Kehutanan Masyarakat dan Problematika Lokal

Tulisan singkat ini berisi butir-butir pengalaman lapangan tentang gerakan Kehutanan masyarakat di Indonesia, bukan kepada substansi Kehutanan masyarakatnya itu sendiri. Substansi sesungguhnya menjadi tanggung jawab banyak pihak yang terlibat secara langsung kegiatan penggalian dan pengembangan aspek sosial, ekonomi , lingkungan dan kelembagaan masyarakat yang menjalankan praktik-praktik Kehutanan masyarakat. Gerakan Kehutanan masyarakat (National Community Forestry Program) sesungguhnya sudah dimulai oleh pemerintah ketika REFORMASI tahun 1998 dan hal ini dicanangkan oleh Menteri Kehutanan Muslimin Nasution melaui kampanye pencerahan dan pemaknaan atas simbol-simbol FOREST FOR PEOPLE yang menjadi jargon politik eco-popiulism Menteri. Pada saat itu bukan tidak ada program sejenis yang mewadahi KEGIATAN Kehutanan social (social forestry), tetapi belum menjadi wacana publik sebab Menterinya masih setengah hati, karena masih terbius dengan model model pengelolaan hutan berbasisi KAYU, seperti yang dilaksanakan oleh HPH, INHUTANI dan PERHUTANI. Masalahnya sekarang apa yang dimaksud dengan gerakan Kehutanan masyarakat atau gerakat community forestry (CF) itu sendiri. Gerakan KM (CF) di Indonesia adalah gerakan yang sifatnya lokal dan nasional oleh semua pihak untuk menemukenali, mengakui, menginisiasi , mewujudkan, dan mengembangkan Kehutanan masyarakat sebagai suatu dasar filosofi system pengelolaan sumberdaya alam hutan di Indonesia yang seimbang antara kepentingan sosial, ekonomi, dan lingkungan, untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Mitos dan Konflik Aktor

Ada hal yang lebih penting lagi bahwa muncul MITOS-MITOS dan stigma pada penguasa dan pengusaha hutan di Indonesai, bahwa semua yang ber CITRA Kehutanan sosial (social forestry / SF) dan Kehutanan masyarakat pasti akan menegasikan kehadiran investor dan peran pemerintah dalam pengelolaan hutan, kawasan hutan negara akan dijadikan hutan milik rakyat, hutan akan diambil oleh masyarakat adat, dan hutan akan diambil oleh pemerintah daerah, dan SF serta CF hanya focus kepada kepentingan masyarakat tanpa peduli dengan aspek ekonomi dan lingkungan . Mitos – mitos tersebut selain salah dan menyesatkan, juga menurut kami adalah merupakan persoalan internal lembaga pemerintah sendiri, karena sesungguhnya pihak pemerintah memang tidak dalam situasi KOMPAK dan sinergis di dalam program-programnya. Diskursus dan implementasi Kehutanan masyarakat dan Kehutanan sosial hanya DIMANDATKAN kepada satu Direktorat Jenderal saja (RLPS), sementara Direktorat lainnya tetap kukuh memegang prinsip-prinsip “tambang kayu” yang cenderung anti berbagi dengan masyarakat. Tidak mungkin Kehutanan masyarakat menjadi sebuah gerakan besar jika kebijakan pemerintah tidak mendukung, yang ada adalah gerakan PINGGIRAN yang dilakukan secara kecil-kecil, sendiri-sendiri, dan lokal. Atau memang pilihannya pada pinggiran tersebut ? Aktor pelaku perubahan di tengah masyarakat masih dalam langkah masing-masing dan masih ingin mengembangkan terminology gerakan masing-masing juga. Hal yang sering fatalistic adalah munculnya konflik horizontal antar aktor perubah dalam gerakan CF tersebut, yang akhirnya justru sangat tidak konstruktif. Persoalan inti gerakan dan kepentingan rakyat akhirnya terabaikan. Masih adakah gerakan kalau gambarannya seperti ini?

Pengalaman Lapangan Pelaksanaan KM / CF

Dalam mewujudkan spirit, prinsip, dan langkah kongkrit gerakan Kehutanan masyarakat telah menghasilkan beberapa hal penting di Indonesia, terutama sekali dalam lingkup amanah yang diberikan melalui lembaga FKKM antara lain:

  1. membangun jaringan tingkat daerah di NAD, Sumatera barat, Jambi, Lampung, Jabotabek, Jababan, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Kalimantan Timur, NTT, NTB, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Bengkulu sedang dalam persiapan.
  2. Spirit dan cita-cita CF merupakan barang baru di daerah, sehingga ada semacam kebutuhan perubahan fundamental yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah dalam mewujudkan CF tersebut. Tentu saja hal ini memerlukan waktu, kesabaran, pelatihan, penelitian, kerjasama antar pihak, dan dukungan kebijakan yang serius dari pemerintah daerah dan nasional.
  3. Sesungguhnya CF mempunyai momentum yang sangat baik melalui poin politik lokal desentralisasi dan otonomi daerah, hanya saja peluang ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemda dan masyarakat. Pemda dalam menyikapi dan melaksanakan otoda bidang Kehutanan masih PELANGI (aneka ragam). Pengalaman memang membuktikan bahwa sebagian besar Pemda memanfaatkan hutan untuk sumber penting PAD (daerah yang kaya hutan), tetapi ada Pemda yang lebih mementingkan unsur perbaikan lingkungan dibanding untuk perolehan PAD (terutama daerah yang hutannya kritis dan rusak).
  4. Perwujudan CF di daerah sangat terkait dengan seberapa besar masalah social dan lingkungan yang ada yang terkait dengan bidang Kehutanan. Jika kondisi hutan rusak dan sebagian besar masyarakat sekitar hutan dalam keadaan miskin, maka pemda dengan cepat dapat menerima spirit dan prinsip-prinsip CF. Apakah memang harus ada bukti kemiskinan dulu baru kemudian CF diadopsi oleh Pemda?
  5. Mengembangkan CF berarti membongkar kekuasaan “paradigma kayu”. Artinya bahwa pengusaha dan oknum penguasa, serta penguasa (pemda dan pemerintah) tidak cukup yakin bahwa model CF mampu mengatasi persoalan dana pembangunan dan pembayaran hutan luar negeri.
  6. Pendekatan basis PULAU dalam mengimplemntasikan gerakan CF merupakan fenomena baru. Ambil contoh pulau Jawa yang dikuasai oleh Perhutani, saat ini mengalami perubahan dalam system pengelolaannya. Konsep dan penerapan PHBM adalah contoh dari sebuah PRESSURE yang dilakukan oleh banyak pihak dalam jaringan FKKM. Pertemuan DPRD Se Jawa-Madura tentang otonomi pengelolaan SDH tahun 2000, merupakan titik awal penyamaan gerakan CF di Jawa. Demikian pula Deklarasi SOLO (Februari 2002) yang menghasilkan nota kesepahaman pelaksanaan CF / PHBM di 10 kabupaten di Jawa (Jember, Banyuwangi, Malang, Ngawi, Boyolali, Blora, Banyumas, Sukabumi, Garut, Cianjur).
  7. Konsep dan implementasi PSDHBM di Wonosobo adalah hasil kerja jaringan Faswil FKKM Jawa tengah sejak 3 tahun yang lalu, bersama dengan masyarakat, Pemda, dan DPRD.
  8. Implementasi HKm di Gunung Kidul merupakan kerjasama antara Faswil FKKM DIY dengan Paguyuban Petani HKm, DPRD, dan Pemda, dan Departemen Kehutanan.
  9. Di luar Jawa inisiatif-inisiatif Sistem Hutan Kerakyatan oleh jaringan KpSHK dan juga WALHI, semakin memperkuat gerakan CF.
  10. Di seluruh wilayah Faswil FKKM telah bergerak melakukan penebaran spirit dan prinsip-prinsip CF, dan anggota-anggota jaringan semuanya menindaklanjuti semangat tersebut dalam berkiprah di lapangan, pertemuan-pertemuan, advokasi, dan lain-lain (NTB, NTT, Bolaangmangondo, Sulsel, Sultra, sulteng, lampung).
  11. Di Jambi Faswil dan anggota jaringan memperjuangkan ragam SHK (hutan marga, Parak, lubuk larangan, dll).
  12. Faktor penentu keberhasilan gerakan CF di daerah-daerah tersebut di atas adalah antara lain: keaktifan anggota jaringan FKKM, penguasaan konsep dan praktik lapangan, penguatan organisasi masyarakat pengelola, kemampuan membangun lobi dengan para pihak, dukungan politisi lokal, dukungan perguruan tinggi dan LSM, membangun komunikasi yang baik antar stakeholders, dan mengembangkan prinsip-prinsip kolaborasi multipihak.

Berbagai hal yang masih harus diperhatikan dalam meningkatkan gerakan CF di Indonesia:

  1. Sinergitas kegiatan tingkat lapangan yang dilakukan oleh aktor-aktor masih harus ditingkatkan. Artinya kegiatan masing-masing lembaga pendukung CF harus dikooordinasikan dan dikomunikasikan secara baik
  2. Implementasi CF di daerah sangat memerlukan “pengawal proses” yang handal, yang mampu mendorong, membangunkan, dan menggerakkan ide, semangat dan prinsip-prinsip CF dalam lingkungan yang lebih luas. Pengawal proses ini yang tidak terdapat di semua derah.
  3. Kekuatan gerakan CF sesungguhnya pada kemampuan masyarakat mengorganisir dirinya sendiri, dan dukungan kebijakan pemerintah. Di banyak tempat organisasi masyarakat belum cukup kuat untuk melaksanakan CF.
  4. Masih muncul kebingungan dengan istilah-istilah untuk mewadahi CF. FKKM menggunakan istilah KM, Dephut dengan istilah HKm, Daerah dengan istilah PSDHBM, Perhutani dengan istilah PHBM, dan masyarakat dengan istilah local (Alas, Wono, Khepong, Parak, hutan adat / marga, Simpugnk, dll).
  5. Kesenjangan konsep antara Departemen Kehutanan dan instansi Dinas Kehutanan di daerah tentang HKm tidak sama dan sering salah interpretasi. Dinas Kehutanan Daerah tidak kreatif menafsirkan SK 31/2001, dan masih memiliki mental “menunggu petunjuk pemerintah pusat”. Akibatnya adalah Bupati tidak pernah mengambil inisiatif atas pelaksanaan HKm karena tidak ada masukan dari Dinas Kehutanan. Ini hanya membuktikan bahwa gagasan dan keinginan departemen Kehutanan ternyata berbeda dengan keinginan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan hutan di daerah, sebab daerah punya masalah sendiri yang bukan masalah nasional. Bagaimana ini ?

Tulisan ini tidak sistimatis karena bersifat pointers saja, dan kami mohon maaf atas kekurangannya dan mohon maaf jika ada kekeliruan. Tidak ada maksud kami untuk melakukan “claim” atas karya orang lain atau karya jaringan lain. Hanya dengan kejujuran, ketulusan, keberanian, dan keadilan saja , maka gerakan CF di Indonesia akan terwujud jadi kenyataan konkrit. Perkembangan yang kami uraikan di atas tidaklah mungkin dapat dicapai tanpa kita mampu mencari peluang untuk kepentingan rakyat, dan akan lebih sulit lagi jika tidak ada gerakan reformasi di Indonesia. Mungkinkah kritik kita didengar pada era Orba? Terima kasih kepada mahasiswa yang telah memperjuangkan reformasi awal ini.

Download Full Artikel :kehutananmasyarakat.pdf

Paper Meeting Ford di Yogya tanggal 6-8 Mei 2002

Post a comment