Pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management)/ SFM diartikan sebagai upaya melakukan sinergi peran para pelaku pengelolaan hutan untuk mewujudkan kelestarian hutan di Indonesia untuk jangka panjang. SFM dapat dilihat dari banyak aspek, salah satunya dilihat dalam perspektif pemberdayaan masyarakat yang dikaitkan dengan ketersediaan tanah, pembangunan sumberdaya hutan, dan keadilan sosial sesuai dengan pembukaan UUD 1945. Perspektif ini didukung oleh semangat reformasi dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Penyelesaian masalah tanah dan hutan untuk keadilan sosial ini masih memerlukan perjuangan dan penyadaran semua pihak secara arif, berjiwa besar, bermartabat secara hukum yang dilandasi oleh pengetahuan sosiologis masyarakat Indonesia.
Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya sistematis yang dikenakan kepada individu atau kumpulan orang untuk mencapai tujuan mereka. Pemberdayaan masyarakat berarti juga upaya meningkatkan kemampuan orang atau kelompok orang sehingga menghasilkan kemandirian orang per orang atau kelompok. Dalam proses pemberdayaan menuju kemandirian ini, masyarakat desa dibantu, didampingi dan difasilitasi untuk melakukan analisis dari masalah yang dihadapi, untuk menemukan pemecahan masalah tersebut dengan menggunakan sumberdaya yang dimiliki, menciptakan aktivitas dengan kemampuannya sendiri. Dalam pemberdayaan, masyarakat diberi peluang memutuskan apa yang dikehendaki, inisiatif mereka menjadi dasar program-program dan rencana pembangunan desa. Peran pihak lainnya tetap ada tetapi tidak lagi sebagai pelaksana kegiatan. Peran pihak luar hanya mendukung inisiatif lokal saja, tidak dalam kapasitas memaksakan kehendak mereka.
Sesungguhnya secara teoritik kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam sektor apapun pastilah diawali dengan hadirnya nuansa konflik antara masyarakat dengan pihak lainnya. Konflik tersebut sukar dihindari, tetapi harus dihadapi dan dikelola. Pemberdayaan masyarakat dalam sektor kehutanan dimaksudkan sebagai upaya untuk mengelola konflik agar menjadi lebih produktif dan bermanfaat bagi semua pihak terkait. Pemikiran SFM, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan skenario pengelolaan hutan yang sesuai dengan masalah-masalah sosial ekonomi budaya dan politik di Indonesia, akan diperbincangkan dalam tulisan ini.
Menurut data tahun 2008, di Asia Pasifik terdapat 640 juta orang miskin (diukur dari pendapatan $ 1/hari), dimana sebagian besar dari orang miskin tersebut tinggal dan hidup di sekitar kawasan hutan. Di kawasan Asia Pasifik terdapat 260 juta penduduk asli (indigenous people), dan sebanyak 60 juta jiwa bergantung kehidupannya dari sumber daya hutan. Di Indonesia ada 48,5 juta jiwa penduduk di sekitar hutan, dan sekitar 10,2 juta jiwa masuk dalam kategori penduduk miskin.
Di kawasan Asia Fasifik luas hutan sekitar 731 juta ha (tahun 2000) dan meningkat menjadi 734 juta ha (tahun 2005). Pertambahan luas hutan sebanyak 3 juta ha ini berasal dari keberhasilan pembuatan tanaman Hutan Tanaman Industri di China dan Vietnam. Namun demikian di Asia Fasifik juga telah kehilangan hutan seluas 3,7 juta ha karena deforestasi. Indonesia untuk tahun 2008 mengalami deforestasi sebesar 1,08 juta ha. Dalam kurun waktu 1990 s/d 2005, Indonesia kehilangan hutannya rata-rata antara 1.8% s/d 2% per tahun, termasuk rekor tertinggi di dunia. Bandingkan angka ini dengan laju deforestasi tingkat dunia yang hanya 0.18% per tahun, Indonesia melampaui nya. Bandingkan pula dengan prestasi Vietnam yang bisa membalik deforestasi menjadi perluasan hutan. Vietnam menambah hutannya dengan laju 2% setiap tahun, khususnya dari pengembangan HTI. Di Asia-Pacific, hanya terdapat 14.4 juta ha kawasan hutan yang dikategorikan dikelola secara lestari. Sampai thn 2008, hanya 30 jt ha hutan di dunia ini yg disertifikasi (8% saja dari seluruh hutan di dunia) dan lebih dari 90% hutan yang disertifikasi terdapat di negara-negara maju. Di Asia-Pacific sedikit sekali hutan yang sudah disertifikasi, menyedihkan (FAO, 2009), dan di Indonesia hutan rakyat banyak yang sudah mendapat sertifikasi hutan rakyat lestari dari LEI atau lainnya.
Sumberdaya hutan di Indonesia saat ini berada dalam satu fase tekanan yang amat serius akibat dari perubahan sistem pemerintahan dan perkembangan ekonomi, politik, sosial, teknologi, dan perubahan iklim. Jika tidak segera dipersiapkan dan diantisipasi dengan cerdas, sistematis, berani, kalkulatif, dan bertanggung jawab, maka dapat dipastikan fungsi hutan sebagai pensuplai materi kehidupan, pengawetan alam, konservasi alam, sumber plasma nutfah, sumber obat-obatan masa depan manusia, pengatur stabilitas iklim global, dan pengatur sumber air, akan segera musnah dari bumi Indonesia. Pasti semua hal di atas tidak kita inginkan. Pertumbuhan penduduk dan pemenuhan kebutuhan lahan untuk kegiatan non-kehutanan adalah dua hal yang dapat dilihat sebagai kompetitor, dan dapat juga menjadi hal yang bersinergis positif jika ada kejelasan arahan pembangunan Indonesia. Pembangunan yang pro kapitalis ? pro rakyat? Pro pertumbuhan? Dan pro lingkungan?
Sebagian besar kebijakan pembangunan kehutanan sejak tahun 1970-an telah dilahirkan atas dasar ” profesional dalam bidang kehutanan”. Contoh paling nyata adalah pemanfaatan hutan alam tropis dengan sistem HPH pada awalnya tidak didasarkan atas penelitian yang akurat, tetapi didasarkan atas toeri-teori yang sudah berjalan di beberapa negara. Kaum intelektual yang memproduksi pengetahuan juga memiliki andil kesalahan dalam pemanfaatan hutan tropis luar jawa pada masa Orde Baru. Tetapi pengambil kebijakan, institusi pemerintah sebagai lembaga yang memproduksi regulasi dan pengawas pelaksanaan pembangunan, memiliki andil kesalahan yang paling besar. Ke depan mereproduksi kesalahan tersebut sudah harus tidak diulang lagi oleh siapapun. Saat ini semua pihak di Indonesia sudah memiliki pengalaman banyak untuk tidak membuat kesalahan baru.
Dalam kontek pengelolaan hutan di Propinsi Lampung, selama 3 dasarwarsa terakhir ini memang sangat tidak menggembirakan. Lebih dari 73% kawasan hutan lindung mengalami perubahan fungsi dimana penggunaan lahan hutan berubah menjadi penggunaan non kehutanan (menjadi kebun kopi dan semak belukar). Hutan produksi dan hutan konservasi juga mengalami perubahan fungsi menjadi pemukiman dan kebun. Kawasan hutan dengan semua fungsinya di Propinsi Lampung telah mengalami perubahan bentuk pemanfaatan oleh masyarakat (sebagian besar melalui proses illegal menurut hukum positif).
Pertanyaan dasar dalam makalah ini adalah: (1) Bagaimana persoalan pertanahan dalam pembangunan hutan dan kehutanan di Indonesia; (2) banyak kawasan hutan yang dikuasai negara sudah diduduki oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Bagaimana pemerintah mensikapi keadaan seperti ini?
Download Full Artikel : RelasiPemanfaatanLahanHutan.pdf