Konsolidasi Organisasi Dalam Membangun Gerakan Bersama (Belajar dari Pengalaman Berjaringan)

Category : Makalah

Banyak penelitian menyebutkan bahwa sesungguhnya sumber daya hutan Indonesia yang memiliki tingkat keragaman hayati tinggi telah sejak lama dikelola oleh beragam sistem pengelolaan tradisional oleh rakyat. Buku Sejarah Kehutanan Indonesia yang dikeluarkan Departemen Kehutanan pada tahun 1987 menyebutkan bahwa para peneliti Belanda pada akhir abad 18 telah melaporkan tentang keberadaan hutan damar rakyat di Krui, Lampung, hutan kemenyan di Sumatra Utara dan Sumatra Selatan, hutan jati rakyat di Palembang, hutan jati rakyat di Sulawesi dan hutan tengkawang yang dikelola rakyat di Kalimantan Barat. Sistem-sistem tersebut dipengaruhi oleh situasi ekologis dan geografis serta kondisi sosial-budaya. Laporan tentang keberadaan sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat terus bertambah.

Saat ini diketahui bahwa sistem seperti ini telah lama tumbuh dan berkembang secara mandiri di hampir seluruh wilayah Indonesia. Para peneliti melaporkan bahwa sistem ini bukan saja menjamin kelestarian ekosistem sumberdaya hutan, namun juga berperan penting dalam mendukung sistem sosial budaya masyarakat, bahkan perekonomian tingkat lokal dan regional. Sebagai contoh, ekspor damar dari hutan damar rakyat di Krui diketahui memberikan kontribusi terhadap devisa negara. Bahkan pada awal-awal kemerdekaan masyarakat Krui mampu menyekolahkan putra-putra daerahnya ke Yogyakarta, Jakarta, dan bandung. Walaupun demikian, sistem ini terus mengalami proses peminggiran (marjinalisasi) struktural akibat kebijakan pembangunan dan kebijakan kehutanan yang berbasis pada cara pandang kontrol dan dominasi negara dan cara pandang penambangan kayu yang digagas oleh pemerintah pusat.

Sudah saatnya sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat dipandang sebagai suatu pendekatan alternatif dalam pengelolaan sumber daya hutan Indonesia. Sistem ini menawarkan nilai-nilai, konsep-konsep, pranata-pranata sosial dan lingkungan, metodologi, teknik, dan ketrampilan inovatif dalam mengelola sumberdaya hutan. Berkaitan dengan semangat tersebut, wakil-wakil masyarakat sipil yang bekerja di perguruan tinggi, lembaga penelitian, instansi pemerintah, perusahaan swasta dan BUMN, LSM, masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berdedikasi dan memiliki perhatian besar pada kehutanan masyarakat, telah memulai proses diskusi, kajian, dialog kebijakan, penelitian dan program aksi lapangan yang mendukung pengembangan kehutanan masyarakat. Seirama dengan semangat ini, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) didirikan di Yogyakarta pada akhir tahun 1997.

Sejarah Pendirian FKKM

FKKM didirikan pada tanggal 23-24 September 1997, sebagai inisiatif bersama yang dimaklumatkan dan dideklarasikan dalam pertemuan para pihak terkait (multistakeholders) yang diselenggarakan di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Forum Komunikasi ini didirikan sebagai wadah pertukaran informasi untuk isu kehutanan masyarakat dan kebijakan kehutanan di Indonesia. Diharapkan bahwa wadah ini dapat membantu merumuskan gagasan, program, gerakan menuju pengembangan kehutanan masyarakat di Indonesia.

Visi dan Misi FKKM

Visi FKKM adalah pengelolaan Kehutanan Masyarakat (Community Forestry) harus berdasar pada sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip keadilan, transparansi, pertanggungjawaban, dan keberlanjutan pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial-budaya Misi FKKM adalah forum ini harus berperan sebagai pendorong (motivator) gerakan menuju cara pandang kehutanan masyarakat di Indonesia. Untuk mencapai misi ini, FKKM mendukung proses-proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas (capacity building), dan perumusan kebijakan kehutanan dalam arti umum dan khusus yang hidup, berasal dan berkembang di tengah masyarakat. Dalam menjalankan misi tersebut di atas, kelompok sasaran yang dituju adalah lembaga akademis, instansi pemerintah, pemerintah daerah, DPRD, perusahaan swasta dan BUMN, penyandang dana, LSM, Masyarakat Adat dan masyarakat lokal. FKKM bersifat dinamis dan selalu melakukan revitalisasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan sosio politik yang terjadidi tingkat lokal maupun nasional. Sejak tahun 2000, untuk mewujudkan misi tersebut disepakati oleh seluruh anggota jaringan agar FKKM memberikan fokus kegiatan kearah mendorong desentralisasi, otonomi dan devolusi pengelolaan sumberdaya hutan di daerah Propinsi dan kabupaten, serta ikut dalam upaya-upaya resolusi konflik yang berkaitan dengan sumberdaya alam melalui berbagai peluang yang ada di daerah. Karena irtu FKKM harus pro aktif.

Anggota Jaringan dan Pengurus FKKM

Sebagai forum komunikasi, FKKM membuka kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh pihak terkait (multistaholders) untuk bergabung sebagai anggota jaringan. Sejak didirikan, di dalam FKKM telah bergabung anggota-anggota yang mewakili keragaman kelembagaan (institusi), sebaran geografis, dan keseimbangan gender. Perangkat Organisasi dalam FKKM adalah sebagai berikut : (a) Pengurus FKKM dipilih dalam Pertemuan Reguler. (b) Di tingkat regional, Pengurus FKKM didukung oleh tujuh belas fasilitator wilayah (Faswil) yang masing-masing memfasilitasi berbagai masalah dan kegiatan Kehutanan masyarakat di propinsi dan kabupaten. Wilayah kerja lima belas Fasilitator Wilayah FKKM tersebut meliputi : (1) DKI dan sekitarnya, (2) Jawa Barat, (3) Jawa Tengah, (4) Jawa Timur, (5) DI Yogyakarta, (6) Kalimantan Barat, (7) Kalimantan Timur, (8) Lampung, (9) Jambi, (10) Sumatra Barat, (11) NTB, (12) NTT, (13) Sulawesi Tenggara, (14) Sulawesi tengah, (15) Sulawesi Selatan, (16) Sulawesi Utara, (17) Nangroe Aceh Darussalam ; (c) Faswil bertugas melakukan sosialisasi visi dan misi FKKM dan menyesuaikan gerakan mendorong kehutanan masyarakat seirama dengan temuan dan potensi biofisik, sosial ekonomi dan budaya serta pperkembangan dan dinamika politik wilayah masing-masing. (d) Wujud Fasilitator Wilayah (faswil) berbeda antar propinsi, dan hal tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang sudah dimiliki oleh daerah masing-masing.

Strategi Pelibatan Para Pihak

FKKM memiliki prinsip bahwa pemahaman dan pelaksanaan kehutanan masyarakat harus dimiliki oleh semua penggiat dan pencinta lingkungan, serta pengambil kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Setiap kegiatan tentu dikemas dalam satu program yang sejalan dengan visi dan misinya. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh Faswil maupun oleh pengurus FKKM, pihak departemen kehutanan dan jajarannya di daerah selalu menghadiri dan bertukar fikiran sebagai satu proses belajar bersama. Sadar sepenuhnya bahwa FKKM tentu tidak dapat memenuhi keinginan semua anggota jaringan. Tarik menarik konsep dan kecenderungan kecenderungan gerakan yang di dorong FKKM sangat dipengaruhi oleh frekuensi kehadiran anggota jaringan dalam berbagai meeting yang digelar oleh FKKM di tingkat nasional maupun ditingkat lokal /daerah. Manfaat proses belajar dan tukar menukar informasi sangat cepat dirasakan oleh anggota jaringan yang berasal dari masyarakat, LSM, dan Perguruan Tinggi. Dari pihak pemerintah selalu memberi respon yang terlambat dalam banyak hal dan sukar menerima perubahan. Strategi FKKM menjalankan mendorong gerakan kehutanan masyarakat tersebut melalui 2 tingkatan yang berjalan simultan yaitu : a. strategi nasional melalui keterlibatan aktif seluruh anggota jaringan FKKM dalam mempengaruhi perubahan kebijakan. b. startegi lokal (daerah) melalui dialog dan diskusi secara terus menerus dengan berbagai pihak di tingkat pemerintah daerah dan wakil-wakil rakyat (DPRD). c. strategi pengambilan keputusan ke publik harus mendapat persetujaun dari anggota jaringan, artinya pengurus FKKM tidak boleh mengambil keputusan tanpa persetujuan anggota jaringan. FKKM harus memegang prinsip-prinsip insklusifitas bukan eksklusifitas, dan pro-aktif.

Fasilitasi Anggota Jaringan

Pada dasarnya FKKM ini memang berperanan dalam hal memfasilitasi berbagai proses belajar dari para anggota jaringannya. Dengan demikian sesuai dengan sifatnya forum, maka FKKM memiliki keterbatasan dalam hal mengambil tindakan teknis langsung di lapangan, sebab kesepakatan yang dibangun adalah bahwa kegiatan teknis mendorong dan membuktikan keberadaan kehutanan masyrakat di lapangan adalah dilaksanakan oleh anggota jaringan di berbagai wilayah binaan dan dampingannya. FKKM sebagai forum boleh juga mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan yang sudah masuk katagori operasional, setelah mendapat dukungan dari anggota jaringan. Oleh karena itu fasilitasi FKKM kepada anggota jaringan disinkronkan dengan program kerja FKKM yang diuraikan di bawah ini. a. Pertemuan Reguler b. Penelitian Bersama (Kolaboratif) c. Dialog Kebijakan d. Pengembangan Jaringan Kerja (Networking) e. Informasi dan Publikai f. Studi Banding g. Penguatan Proses Desentralisasi di tingkat Regional

Penutup

Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman lapangan, dan memang kewajiban FKKM untuk menyebar luaskan berbagai proses belajar yang sudah dicapai. Semua ini menjadi hak publik yang diharapkanmenatangkan manfaat bagi kepentingan masyarakat. Banyak kekuranganyang masih dirasakan oleh FKKM karena pengurus memang dihadapkan pada kondisi yang tidak dapat dihindarkan. Disatu pihak ragam harapan banyak orang kepada FKKM untuk mendorong gerakan kehutanan masyarakat besar, tetapi disisi lain aktivitas setiap faswil juga berbeda, dan perbedaan tersebut cukup mengganggu juga jika tidak diselesaikan. Karena itu selain melaksanakan kegiatan, pengurus FKKM juga melakukan konsolidasi organisasi sehingga strategi pengembangan faswil-faswil di berbagai daerah juga menjadi isu penting di dalam membawa gerbong fkkm tersebut. Harapan kami tulisan singkat berdasarkan pengalaman FKKM ini ada gunanya bagi pembangunan isu-isu dan agenda kerja dari sistem pendidikan lingkungan di Indonesia (JPL). Tantangan dari JPL sesungguhnya terletak pada rendahnya pemahaman lingkungan dari sebagian besar masyarakat pedesaan. Membangkitkan kesadaran , mencintai dan menghargai lingkungan adalah penting, tetapi hal tersebut tidak dapat dijalankan jika “basic need” masyarakat tidak terpenuhi. Oleh karena itu kurikulum lingkungan juga secara sinergis mengajarkan model-model bisnis rakyat yang ramah lingkungan. Semoga pengalaman FKKM ini ada manfaatnya.

Download Full Artikel : konsolidasiorganisasi.pdf

Lembah Nusa, Bogor, 8 November 2001

Manajemen Hutan Rakyat Kolaboratif Di Tingkat Kawasan

Category : Makalah

Istilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dalam program-program pembangunan kehutanan di Indonesia. Dalam UU Pokok Kehutanan Tahun 1967 dan UU Kehutanan No.41 tahun 1999, istilah hutan rakyat disamakan dengan terminologi hutan milik. Di Jawa hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah merdeka pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri” (Wartaputra, 1990). Secara nasional kemudian pengembangan hutan rakyat berada di bawah payung program penghijauan, yang dimulai sejak tahun 1960-an, dimana Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1961. Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat).

Di dalam hutan rakyat di tanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka ragam. Untuk hasil kayu misalnya, sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp), mahoni (Swietenia mahagoni) dan lain sebagainya. Sedang yang hasil utamanya getah antara lain kemenyan (Styrax benzoin), damar (Shorea javanica). Sementara itu yang hasil utamanya berupa buah antara lain kemiri, durian, kelapa dan bambu (Suharjito dan Darusman, 1998). Berdasarkan Sensus Pertanian tahun 1993, jumlah rumah tangga yang mengusahakan hutan rakyat adalah 827.767 rumah tangga dari 19.713.806 rumah tangga petani pengguna lahan. Sebagian petani hutan rakyat berada di Jawa, 690.895 (83,5 %) dan sebagian besar (53,8 %) mengusahakan lahan yang luasnya kurang dari 0,75 ha.

Karakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah bersifat individual, oleh keluarga, tidak memilki manajemen formal, tidak responsif , subsisten, dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangan ke depan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, dan sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutannya tidak dapat di jamin.Oleh karena itu diperlukan strategi baru untuk mengelola hutan rakyat . Salah satu pemikiran yang akan dikembangkan dalam tulisan ini adalah membangun model manajemen hutan rakyat secara kolaboratif pada tingkat kawasan tertentu.

Hutan Rakyat dan Pekarangan

Fenomena pekarangan di Jawa sangat menarik untuk dianalisis, sebab berdasarkan banyak bacaan dan informasi lapangan menunjukkan bahwa ada korelasi antara model-model pekarangan dengan model-model tegalan yang komposisi tanamannya mirip dengan komposisi tanaman yang ada di pekarangan. Pekarangan di Jawa memang unik jika dilihat dari tata ruang desa dan interaksi sosial pekarangan dan kemampuan ekonomi keluarga di pedesaan. Dilihat dari udara, pada saat pesawat melintasi pedesaan di Jawa, maka akan terlihat hamparan tanaman berbentuk kotak-kotak, hanya tajuk tanaman keras saja yang terlihat, sementara satuan pemukiman dan fasilitas sosial lainnya nyaris tidak terlihat dari udara. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pekarangan yang ditandai oleh adanya unit pemukiman dan kumpulan tanaman keras disekitar pemukiman telah membentuk basis ekosistem sendiri yang menopang kehidupan masyarakat. Satuan ekonomi, budaya dan sosial masyarakat telah menyatu dalam ekosistem pekarangan tersebut. Di daerah Jawa pada umumnya, keberadaan pekarangan di desa-desa sangat penting, terutama dilihat dari aspek ekologi dan ekonomi serta hubungan tata ruang. Di beberapa tempat di Jawa, lokasi hutan rakyat banyak dijumpai ada di pekarangan-pekarangan, tanaman keras kayu-kayuan dan buah-buahan tumbuh bercampur secara acak di pekarangan. Kumpulan tanaman keras yang berada di pekarangan tersebut disebut juga kumpulan hutan rakyat di pekarangan. Dari penjelasan di atas diperoleh infomrasi bahwa pekarangan itu tersusun oleh berbagai jenis tanaman mulai dari jenis perdu yang biasanya digunakan untuk tanaman rempah-rempah, obat-obatan tradisional, sampai tanaman buah-buahan dan tanaman berkayu yang sifatnya tahunan jangka panjang. Dengan demikian keanekaragaman jenis dan hayati dari pekarangan tersebut adalah sangat baik.

Prinsip Membangun Manajemen Kolaborasi

Manajemen hutan rakyat kolaboratif (MHRK) merupakan gagasan baru dalam jagat hutan rakyat di Indonesia,khususnya dalam kontek Jawa. Oleh karena terkait dengan satuan kawasan tertentu (menoreh, batur agung, kapur selatan, dan lain-lain) maka kerja kolaborasi tersebut harus dipersiapkan secara matang, terencana, terarah dan diapahami secara utuh oleh semua pihak yang terlibat. Prinsip dasar yang harus ada dan dikerjakan dalam manajemen kolaborasi hutan rakyat pada tingkat kawasan adalah :

  1. Membangun kesepakatan bersama tentang keharusan manajemen kolaborasi antar individu dan antar daerah / kawasan hutan rakyat
  2. Melakukan deliniasi batas kawasan hutan rakyat secara keseluruhan
  3. Kawasan yang sudah di deliniasi di bagi ke dalam unit-unit manajemen pengelolaan yang lebih kecil
  4. Membuat rencana program kerja pengelolaan hutan rakyat kolaboratif (penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran)
  5. Membangun organisasi pengelola hutan rakyat kolaboratif
  6. Membangun kelembagaan (norma, nilai dan aturan) pengelolaan hutan rakyat kolaboratif
  7. Mempersiapkan dukungan kebijakan yang diperlukan

Perspektif Otonomi Daerah dan Kebijakan

Otonomi daerah seperti sekarang ini sangat memungkinkan berkembangnya sistem pengelolaan hutan rakyat secara kolaboratif, karena setiap daerah berusaha memajukan daerahnya masing-masing sehingga muncul suatu kompetisi sehat antar daerah. Namun demikian tidak pula era otonomi ini memunculkan upaya-upaya “kontra produktif” dari daerah sehingga mematahkan semangat masyarakat mengembangkan hutan rakyat dan usaha kolaborasi. Misalnya saja dengan adanya otonomi daerah maka semua hasil hutan rakyat dikenakan retribusi oleh pemerintah daerah, padahal dana retribusi tersebut tidak jelas penggunaannya untuk apa, dan penetapan retribusi tidak mengajak masyarakat. Otonomi daerah jangan digunakan untuk “memberatkan” beban pemilik hutan rakyat, dan sudah seharusnya bahwa otonomi daerah itu mendorong dan memberi insentif agar roda perekonomian rakyat semakin laju jalannya dan semakin berkembang manfaatnya.

Dengan demikian yang dibutuhkan oleh sistem pengelolaan hutan rakyat kolaboratif di era otonomi daerah adalah :

  1. kebijakan daerah kabupaten yang memberikan insentif kepada pengelola hutan rakyat;
  2. mengembangkan model penyuluhan dan fasilitasi yang partisipatif;
  3. menyediakan akses ke pasar dengan harga yang baik,
  4. membangun unit-unit industri skala kecil yang bernilai ekspor; dan
  5. pengembangan kualitas sumberdaya manusia.

Download Full Artikel : manajemenhutanrakyatkolaboratif.pdf

Paper Lokakarya Hutan Rakyat Relung – PKHR

Kehutanan Masyarakat dan Problematika Lokal

Category : Makalah

Tulisan singkat ini berisi butir-butir pengalaman lapangan tentang gerakan Kehutanan masyarakat di Indonesia, bukan kepada substansi Kehutanan masyarakatnya itu sendiri. Substansi sesungguhnya menjadi tanggung jawab banyak pihak yang terlibat secara langsung kegiatan penggalian dan pengembangan aspek sosial, ekonomi , lingkungan dan kelembagaan masyarakat yang menjalankan praktik-praktik Kehutanan masyarakat. Gerakan Kehutanan masyarakat (National Community Forestry Program) sesungguhnya sudah dimulai oleh pemerintah ketika REFORMASI tahun 1998 dan hal ini dicanangkan oleh Menteri Kehutanan Muslimin Nasution melaui kampanye pencerahan dan pemaknaan atas simbol-simbol FOREST FOR PEOPLE yang menjadi jargon politik eco-popiulism Menteri. Pada saat itu bukan tidak ada program sejenis yang mewadahi KEGIATAN Kehutanan social (social forestry), tetapi belum menjadi wacana publik sebab Menterinya masih setengah hati, karena masih terbius dengan model model pengelolaan hutan berbasisi KAYU, seperti yang dilaksanakan oleh HPH, INHUTANI dan PERHUTANI. Masalahnya sekarang apa yang dimaksud dengan gerakan Kehutanan masyarakat atau gerakat community forestry (CF) itu sendiri. Gerakan KM (CF) di Indonesia adalah gerakan yang sifatnya lokal dan nasional oleh semua pihak untuk menemukenali, mengakui, menginisiasi , mewujudkan, dan mengembangkan Kehutanan masyarakat sebagai suatu dasar filosofi system pengelolaan sumberdaya alam hutan di Indonesia yang seimbang antara kepentingan sosial, ekonomi, dan lingkungan, untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Mitos dan Konflik Aktor

Ada hal yang lebih penting lagi bahwa muncul MITOS-MITOS dan stigma pada penguasa dan pengusaha hutan di Indonesai, bahwa semua yang ber CITRA Kehutanan sosial (social forestry / SF) dan Kehutanan masyarakat pasti akan menegasikan kehadiran investor dan peran pemerintah dalam pengelolaan hutan, kawasan hutan negara akan dijadikan hutan milik rakyat, hutan akan diambil oleh masyarakat adat, dan hutan akan diambil oleh pemerintah daerah, dan SF serta CF hanya focus kepada kepentingan masyarakat tanpa peduli dengan aspek ekonomi dan lingkungan . Mitos – mitos tersebut selain salah dan menyesatkan, juga menurut kami adalah merupakan persoalan internal lembaga pemerintah sendiri, karena sesungguhnya pihak pemerintah memang tidak dalam situasi KOMPAK dan sinergis di dalam program-programnya. Diskursus dan implementasi Kehutanan masyarakat dan Kehutanan sosial hanya DIMANDATKAN kepada satu Direktorat Jenderal saja (RLPS), sementara Direktorat lainnya tetap kukuh memegang prinsip-prinsip “tambang kayu” yang cenderung anti berbagi dengan masyarakat. Tidak mungkin Kehutanan masyarakat menjadi sebuah gerakan besar jika kebijakan pemerintah tidak mendukung, yang ada adalah gerakan PINGGIRAN yang dilakukan secara kecil-kecil, sendiri-sendiri, dan lokal. Atau memang pilihannya pada pinggiran tersebut ? Aktor pelaku perubahan di tengah masyarakat masih dalam langkah masing-masing dan masih ingin mengembangkan terminology gerakan masing-masing juga. Hal yang sering fatalistic adalah munculnya konflik horizontal antar aktor perubah dalam gerakan CF tersebut, yang akhirnya justru sangat tidak konstruktif. Persoalan inti gerakan dan kepentingan rakyat akhirnya terabaikan. Masih adakah gerakan kalau gambarannya seperti ini?

Pengalaman Lapangan Pelaksanaan KM / CF

Dalam mewujudkan spirit, prinsip, dan langkah kongkrit gerakan Kehutanan masyarakat telah menghasilkan beberapa hal penting di Indonesia, terutama sekali dalam lingkup amanah yang diberikan melalui lembaga FKKM antara lain:

  1. membangun jaringan tingkat daerah di NAD, Sumatera barat, Jambi, Lampung, Jabotabek, Jababan, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Kalimantan Timur, NTT, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Bengkulu sedang dalam persiapan.
  2. Spirit dan cita-cita CF merupakan barang baru di daerah, sehingga ada semacam kebutuhan perubahan fundamental yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah dalam mewujudkan CF tersebut. Tentu saja hal ini memerlukan waktu, kesabaran, pelatihan, penelitian, kerjasama antar pihak, dan dukungan kebijakan yang serius dari pemerintah daerah dan nasional.
  3. Sesungguhnya CF mempunyai momentum yang sangat baik melalui poin politik lokal desentralisasi dan otonomi daerah, hanya saja peluang ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemda dan masyarakat. Pemda dalam menyikapi dan melaksanakan otoda bidang Kehutanan masih PELANGI (aneka ragam). Pengalaman memang membuktikan bahwa sebagian besar Pemda memanfaatkan hutan untuk sumber penting PAD (daerah yang kaya hutan), tetapi ada Pemda yang lebih mementingkan unsur perbaikan lingkungan dibanding untuk perolehan PAD (terutama daerah yang hutannya kritis dan rusak).
  4. Perwujudan CF di daerah sangat terkait dengan seberapa besar masalah social dan lingkungan yang ada yang terkait dengan bidang Kehutanan. Jika kondisi hutan rusak dan sebagian besar masyarakat sekitar hutan dalam keadaan miskin, maka pemda dengan cepat dapat menerima spirit dan prinsip-prinsip CF. Apakah memang harus ada bukti kemiskinan dulu baru kemudian CF diadopsi oleh Pemda?
  5. Mengembangkan CF berarti membongkar kekuasaan “paradigma kayu”. Artinya bahwa pengusaha dan oknum penguasa, serta penguasa (pemda dan pemerintah) tidak cukup yakin bahwa model CF mampu mengatasi persoalan dana pembangunan dan pembayaran hutan luar negeri.
  6. Pendekatan basis PULAU dalam mengimplemntasikan gerakan CF merupakan fenomena baru. Ambil contoh pulau Jawa yang dikuasai oleh Perhutani, saat ini mengalami perubahan dalam system pengelolaannya. Konsep dan penerapan PHBM adalah contoh dari sebuah PRESSURE yang dilakukan oleh banyak pihak dalam jaringan FKKM. Pertemuan DPRD Se Jawa-Madura tentang otonomi pengelolaan SDH tahun 2000, merupakan titik awal penyamaan gerakan CF di Jawa. Demikian pula Deklarasi SOLO (Februari 2002) yang menghasilkan nota kesepahaman pelaksanaan CF / PHBM di 10 kabupaten di Jawa (Jember, Banyuwangi, Malang, Ngawi, Boyolali, Blora, Banyumas, Sukabumi, Garut, Cianjur).
  7. Konsep dan implementasi PSDHBM di Wonosobo adalah hasil kerja jaringan Faswil FKKM Jawa tengah sejak 3 tahun yang lalu, bersama dengan masyarakat, Pemda, dan DPRD.
  8. Implementasi HKm di Gunung Kidul merupakan kerjasama antara Faswil FKKM DIY dengan Paguyuban Petani HKm, DPRD, dan Pemda, dan Departemen Kehutanan.
  9. Di luar Jawa inisiatif-inisiatif Sistem Hutan Kerakyatan oleh jaringan KpSHK dan juga WALHI, semakin memperkuat gerakan CF.
  10. Di seluruh wilayah Faswil FKKM telah bergerak melakukan penebaran spirit dan prinsip-prinsip CF, dan anggota-anggota jaringan semuanya menindaklanjuti semangat tersebut dalam berkiprah di lapangan, pertemuan-pertemuan, advokasi, dan lain-lain (NTB, NTT, Bolaangmangondo, Sulsel, Sultra, sulteng, lampung).
  11. Di Jambi Faswil dan anggota jaringan memperjuangkan ragam SHK (hutan marga, Parak, lubuk larangan, dll).
  12. Faktor penentu keberhasilan gerakan CF di daerah-daerah tersebut di atas adalah antara lain: keaktifan anggota jaringan FKKM, penguasaan konsep dan praktik lapangan, penguatan organisasi masyarakat pengelola, kemampuan membangun lobi dengan para pihak, dukungan politisi lokal, dukungan perguruan tinggi dan LSM, membangun komunikasi yang baik antar stakeholders, dan mengembangkan prinsip-prinsip kolaborasi multipihak.

Berbagai hal yang masih harus diperhatikan dalam meningkatkan gerakan CF di Indonesia:

  1. Sinergitas kegiatan tingkat lapangan yang dilakukan oleh aktor-aktor masih harus ditingkatkan. Artinya kegiatan masing-masing lembaga pendukung CF harus dikooordinasikan dan dikomunikasikan secara baik
  2. Implementasi CF di daerah sangat memerlukan “pengawal proses” yang handal, yang mampu mendorong, membangunkan, dan menggerakkan ide, semangat dan prinsip-prinsip CF dalam lingkungan yang lebih luas. Pengawal proses ini yang tidak terdapat di semua derah.
  3. Kekuatan gerakan CF sesungguhnya pada kemampuan masyarakat mengorganisir dirinya sendiri, dan dukungan kebijakan pemerintah. Di banyak tempat organisasi masyarakat belum cukup kuat untuk melaksanakan CF.
  4. Masih muncul kebingungan dengan istilah-istilah untuk mewadahi CF. FKKM menggunakan istilah KM, Dephut dengan istilah HKm, Daerah dengan istilah PSDHBM, Perhutani dengan istilah PHBM, dan masyarakat dengan istilah local (Alas, Wono, Khepong, Parak, hutan adat / marga, Simpugnk, dll).
  5. Kesenjangan konsep antara Departemen Kehutanan dan instansi Dinas Kehutanan di daerah tentang HKm tidak sama dan sering salah interpretasi. Dinas Kehutanan Daerah tidak kreatif menafsirkan SK 31/2001, dan masih memiliki mental “menunggu petunjuk pemerintah pusat”. Akibatnya adalah Bupati tidak pernah mengambil inisiatif atas pelaksanaan HKm karena tidak ada masukan dari Dinas Kehutanan. Ini hanya membuktikan bahwa gagasan dan keinginan departemen Kehutanan ternyata berbeda dengan keinginan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan hutan di daerah, sebab daerah punya masalah sendiri yang bukan masalah nasional. Bagaimana ini ?

Tulisan ini tidak sistimatis karena bersifat pointers saja, dan kami mohon maaf atas kekurangannya dan mohon maaf jika ada kekeliruan. Tidak ada maksud kami untuk melakukan “claim” atas karya orang lain atau karya jaringan lain. Hanya dengan kejujuran, ketulusan, keberanian, dan keadilan saja , maka gerakan CF di Indonesia akan terwujud jadi kenyataan konkrit. Perkembangan yang kami uraikan di atas tidaklah mungkin dapat dicapai tanpa kita mampu mencari peluang untuk kepentingan rakyat, dan akan lebih sulit lagi jika tidak ada gerakan reformasi di Indonesia. Mungkinkah kritik kita didengar pada era Orba? Terima kasih kepada mahasiswa yang telah memperjuangkan reformasi awal ini.

Download Full Artikel :kehutananmasyarakat.pdf

Paper Meeting Ford di Yogya tanggal 6-8 Mei 2002