Manajemen Hutan Rakyat Kolaboratif Di Tingkat Kawasan

Istilah hutan rakyat sudah lebih lama digunakan dalam program-program pembangunan kehutanan di Indonesia. Dalam UU Pokok Kehutanan Tahun 1967 dan UU Kehutanan No.41 tahun 1999, istilah hutan rakyat disamakan dengan terminologi hutan milik. Di Jawa hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah merdeka pemerintah Indonesia melanjutkan pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri” (Wartaputra, 1990). Secara nasional kemudian pengembangan hutan rakyat berada di bawah payung program penghijauan, yang dimulai sejak tahun 1960-an, dimana Pekan Raya Penghijauan I diadakan pada tahun 1961. Sampai saat ini hutan rakyat telah diusahakan di tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah maupun tanah milik yang diakui pada tingkat lokal (tanah adat).

Di dalam hutan rakyat di tanam aneka pepohonan yang hasil utamanya bisa beraneka ragam. Untuk hasil kayu misalnya, sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp), mahoni (Swietenia mahagoni) dan lain sebagainya. Sedang yang hasil utamanya getah antara lain kemenyan (Styrax benzoin), damar (Shorea javanica). Sementara itu yang hasil utamanya berupa buah antara lain kemiri, durian, kelapa dan bambu (Suharjito dan Darusman, 1998). Berdasarkan Sensus Pertanian tahun 1993, jumlah rumah tangga yang mengusahakan hutan rakyat adalah 827.767 rumah tangga dari 19.713.806 rumah tangga petani pengguna lahan. Sebagian petani hutan rakyat berada di Jawa, 690.895 (83,5 %) dan sebagian besar (53,8 %) mengusahakan lahan yang luasnya kurang dari 0,75 ha.

Karakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah bersifat individual, oleh keluarga, tidak memilki manajemen formal, tidak responsif , subsisten, dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangan ke depan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, dan sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutannya tidak dapat di jamin.Oleh karena itu diperlukan strategi baru untuk mengelola hutan rakyat . Salah satu pemikiran yang akan dikembangkan dalam tulisan ini adalah membangun model manajemen hutan rakyat secara kolaboratif pada tingkat kawasan tertentu.

Hutan Rakyat dan Pekarangan

Fenomena pekarangan di Jawa sangat menarik untuk dianalisis, sebab berdasarkan banyak bacaan dan informasi lapangan menunjukkan bahwa ada korelasi antara model-model pekarangan dengan model-model tegalan yang komposisi tanamannya mirip dengan komposisi tanaman yang ada di pekarangan. Pekarangan di Jawa memang unik jika dilihat dari tata ruang desa dan interaksi sosial pekarangan dan kemampuan ekonomi keluarga di pedesaan. Dilihat dari udara, pada saat pesawat melintasi pedesaan di Jawa, maka akan terlihat hamparan tanaman berbentuk kotak-kotak, hanya tajuk tanaman keras saja yang terlihat, sementara satuan pemukiman dan fasilitas sosial lainnya nyaris tidak terlihat dari udara. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pekarangan yang ditandai oleh adanya unit pemukiman dan kumpulan tanaman keras disekitar pemukiman telah membentuk basis ekosistem sendiri yang menopang kehidupan masyarakat. Satuan ekonomi, budaya dan sosial masyarakat telah menyatu dalam ekosistem pekarangan tersebut. Di daerah Jawa pada umumnya, keberadaan pekarangan di desa-desa sangat penting, terutama dilihat dari aspek ekologi dan ekonomi serta hubungan tata ruang. Di beberapa tempat di Jawa, lokasi hutan rakyat banyak dijumpai ada di pekarangan-pekarangan, tanaman keras kayu-kayuan dan buah-buahan tumbuh bercampur secara acak di pekarangan. Kumpulan tanaman keras yang berada di pekarangan tersebut disebut juga kumpulan hutan rakyat di pekarangan. Dari penjelasan di atas diperoleh infomrasi bahwa pekarangan itu tersusun oleh berbagai jenis tanaman mulai dari jenis perdu yang biasanya digunakan untuk tanaman rempah-rempah, obat-obatan tradisional, sampai tanaman buah-buahan dan tanaman berkayu yang sifatnya tahunan jangka panjang. Dengan demikian keanekaragaman jenis dan hayati dari pekarangan tersebut adalah sangat baik.

Prinsip Membangun Manajemen Kolaborasi

Manajemen hutan rakyat kolaboratif (MHRK) merupakan gagasan baru dalam jagat hutan rakyat di Indonesia,khususnya dalam kontek Jawa. Oleh karena terkait dengan satuan kawasan tertentu (menoreh, batur agung, kapur selatan, dan lain-lain) maka kerja kolaborasi tersebut harus dipersiapkan secara matang, terencana, terarah dan diapahami secara utuh oleh semua pihak yang terlibat. Prinsip dasar yang harus ada dan dikerjakan dalam manajemen kolaborasi hutan rakyat pada tingkat kawasan adalah :

  1. Membangun kesepakatan bersama tentang keharusan manajemen kolaborasi antar individu dan antar daerah / kawasan hutan rakyat
  2. Melakukan deliniasi batas kawasan hutan rakyat secara keseluruhan
  3. Kawasan yang sudah di deliniasi di bagi ke dalam unit-unit manajemen pengelolaan yang lebih kecil
  4. Membuat rencana program kerja pengelolaan hutan rakyat kolaboratif (penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran)
  5. Membangun organisasi pengelola hutan rakyat kolaboratif
  6. Membangun kelembagaan (norma, nilai dan aturan) pengelolaan hutan rakyat kolaboratif
  7. Mempersiapkan dukungan kebijakan yang diperlukan

Perspektif Otonomi Daerah dan Kebijakan

Otonomi daerah seperti sekarang ini sangat memungkinkan berkembangnya sistem pengelolaan hutan rakyat secara kolaboratif, karena setiap daerah berusaha memajukan daerahnya masing-masing sehingga muncul suatu kompetisi sehat antar daerah. Namun demikian tidak pula era otonomi ini memunculkan upaya-upaya “kontra produktif” dari daerah sehingga mematahkan semangat masyarakat mengembangkan hutan rakyat dan usaha kolaborasi. Misalnya saja dengan adanya otonomi daerah maka semua hasil hutan rakyat dikenakan retribusi oleh pemerintah daerah, padahal dana retribusi tersebut tidak jelas penggunaannya untuk apa, dan penetapan retribusi tidak mengajak masyarakat. Otonomi daerah jangan digunakan untuk “memberatkan” beban pemilik hutan rakyat, dan sudah seharusnya bahwa otonomi daerah itu mendorong dan memberi insentif agar roda perekonomian rakyat semakin laju jalannya dan semakin berkembang manfaatnya.

Dengan demikian yang dibutuhkan oleh sistem pengelolaan hutan rakyat kolaboratif di era otonomi daerah adalah :

  1. kebijakan daerah kabupaten yang memberikan insentif kepada pengelola hutan rakyat;
  2. mengembangkan model penyuluhan dan fasilitasi yang partisipatif;
  3. menyediakan akses ke pasar dengan harga yang baik,
  4. membangun unit-unit industri skala kecil yang bernilai ekspor; dan
  5. pengembangan kualitas sumberdaya manusia.

Download Full Artikel : manajemenhutanrakyatkolaboratif.pdf

Paper Lokakarya Hutan Rakyat Relung – PKHR

Post a comment