalah dalam rangka jangka benah tersebut. Rasionalisasi berarti pengurusan hutan ke depan di Indonesia didasarkan atas data-data faktual lapangan, dengan tetap memperhatikan tata aturan yang berlaku (Awang, 2007).

Konstruksi pengetahuan untuk pembentukan dan pelaksanaan konsep KPH tentu saja memiliki banyak mazhab. Karena mazhab yang banyak itu cenderung berbeda-beda, maka harus ada kata putus untuk memilih mazhab mana yang akan di pakai, atau semua mazhab dipakai. Apapun pilihan yang akan diambil. Maka masih sudah selayaknya diikuti dengan kelengkapan regulasi, dukungan kemampuan /kompetensi SDM, kelembagaan yang tepat.

Tulisan ini menempatkan KPH sebagai usaha bersama masyarakat, artinya spirit yang digunakan adalah spirit Koperasi sebagai bentuk nyata perwujudan dari pasal 33 UUD 1945. Wacana Koperasi ini sangat wajar dan sudah seharusnya karena ada upaya melibatkan peran masyarakat dalam pelaksanaan KPH tersebut. Ketika wadah koperasi sebagai pilihan, maka permasalahan utamanya terletak pada 3 pilar dasar tersebut di atas, yaitu: (1) siapa stakeholders pemilik /pemanfaat sumberdaya hutan dalam konsep KPH; (2) Siapa diantara stakeholders yang akan ditetapkan sebagai pengawas berlangsungnya pelaksanaan KPH ?; dan (3) bagaimana cara sisa hasil usaha dibagikan kepada stakeholders dan anggotanya? Kendala utama dalam KPH sebagai usaha bersama masyarakat adalah belum ada konsep yang didiskusikan secara mendalam oleh pihak-pihak terkait, dan kelihatannya kebijakan yang tersedia tidak memasukkan koperasi sebagai salah satu alternative. Kalau demikian adanya, filosofi dan ideology apa yang digunakan oleh pemerintah dalam membangun KPH yang berkeadilan bagi masyarakat? Bukankah ini Indonesia? Haruslah ideology Indonesia yang dipakai sebagai rujukan.

Mengingat pentingnya status dan posisi KPH dalam system pengelolaan hutan lestari di Indonesia, maka pencermatan secara kritis harus tetap dilakukan. Pengambilan keputusan yang kurang tepat, apalagi konsep KPH berusaha memadukan dengan partisipasi masyarakat, maka bangun usahanya harus secara jelas melibatkan masyarakat sejak konsepnya di buat. Tulisan ini bagian kecil dari pemikiran yang menurut kami layak untuk diperdebatkan. Konstitusi dasar Indonesia pasal 33 UUD 1945 selayaknyalah menjadi bahan rujukan utama dalam membangun keadilan sosial di Indonesia, bukan menggunakan tolok ukur ideology Negara lain. Semoga ada manfaatnya.

Download Full Artikel : konstruksipengetahuankph.pdf

Social Forestry Indonesia: Jangan Membuat Kesalahan Berulang

Category : Makalah

Perubahan kebijakan di sektor kehutanan yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan sejak tahun 1998 sampai tahun 2002 sering sekali mengandung kontroversi di tengah masyarakat, baik masyarakat pengusaha, masyarakat politik, pemerhati, pemerintah daerah, dan di kalangan pengusaha. Ragam kebijakan tersebut mencakup upaya-upaya perbaikan pada sumberdaya hutan, penataan organisasi internal, mengelola tekanan internasional seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF), serta bersikap sedikit adaptif terhadap kepentingan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Beberapa Menteri Kehutanan seperti Muslimin Nasution, Nurmahmudi, dan Marzuki Usman, tidak memiliki program unggulan yang fokus, sehingga implimentasi perubahan tidak dapat dipantau, tentu disamping karena terlalu cepatnya Menteri berganti sebagai akibat dari pengaruh politik dagang sapi di dalam kabinet pemerintah yang berkuasa.

Menteri kehutanan M. Prakosa dengan segala macam warisan permasalahan hutan yang disandangnya, kelihatannya berupaya “menegakkan benang basah” diantara banyak hal yang muskil untuk dilakukan, tetapi terpaksa harus dilakukan, demi menyelamatkan sumberdaya hutan Indonesia pada masa yang akan datang. Ada lima program unggulan Departemen Kehutanan yang akan dibungkus dengan 1 program payung Social Forestry (kehutanan sosial). Lima program unggulan dan fokus tersebut adalah: (1)Pemberantasan penebangan haram, (2) Pencegahan kebakaran hutan, (3) Restrukturisasi industri kehutanan, (4) Melakukan rehabilitasi hutan dan pembangunan hutan tanaman industri; dan (5)mendorong desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan.

Satu hal yang pasti dalam kontek kehutanan sosial sejak 1986 sampai sekarang adalah bahwa pembangunan kehutanan sangat dekat dengan pembangunan pedesaan, dan oleh karena itu strategi kehutanan sosial sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan pembangunan masyarakat desa hutannya. Oleh karena itu melangkah ke KEHUTANAN BARU INDONESIA melalui paradigma kehutanan sosial, haruslah disepakati dasar-dasar kesepahaman seluruh stakeholders, sehingga TIDAK SALING MENJEGAL ditengah perjalanan. Dasar kesepahaman tersebut antara lain mencakup:

  1. Epistemologi kehutanan sosial (KS): apakah ada kesepahaman tentang perubahan sosial menuju demokratisasi pengelolaan SDH, dan apa mandat KS ini (timber based atau eksositem based)
  2. Penghargaan atas HAM masyarakat sekitar hutan
  3. Ruang kelola rakyat dan organisasinya atas sumberdaya alam harus jelas
  4. Ruang kelola pemerintah dan organisasinya atas sumberdaya hutan harus jelas
  5. Berkeadilan, transparan, dan demokratis
  6. Sosiologi politik SDH : hubungan negara dan rakyat dipertegas dan jelas atas sumberdaya hutan
  7. Politik ekonomi konservasi untuk melindungi sosial budaya masyarakat
  8. Keseimbangan ekosistem hutan
  9. Kebijakan : memperjelas SDM pelaku KS, administrasi profesional, dan penetapan lokasi kehutanan sosial, sinkronisasi kehutanan sosial dengan kepentingan pemda membangun perusahaan Daerah, lokasi pelaksanaan KS, manfaat KS, dan mengembangkan unit manajemen KS yang sesuai dengan spesifikasi wilayah masing-masing.

Semangat populis saja tidak cukup untuk mengembangkan strategi dan program kehutanan sosial (social forestry) di Indonesia. Perhitungannya harus cermat dan konsepnya harus memberi dasar-dasar yang sangat kuat mengapa Indonesia kembali mendorong program kehutanan sosial tersebut. Lokasi implementasi kegiatan kehutanan sosial dapat pada lahan milik masyarakat, hutan adat, dan kawasan hutan milik negara. Kawasan hutan negara yang layak untuk ditetapkan menjadi kawasan model kehutanan sosial adalah semua fungsi hutan, kawasan berhutan, kawasan hutan berpotensi rendah, semak belukar dan tanah kosong, hutan lindung, dan hutan konservasi. Sementara kawasan hutan milik juga diterima sebagai bentuk-bentuk kehutanan sosial. Khusus untuk kawasan hutan eks eksploitasi HPH dan eks kawasan HTI yang ditinggalkan dan juga yang di cabut oleh pemerintah, untuk selanjutnya dapat dibangun melalui program kehutanan sosial (social forestry). Catatan penting dari paradigma dan program kehutanan sosial di Indonesia adalah melaksanakannya di lapangan sesuai dengan kebutuhan wilayah masing-masing. Sikap pemerintah yang selalu ingin “cetak biru” , “seragam”, dan ” uniformitas” program kehutanan sosial dan ditentukan di Departemen Kehutanan jakarta adalah cara-cara yang harus ditinggalkan. Pemerintah pusat hanya perlu membuat bingkai (frame) yang memberi kewenangan kepada stakeholders di daerah untuk melakukan inovasi yang bertanggung jawab.

Download Full Artikel : socialforestryindonesia.pdf