Otonomi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bolaang Mangondo

Desentralisasi dan otonomi pengelolaan sumberdaya hutan di Bolmong menghadapi beberapa masalah mendasar yaitu : (1) tarik menarik antara kepentingan PAD dan konservasi; (2) belum jelasnya pembagian tugas dan tanggung jawab antara keinginan Pemda dan keinginan Departemen Kehutanan; (3) belum jelasnya tugas dan tanggung jawab antara Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten; (4) belum ada konsep atau strategi yang mantap untuk mengelola hutan di Bolmong; (5) belum ada kesepakatan Visi, Misi, Tujuan, strategi, kebijakan daerah, dan program-program, di Bolmong untuk pengelolaan SDH nya; dan (6) posisi rakyat dan masyarakat dalam sistem pengelolaan SDH di daerah belum jelas dan mungkin belum terfikirkan.

Permasalahan di atas yang berkaitan dengan tugas-tugas instansi pemerintahan harus segera diselesaikan dengan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:

  • Pemerintah daerah, khususnya Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten segera mengambil inisiatif untuk melakukan konsultasi bersama. Dasar-dasar hukum perlu dirujuk, tetapi perlu KEBERANIAN untuk melakukan tindakan terobosan jika ada keinginan-keinginan yang logis dan “common sense” dapat diterima oleh semua pihak;
  • Membuat kontrak sosial baru atas otonomi pengelolaan SDH dengan melibatkan para pihak publik secara luas. Model konsultasi publik dapat dilakukan disini. Outputnya adalah menghasilkan Visi, Misi, tujuan, strategi, program, definisi baru tentang hutan, dan kelembagaan yang mampu menjamin kelestarian sumberdaya hutan yang sinergis dengan hasil dari proses kontrak sosial baru tersebut;
  • Membentuk Dewan / Forum pemerhati Kehutanan yang independen untuk mengontrol kinerja Dinas Kehutanan di Bolmong. Siapa yang menjadi anggota Dewan / Forum pemerhati ini adalah ditentukan oleh publik Bolmong sendiri (multi-pihak). Merumuskan hak dan kewajiban serta tugas dan tanggung jawab Dewan/ forum ini secara bersama-sama.
  • Menjadikan organisasi masyarakat lokal sebagai pelaku utama (subyek) dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang otonom. Hubungan kelembagaan antara organisasi masyarakat dengan instansi pemerintah (Dinas kehutanan) perlu dirumuskan dan diambil kesepakatan secara demokratis dan terbuka. Pemerintah dalam hal ini hendaknya memposisikan sebagai fasilitator, dinamisator, regulator yang partisipatoris, monitoring dan evaluasi.
  • Mengembangkan proses akuntabilitas publik tentang pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan baik oleh pemerintah maupun oleh organisasi masyarakat.

Pendekatan kelembagaan yang diuraikan di atas sebetulnya belum menjamin keterlibatan secara aktif dan partisipatif masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan. Menurut hemat kami, semua orang Indonesia saat ini sudah sepakat bahwa PENGELOLAAN SDH TIDAK LAGI DAPAT MENGABAIKAN PERAN AKTIF MASYARAKAT. Oleh karena itu jika otonomi pengelolaan SDH di Bolmong sudah disepakati model dan pendekatannya, maka harus ada jaminan bahwa masyarakat mendapat posisi penting di dalam sistem pengelolaan tersebut, misalnya kawasan hutan negara statusnya tidak berubah, fungsinya dapat berubah sesuai dengan indikator lokal dan permasalahan lokal, dan pengelolaannya dilaksanakan oleh masyarakat bersama-sama dan dibantu dengan pengusaha yang berjiwa kerakyatan dan kelestarian SDH. Alternatif lain dapat juga seluruh kawasan hutan produksi di kelola oleh manajemen desa melalui institusi lokal BPD (badan Perwakilan Desa dan organisasi desa).

Desentralisasi dan otonomi pengelolaan sumberdaya hutan harus dilihat dalam kontek yang “cerdas” dan jelas-jelas berpihak kepada kepentingan masyarakat. Pemerintah daerah tidak dapat selalu mengatasnamakan rakyat tetapi rakyat tidak pernah diajak bicara dan tidak pernah diajak konsultasi secara terbuka dan demokratis. Banyak praktik-praktik di daerah di Indonesia, dimana peraturan daerah tentang pemanfaatan hutan di buat tetapi hanya untuk kepentingan PAD saja dan tidak tahu harus berbuat apa untuk melestarikan sumberdaya hutannya. Desentralisasi dan otonomi pengelolaan SDH harus dijadikan peluang yang sebaik-baiknya bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk memanfaatkan sumberdaya hutan sesuai dengan kepentingan wilayah DAS, bukan kepentingan yang dibatasi oleh batas-batas administrasi wilayah. Karena itu peran instansi di Propinsi masih tetap penting untuk melakukan koordinasi dan pengawasan kepada instansi-instansi yang ada di kabupaten. Silang pendapat atas interpretasi berbagai peraturan dan perundang-undangan seperti UU N0.22/99 dengan UU.No.41/99 tentang kehutanan, adalah kensicayaan untuk dihindarkan karena memang ketika dibuat sudah mengandung friksi dan interest yang berbeda. Kekuatan otonomi daerah sudah menjadi kemauan politik bangsa dan oleh arena itu harus dijadikan pintu masuk untuk memperbaiki seluruh kinerja komponen masyarakat did aerah, bukan digunakan tameng untuk semakin minindas masyarakat.

Pemikiran pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya tipikal untuk Bolmong harus dilakukan tidak atas dasar kepentingan memanen kayu saja, tetapi sesuai dengan potensi Kabupaten yang banyak memiliki hutan lindung dan konservasi, maka desain-desain pembangunan kehutanannya hendaknya bertumpu pada pengembangan potensi tersebut, bukan kembali mengikuti pola-pola perusahaan besar seprti HPH. Bomong kelihatan akan lebih sesuai jika menggunakan pendekatan “sylvi bisnis yang forest based small scale enterprises”. Tentu, organisasi masyarakat perlu diberi tanggung jawab untuk ikut aktif dalam pengelolaan tersebut. Dalam arti yang lebih luas sebagai sebuah strategi, maka otonomi pengelolaan SDH Bolmong ke depan hendaknya mengikuti prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah yang berbasis masyarakat akan menjamin kelestarian sumberdaya hutan Bolmong pada masa yang akan datang. Ini sebuah KEYAKINAN.

Download Full Artikel : otonomipengelolaansdhbolaangmangondo.pdf

Post a comment