Pembentukan Unit Manajemen Kawasan Kelola Rehabilitasi Hutan dan Sistem Pendukungnya

Category : Makalah

Sumberdaya alam hutan memiliki peran dan fungsi yang strategis di muka bumi ini. Dasar pandangan bangsa Indonesia terhadap hutan yang dimilikinya adalah: (1) hutan memberi manfaat serba guna; (2) hutan mutlak dibutuhkan oleh ummat manusia sepanjang masa; (3) hutan adalah salah satu unsur basis pertahanan nasional; (4) hutan sebagai sumber genetik baru bagi kehidupan manusia; (5) hutan sebagai sumber pangan dan sumber energi alternatif; (6) hutan berfungis menyimpan, menata, mengatur, tata air di muka bumi; (7) hutan sebagai penghasil eksigen dan menyerap carbon bebas di muka bumi ini; dan (8) hutan sebagai pengendali tata lingkungan hidup.

Berdasar pada pandangan bangsa tersebut maka hutan dengan semua komponen ekosistemnya harus dilindungi dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia. Pada dasarnya sumberdaya hutan memiliki 3 aspek penting yaitu: aspek sosial budaya, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan. Oleh karena hutan memiliki aspek-aspek tersebut, maka dalam kontek pembangunan nasional di banyak negara-negara berkembang, sumberdaya alam hutan telah amat sangat berat diposisikan sebagai sumber ekonomi nasional, atau dengan bahasa yang sangat ekstrim hutan diposisikan sebagai mesin pembuatan uang untuk sumber pembangunan nasional. Sementara aspek sosial budaya dan aspek lingkungan menjadi sangat tidak prioritas. Lebih dari 35 tahun sudah instrumen kebijakan yang eksploitatif sangat mewarnai pembangunan sektor kehutanan, model otoritas HPH adalah bukti dari realitas kebijakan eksploitatif tersebut.

Sampai tahun 2006 pengelolaan dan pengusahaan sumberdaya hutan di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 6 bentuk yaitu:

  1. bentuk pengusahaan hutan tanaman oleh BUMN Perum Perhutani, khususnya di Jawa;
  2. bentuk pengusahaan hutan alam luar Jawa oleh BUMN PT.Inhutani 1 – 5; dan
  3. bentuk pengusahaan swasta murni dengan sebutan ‘Hak Pengusahaan Hutan” (HPH) dan
  4. pengusahaan hutan rakyat (pada lahan milik individual);
  5. pengusahan hutan konservasi (Taman Nasional);
  6. pengusahaan hutan lindung.

Lima dari bentuk pengusahaan tersebut belum ada yang dapat dikatakan mampu menjamin kelestarian sumberdaya hutannya. Hanya hutan rakyat di beberapa tempat di Jawa yang sudah menunjukkan kinerja kelestarian yang menjanjikan pada banyak pihak. Masalah utama dari program Gerhan sampai tahun 2006 adalah:

  1. penetapan lokasi tanaman belum akurat dan kriteria penetapan lokasi tidak jelas (hutan sekunder, hutan tidak produktif dan tanah kosong);
  2. tidak ada satu dokumenpun yang mengarahkan kegiatan Gerhan didasarkan pada upaya memantapkan hutan sekunder eks HPH, hutan kosong, hutan tidak produktif di kawasan Taman Nasional dan lindung, dan lahan kosong milik negara, serta hutan rakyat, menjadi satuan unit pengelolaan hutan yang mantap;
  3. pelaksanaan Gerhan sejak awal untuk menjawab kerusakan hutan dan bencana lingkungan, bukan untuk meningkatkan produksi kayu dan produktivitas sumberdaya hutan. Sehingga upaya kearah pengusahaan hutan sangat lemah;
  4. organisasi (kawasan dan sumberdaya manusia) dan tata laksana operasional kawasan hutan yang sudah ditanami belum jelas;
  5. tingkat keberhasilan pembuatan tanaman dalam kawasan negara belum memuaskan;
  6. partisipasi sektor di luar Departemen Kehutanan masih sangat lemah;
  7. gerhan masih sangat jelas dianggap sebagai sebuah proyek oleh semua pihak, sehingga tolok ukurnya bersifat keproyekan. Padahal penanaman hutan berhadapan dengan tata waktu yang panjang;
  8. komitmen politik untuk dukungan anggaran keberlanjutan kegiatan Gerhan belum nampak dari DPR;
  9. pencairan dana, pembibitan dan penanaman sering terlambat sehingga kegiatan penanaman selalu terancam menghadapi resiko kegagalan yang tinggi. Konflik antar tata waktu (iklim) dengan dukungan administrasi pendanaan dan keproyekan merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan Gerhan; dan (10) masih banyak konflik lahan hutan yang menjadi lokasi Gerhan antar masyarakat dengan pemerintah.

Pelaksanaan GN-RHL / Gerhan

Dalam pengelolaan sumberdaya hutan sangat perlu untuk memperhatikan sejarah penggunaan lahan dan tindakan-tindakan teknis yang pernah dilakukan dalam satu kawasan. Contoh sederhana saja, ketika ingin melakukan prediksi atas pengembangan hutan rakyat, maka sejarah eksploitasi dan penggunaan lahannya perlu dipahami terlebih dahulu, sebab hutan rakyat tidak dapat dipastikan luasnya akan given selamanya. Eksistensi hutan rakyat sangat ditentukan oleh seberapa besar manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan dapat diterima oleh pemiliknya. Semakin besar manfaat yang diterima maka semakin besar upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan hutan rakyat tersebut, atau sebaliknya. Pelaksanaan GNRHL atau Gerhan melibatkan banyak pelaku instansi pemerintah tingkat pusat, propinsi, kabupaten, dan masyarakat. Oleh karena itu selama 3 tahun kegiatan ini dilaksanakan masih banyak dijumpai problematika yang tidak mudah diselesaikan, baik problema struktural maupun fungsional antar pelaku di masing-masing tingkatan tersebut. Dari hasil pemantauan dan penilaian keberhasilan proyek GNRHL / Gerhan, ternyata penanaman di hutan milik (hutan rakyat) cukup memberikan harapan untuk dikelola pada masa yang akan datang.

Beberapa contoh kategori keberhasilan tanaman pada hutan rakyat adalah sebagai berikut: Perencanaan lokasi GNRHL / Gerhan sebenarnya sudah sangat rinci, dilaksanakan berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh peraturan. Rencana ini sudah memperhatikan tata ruang daerah, rencana pengelolaan hutan, rencana propinsi, kabupaten / kota, dan rencana tahunan. Rencana tersebut juga sudah mempertimbangkan pola RLKT dan perencanaan DAS. Karena pendekatan sistemnya adalah DAS, maka strategi merehabilitasi kawasan hutan negara yang rusak dan lahan milik rakyat yang kritis dan tidak produktif, sudah sangat tepat. Hasil pemeriksaan kami pada dokumen-dokumen perencanaan tidak menemukan arahan rencana lokasi GNRHL/Gerhan yang dikaitkan dengan penataan kawasan hutan, sehingga membentuk satu unit manajemen (unit pengelolaan) berbasis pada wilayah kerja Gerhan. Dalam pengelolaan hutan, unit manajemen menjadi sangat penting karena pada unit manajemen ini akan dituliskan rencana kelola dan rencana pengusahaan hutannya, sehingga fungsi sosial, ekonomi, produksi dan lingkungan menjadi lebih sangat jelas pada pengusahaan hutan tersebut.

Mengapa Unit Manajemen Diperlukan

Pengelolaan hutan dan pengelolaan sumberdaya hutan (Forest resource management) memerlukan suatu faktor yang disebut dengan enabling factors (faktor-faktor yang memungkinkan) pengelolaan dan pengusahaan suatu kawasan hutan menjadi kawasan yang lestari dicapai. Dalam pengelolaan hutan lestari ada enabling factor yang harus dipenuhi yang disebut dengan prinsip 3A + P yaitu :

Pertama, tersedianya ATLAS, termasuk dalam prinsip ini adalah tersedianya secara pasti peta-peta detail lokasi hutan yang kemudian dimantapkan dan dikukuhkan sebagai kawasan hutan yang akan dikelola dan diusahakan dalam jangka panjang.

Kedua, tersedianya ATURAN yang sesuai untuk keperluan menuju hutan lestari (aturan kelembagaan). Termasuk di sini adalah semua aturan yang berkaitan dengan aturan pembentukan organisasi kawasan. Selain organisasi kawasan, juga diperlukan aturan yang berkaitan dengan aturan penataan organisasi sumberdaya manusia. Pada kedua bentuk organisasi tersebut (kawasan dan sumberdaya manusia), merealisasikannya harus dengan cara uji-uji lapangan sebagai tempat pembelajaran menyusun aturan-aturan yang dibutuhkan, sehingga aturan yang diperoleh tidak top-down, tetapi bottom-up.

Ketiga, semua hal yang berkaitan dengan ATLAS dan ATURAN harus dijalankan secara AMANAH. Semua kesepakatan para pihak untuk membangun unit pengelolaan dan pengusahaan sumberdaya hutan harus dijalankan secara amanah, teguh pada pendirian yang memiliki komitmen tinggi terhadap tugas dan tanggung jawab yang diemban para pelaksana / pengelola hutan. Tidak ada penyimpangan aturan dan kesepakatan dan juga tidak ada korupsi dalam menjalankan tugas-tugas pembangunan hutan dan kehutanan.

Keempat, memastikan faktor penting lainnya adalah PENGAWASAN. Tindakan pengawasan mencakup kegiatan monitoring dan evaluasi. Hasil dari monitoring dan evaluasi dijadikan rujukan utama untuk melakukan penyempurnaan aturan-aturan / kebijakan dan perbaikan hal-hal yang berkaitan dengan teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan.

Bagian penting pertama dari sistem perencanaan sumberdaya hutan adalah komponen Unit manajemen atau unit pengelolaan (management unit) pengertiannya setara dengan kesatuan pengusahaan hutan produksi. Di Jawa Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP) ini setara dengan Kesatuan Pemangkuan Hutan (Anonim, 1997). Untuk hutan luar Jawa yang dimaksud dengan KPHP adalah suatu kesatuan manajemen terkecil dari kawasan hutan produksi yang dikelola berdasarkan azas kelestarian dan azas perusahaan, agar kegiatan-kegiatan pengusahaan hutan dapat terselenggara secara berkelanjutan. KPHP berfungsi sebagai satu kesatuan kelestarian dan satu kesatuan usaha Bagian penting lainnya dari sistem perencanaan sumberdaya hutan adalah terbentuknya petak (compartment) dalam kawasan hutan. Petak adalah bagian terkecil dari KPHP atau Kesatuan Perusahaan Hutan (menurut istilah Soedarwono) yang bersifat permanent, berfungsi sebagai suatu kesatuan pengelolaan dan satu kesatuan administrasi dan memiliki luas minimal tertentu yang ditetapkan. Sebagai satu kesatuan pengelolaan (terkecil) berarti bahwa petak merupakan kesatuan lahan hutan terkecil untuk tempat menerapkan tindakan silvikultur tertentu yang diperlukan (penanaman, pengkayaan, pemeliharaan, tumpangsari, penebangan).

Konsep Pengembangan Gerhan

Pengembangan proyek Gerhan harus diarahkan pada upaya-upaya tidak menjadikan Gerhan sebagai proyek lagi tetapi harus menjadi sebuah program yang didukung oleh komitmen politik DPR dan pemerintah yang berkelanjutan. Rehabilitasi hutan dan lahan sebagai sebuah gerakan nasional harus mampu memobilisasi semua kekuatan dalam masyarakat agar mensukseskan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemafaatan, dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian SDH (luar kawasan dan dalam kawasan negara). Atas dasar pemikiran kearah gerakan tersebut maka program Gerhan harus dianalisis berdasarkan tiga pendekatan yang saling terkait satu sama lain. Ketiga analisis pendekatan tersebut adalah: Pertama, Analisis yang terkait dengan “arena” penerapan pembentukan unit manajemen dan unit perusahaan SDH lokasi Gerhan. Kedua, Analisis aktor yang terkait dengan program Gerhan. Ketiga, Analisis tentang kelembagaan (pasar dan kebijakan).

Arena pengembangan Gerhan Pengembangan Gerhan ke depan (2007-2017) menggunakan asumsi sebagai berikut : (1) keberhasilan Gerhan hanya dapat dicapai jika Gerhan menjadi sebuah program nasional multi year, didukung oleh sistem anggaran berkelanjutan yang dikuatkan oleh Keputusan Presiden (Kepres); (2) Sebagai kegiatan yang membawa semangat “gerakan sosial” maka penguatan organisasi kawasan dan organisasi sumberdaya manusia para pihak merupakan sarat mutlak.

Penataan kawasan dan personil hutan negara Konsep pengembangan kawasan Gerhan harus diperkuat dengan konsep unit manajemen seperti yang diuraikan di atas, baik di dalam kawasan hutan negara maupun hutan rakyat. Pembentukan unit manajemen kawasan Gerhan harus disesuaikan dengan keadaan geografis wilayah, sosial ekonomi dan budaya Masyarakat. Konstruksi unit manajemen atau kesatuan perusahaan hutan (KPH) harus dimulai dari tingkat lapangan, yaitu dimulai dari kalkulasi terhadap kemampuan melakukan pembuatan tanaman. Kemampuan membuat tanaman ini diukur dari kemamuan seorang mandor tanam melakukan pengawasan. Untuk luar Jawa sampai sekarang belum ada ukuran lapangan tentang kemampuan mandor tanam tersebut. Kebutuhan luas kawasan Gerhan yang wajib di tata secara detail adalah = menggunakan angka luas unit manajemen berkisar antara 15.000 – 30.000 ha (angka ini untuk penataan kawasan dan personil program Gerhan dalam kawasan hutan negara).

Pertanyaan berikutnya adalah dimana lokasi Gerhan dengan unit manajemen Kesatuan Perusahaan Hutan tersebut di bangun? Ada beberapa lokasi pembentukan unit menajemen tersebut yaitu:

  1. Lokasi eks HPH yang sering dikenal dengan daerah log over area (LOA). Lokasi ini dapat berupa hutan sekunder dan hutan yang rusak berat.
  2. Lokasi eks HPH yang sudah diduduki oleh Masyarakat untuk kegiatan perladangan.
  3. Lokasi eks HPH yang sudah menjadi kebun-kebun campur Masyarakat.
  4. Bagian dari Kawasan Hutan Lindung yang mengalami kerusakan akibat kebakaran dan pendudukan Masyarakat
  5. Kawasan hutan mangrove mengalami kerusakan.
  6. Kawasan Taman Nasional, terutama kawasan pemanfaatan oleh Masyarakat dapat diperkaya dengan macam tanaman keras yang bermanfaat bagi lingkungan dan ekonomi Rakyat.

Jika luasan unit manajemen KPH dalam kawasan hutan negara antara 15000-30000 ha, dan sejak tahun 2003 – 2006 sudah ditanam areal hutan negara seluas sekitar 678.709 ha, maka unit manajemen KPH yang harus segera dibentuk dengan segala penyempurnaannya antara 23 – 45 unit manajemen KPH yang berasal dari kawasan kelola Gerhan. 4.1.2. Penataan Kawasan Hutan Rakyat Dari pengalaman melakukan pengorganisasian masyarakat yang mengelola hutan rakyat, pendampingan kelompok yang efektif jika anggota kelompok tersebut antara 20-25 orang. Kemampuan dan kecukupan seorang petani mengerjakan lahan pertanian secara efektif adalah 0,8 ha per keluarga. Penggunaan lahan hutan rakyat boleh dikatakan kurang efektif, sehingga kemampuan memanfaatkan dan memelihara lahan pertanian dan tanaman keras dapat 1,5 – 2 kalinya * 0,8 ha = 1,2 – 1,6 ha per keluarga (ini dapat untuk tanah kosong dan hutan rakyat campuran). Jika satu blok dan satu kelompok petani ada 20-25 orang keluarga maka luas blok tanaman hutan rakyat dari program Gerhan adalah 24 ha – 40 ha. Luas ini dapat mewakili satuan wilayah administrasi tingkat dusun. Unit manajemen Kesatuan Pengusahaan Hutan Rakyat (KPHR) sebaiknya disesuaikan dengan basis administrasi desa saja. Jika setiap desa memiliki 6 – 8 wilayah dusun, maka luas unit manajemen KPHR tingkat desa adalah antara 144 – 320 ha atau rata-rata luas unit manajemen KPHR adalah 232 ha.

Dari kalkulasi asumsi tersebut maka dapatlah disimpulkan bahwa unit manajemen hutan Rakyat memiliki variasi sangat tinggi dan sangat ditentukan oleh keadaan lahan yang dimiliki masyarakat, kemampuan masyarakat membuat tanaman keras, dan kemampuan berkelompok dari masyarakat tersebut.

Sistem Pendukung Unit Manajemen

Sistem pendukung terbentuknya unit manajemen KPH di wilayah kerja Gerhan sangat diperlukan. Sistem pendukung tersebut antara lain:

  • Dukungan Internal Departemen Kehutanan Program rehabilitasi hutan dan lahan masih selalu saja dianggap sebagai milik Direktorat Jenderal RLPS, sehingga dukungan dari direktorat lainnya sangat sedikit. Situasi seperti ini sudah harus diberhentikan sebab kawasan yang akan direhabilitasi sesungguhnya menjadi lokasi di mana semua kegiatan-kegiatan pembangunan kehutanan di laksanakan (pengukuhan, tata batas, inventarisasi, pemanenan, tanaman, pemeliharaan, dan kesiapan tenaga kerja). Peran masing-masing eselon 1 di Departemen Kehutanan bersifat saling mendukung, baik dalam pengertian administrasi maupun dalam pengertian fisik. Penetapan lokasi Gerhan dan pembentukan unit manajemen KPH sangat terkait dengan Badan Planologi, pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan sangat terkait dengan Dirjen BPK, dan pengembangan komoditas unggulan dan software ilmu pengetahuan dan teknologi akan banyak didukung oleh badan Penelitian dan Pengembangan. Melihat program Gerhan hanya dari satu sisi sajapastilah akan mengalami kegagalan. Gerhan akan menjadi sebuah gerakan sosial yang kuat, tentu harus pula didukung oleh gerakan kebersamaan di dalam tubuh Departemen Kehutanan sendiri. Momentum program Gerhan ini oleh para rimbawan Indonesia harus mampu dijadikan momentum kebangkitan bersama hutan Indonesia. Harus dikbuktikan kepada publik Indonesia bahwa Departemen Kehutanan itu memiliki kemampuan membangun hutan yang sudah rusak dan mampu mengurangi bencana lingkungan. Selama ini Departemen Kehutanan dikenal sebagai lembaga yang menghancurkan hutan tropis Indonesia.
  • Peran Para Pihak Peran para pihak seperti LSM, Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, Lembaga Penelitian Kehutanan di daerah-daerah dan masyarakat sangat penting dalam melaksanakan pembentukan unit manajemen kawasan yang dibangun melalui program Gerhan. Peran masing-masing pihak harus dimaksimalkan sehingga mampu menjadikan lahan dan hutan yang rusak menjadi lebih produktif. Pada gilirannya, jika rehabilitasi ini berhasil maka diharapkan bencana lingkungan akan dapat dikurangi, peningkatan kesejahteraan masyarakat akan dapat diwujudkan. Pada saat yang sama, kemiskinan Rakyat akan dapat ditanggulangi karena kesejahteraan mereka meningkat.
  • Tata Waktu Sudah ditengarai bahwa kegiatan Gerhan di beberapa tempat dipandang kurang berhasil karena tata waktu pengesahan pembiayaan Gerhan terlambat. Akibat keterlambatan ini maka penjadualan tata waktu penanaman dan pemeliharaan (yang sangat bergantung pada musim hujan) tidak dapat tepat waktu. Tumbuhan berkayu yang masih kecil dan mengalami kekurangan air karena hujan sudah tidak turun lagi, akan menyebabkan kematian bibit pohon secara masal. Oleh karena itu tata waktu ini harus benar-benar dipegang dan di hormati oleh semua pihak yang terkait, terutama dari Lembaga yang mengesahkan pendanaan Gerhan (Menteri Keuangan dan DPR). Artinya bahwa komitmen dukungan pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi secara berkelanjutan harus mendapat dukungan dari pihak DPR dan Presiden. Perlu adanya sebuah kebijakan baru melalui Kepres tentang Gerhan, sehingga pendanaan dapat bersifat multi year.
  • Insentif bagi Kesejahteraan Masyarakat Program Gerhan harus dikaitkan dengan peluang kerja dan berusaha bagi semua pihak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar kegiatan Gerhan dilaksanakan. Pembentukan unit manajemen KPH dalam kawasan hutan negara melalui program Gerhan ini, perlu semua kegiatan melibatkan peran Masyarakat secara aktif. Partisipasi masyarakat akan meningkat jika ada manfaat langsung yang akan diperoleh mereka. Model pembagian saham dan memperoleh manfaat dari saham tersebut merupakan salah satu pembagian manfaat bagi masyarakat yang terlibat dalam Gerhan.
  • Dukungan Silvikultur Petak hutan yang ada dalam unit manajemen KPH merupakan Pusat dari seluruh kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Oleh karena itu rancangan system silvikultur harus relevan dengan keadaan tapak, iklim, tanah, dan sosial ekonomi Masyarakat. Model-model silvikultur yang diterapkan harus sifatnya dapat diukur, memiliki criteria keberhasilan, dan dikaji secara terus menerus oleh Lembaga penelitian dan Perguruan Tinggi. Dalam rangka memastikan model silvikultur apa yang relevan disatu unit manajemen, maka disarankan dibentuk beberapa demplot pengukuran secara permanent. Melalui demplot permanent ini akan diketahui criteria dan indicator keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Penutup

Makalah ini tentu saja jauh dari sempurna. Banyak hal yang akan dituangkan dalam makalah ini, tetapi dibatasi oleh data-data lapangan yang penulis miliki. Pendekatan yang dikembangkan dalam pembentukan unit manajemen kawasan hutan di lokasi Gerhan adalah upaya untuk memastikan bahwa kegiatan Gerhan harus mencapai keberhasilan yang terukur dan dapat direplikasi ke tempat lain. Belajar dari keberhasilan penataan kawasan hutan negara dan hutan rakyat di pulau Jawa, maka penulis merasa yakin sekali bahwa keberhasilan membentuk unit manajemen Kesatuan perusahaan hutan (KPH) dalam kawasan hutan negara dan di atas lahan milik menjadi Kesatuan perusahaan hutan rakyat (KPHR), sebagai langkah yang tepat untuk mewujudkan keberhasilan pembuatan hutan melalui program Gerhan. Semua dukungan politik, pendanaan, tata organisasi tingkat lapangan, sistem silvikultur, pemberdayaan masyarakat, dan keberlanjutan program secara pasti serta komitmen semua pihak merupakan enabling faktor bagi keberhasilan program Gerhan di Indonesia.

Bahan Bacaan

Anonim. 1997. Manual Pembentukan Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi. Departemen Kehutanan – UK DFID. Soedarwono, H. 1984. Rencana Umum Pembangunan Perusahaan Hutan Tanaman Industri. Proceedings Perumusan Pola Pengelolaan Hutan Tanaman Industri. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Makalah disampaikan pada seminar nasional Arahan pembentukan unit manajemen Gerhan di Hotel Garuda Yogyakarta, tanggal 29-30 Agustus 2006

Dekonstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lampung

Category : Makalah

Propinsi lampung dapat diumpamakan seperti gadis cantik yang seksi atau pemuda yang banyak dilirik orang. Lampung itu “seksi” bukan baru akhir-akhir ini saja, tetapi jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia ini diproklamasikan. Lihatlah kebelakang sejenak pada tahun 1905 dimana pemerintah Hindia Belanda sangat berkeinginan membangun Lampung untuk dijadikan pusat perkebunan kopi dan pertanian pangan. Caranya dengan membuat program kolonisasi penduduk dari Pulau Jawa ke Lampung. Hal itu merupakan episode pertama lampung menjadi “perebutan” oleh pihak-pihak yang membutuhkan sumberdaya lahan. Pada episode pertama ini, kehadiran penduduk “Jawa Bagelen” atas kehendak pemerintah Hindia Belanda, dan untuk kepentingan Belanda. Penduduk Jawa datang ke Lampung karena alasan banyak penduduk miskin di desa-desa Bagelen Jawa tengah. Jadi pemicunya adalah ketersediaan lahan dan kemiskinan. Penduduk miskin di bagelen ini tidak hanya di kolonisasi ke lampung, tetapi juga dikirim ke Pulau Muna Sulawesi Tenggara untuk membangun tanaman hutan jati di pulau tersebut., dan bahkan ke negara Fiji, Suriname, serta beberapa negara di pasifik Selatan. “Seksi” nya Lampung ternyata berkepanjangan dan berlanjut sampai saat sekarang ini.

Episode kedua dari “perebutan” lahan di lampung berkembang terus baik melalui program-program transmigrasi sistematis maupun transmigrasi spontan dari Sumatera dan Jawa. Program transmigrasi sistematis jelas melalui perencanaan yang ketat, tetapi transmigrasi spontan justru telah menimbulkan berbagai masalah sosial budaya ekonomi dan politik, karena lemahnya pengawasan semua pihak dalam masyarakat. Persoalan kemudian adalah munculnya banyak sekali persoalan agraria yang bersifat vertikal antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan pengusaha, dan konflik horizontal antar masyarakat dengan masyarakat. Selama orde baru berkuasa, lahan-lahan hutan banyak yang dirubah fungsinya untuk kegiatan lainnya seperti perkebunan tebu dan sawit, yang diberikan kepada perusahaan yang dekat dengan keluarga pejabat di jakarta.

Di era orba, Propinsi lampung dilihat semakin seksi oleh kelompok-kelompok pemodal, sehingga pertarungan kepentingan akan lahan semakin tinggi dan ketat di daerah ini. Karena lahan semakin sempit sementara penduduk dalam propinsi terus berkembang dan penduduk pendatang tidak dapat dibendung, maka tidak dapat dihindarkan muncul korban-korban dalam pembangunan. Disini korban sumberdaya alam hutan tidak dapat dihindarkan, baik untuk kepentingan pertanian dan perkebunan masyarakat maupun hutan dibongkar fungsinya untuk kepentingan produksi dan tentu dengan mengorbankan kepentingan lingkungan. Kerusakan sumberdaya hutan di lampung sudah mencapai lebih dari 70% dari total luas hutan sekitar 1.24 juta ha. Kerusakan fisik hutan alam terjadi di semua fungsi hutan produksi, hutan lindung, hutan marga satwa, dan taman nasional (lebih dari 40%). Kondisi fisik tersebut akan terus mengalami kemunduran jika tidak ada upaya-upaya sistematis dari semua pihak. Kita yakin sepenuhnya bahwa kelestarian hutan tidak mungkin dikerjakan hanya oleh departemen kehutanan, sebab apa yang terjadi tentang hutan di lampung sekarang ini adalah akibat dari kebijakan pembangunan hutan pada masa lalu. Kiranya ke depan perlu sekali melakukan restrukturisasi konsep dan kebijakan yang radikal pembangunan sumberdaya hutan di Lampung.

Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan fisik kawasan hutan di Propinsi lampung antara lain:

  1. pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Pada awal tahun 1980 pertumbuhan penduduk di lampung sebesar 5.6% pertahun. Pada waktu itu pertumbuhan penduduk nasional hanya 2.9 ha per tahun. Laju pertumbuhan itu sesungguhnya berasal dari penduduk transmigrasi Jawa, NTB dan Bali (3.5%) dan pertumbuhan di dalam masyarakat Lampung sendiri sekitar 2.4% per tahun;
  2. Pertumbuhan penduduk yang tinggi itu diikuti dengan peningkatan kebutuhan penduduk akan lahan untuk kegiatan pertanian, pemukiman dan perkebunan. Hutan-hutan konversi digunakan untuk kepentingan transmigrasi tersebut;
  3. Sampai sekitar akhir tahun 1979 kegiatan transmigrasi reguler dari Jawa diberhentikan karena tanah sudah semakin langka dan penduduk lampung sendiri sudah harus ditata agar merata antar kabupaten. Dalam ranglka penataan penduduk tersebu maka pada awal tahun 1980-an diciptakan satu program transmigrasi lokal dari Kabupaten Lampung Selatan ke lampung Utara. Penduduk yang dipindahkan tersebut umumnya penduduk etnik, Jawa, sunda, Sumatera Selatan, dan penduduk etnik Lampung yang bermukim dalam kawasan hutan produksi, Taman Nasional, dan hutan lindung secara dainggap bermasalah oleh pemerintah;
  4. Pendatang “spontan” tersebut masuk dalam kawasan hutan melalui cara-cara: mendapat izin dari kepala desa dengan membayar sejumlah uang; mengikuti saudaranya yang sudah terlebih dahulu datang di kawasan hutan, mendapat izin tidak resmi dari petugas kehutanan, masuk hutan secara diam-diam dan berkelompok. Petugas kehutanan mengetahui semua itu, tetapi awalnya pura-pura tidak tahu, karena penegakan hukum tidak berjalan;
  5. Koordinasi instansi pemerintah daerah dengan Dinas kehutanan (dephut) tidak baik dalam hal tata ruang, sehingga penempatan lahan untuk investor dan beberapa transmigrasi khusus (trans. Polri) dan percetakan sawah (rawa sragi), yang memanfaatkan kawasan hutan produksi tumpang tindih;
  6. Berubah nya fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan tebu dan perkebunan rakyat lainnya;
  7. TGHK yang dibuat pada awal tahun 1982 tidak secara konsisten diterapkan dan RTRWP juga kurang mendapat pemantauan dalam pelaksanaannya; dan;
  8. Pengawasan masyarakat lokal dan publik secara umum terhadap kegiatan kehutanan tidak berfungsi, karena sistem sangat tertutup dan sentralistik, sehingga memunculkan apatisme dan “perlawanan tersembunyi” dari masyarakat lampung;

Situasi kawasan hutan di atas semakin bertambah parah ketika muncul jargon dari Menteri kehutanan mengenai “forest for people” yang keliru menafsirkan dan populistik, dan desakan reformasi yang tanpa arah. Kesalahan instansi Kehutanan dan oknum aparaturnya masa lalu membuat mereka tidak mampu menjadi panutan bagi masyarakat di era reformasi. Perlawanan rakyat yang merasa selama orba “ditindas dan dimarjinalkan” oleh pihak kehutanan kembali memperoleh momentum untuk terus memasuki kawasan hutan negara. Jika dicermati ada terjadi semacam gerakan “social disobeyed” dan “social banditary” terhadap kawasan hutan negara di lampung khususnya. Ternyata perlawanan tersebut juga terjadi di Jawa dan seluruh Indonesia.

Kawasan hutan lampung sungguh telah menjadi korban dari anggapan bahwa lahan di Lampung murah dan mudah untuk diperoleh. Anggapan ini telah menyebabkan jutaan manusia berbondong-bondong datang ke lampung. Anggapan ini tidak disadari oleh masyarakat lampung dan pemerintah daerah sejak awal karena terlena dengan sumberdaya alam yang melimpah. Kapan titik balik itu terjadi, sesungguhnya ketika kesepakatan politik lokal mengatakan bahwa transmigrasi dari Jawa di berhentikan dan dilanjutkan dengan redistribusi penduduk antar kabupaten melalui program transmigrasi lokal tahun 1980 awal. Saat itu pula pemerintah Lampung menyadari bahwa telah terjadi kelanggkaan lahan, padahal penanaman modal untuk kegiatan perkebunan besar dan industri pertanian belum berkembang.

Sejak tahun 1980 awal itu juga investasi dibuka untuk memanfaatkan lahan, tentu lahan hutan yang sudah jenuh tersebut tetap dipaksakan untuk dikonversi. Sementara rakyat yang ada dalam kawasan hutan lindung “diusir” dan mereka kehilangan asset sumberdaya alam, dan karenanya mereka jatuh miskin. Banyak putra-putra mereka putus sekolah dan terpaksa pergi bekerja ke tanggerang, Bekasi, dan jakarta, menjadi tenaga kerja murah dan tidak trampil. Saat ini pula kemiskinan semakin menjadi di Lampung. Artinya bahwa kebijakan pemerintah dalam bidang kehutanan tempo dulu telah mendorong terpuruknya ekonomi rakyat di pedesaan, khususnya desa-desa sekitar hutan.

Beberapa skenario yang bisa dikembangkan merupakan skenario yang pahit bagi pemerintah, sekalipun itu sangat realistis tetapi diharapkan pemerintah dalam hal ini Departemen kehutanan dapat berbesar hati (legawa) untuk mundur selangkah tetapi menang beberapa langkah pada masa depan demi kelestarian hutan. Masyarakat Lampung secara umum terbiasa menanam tanaman keras dan kearifan seperti ini didorong dan dikembangkan untuk diterapkan di dalam kawasan hutan bersama dengan tanaman kehutanan. Ke depan, khususnya bagi Lampung, definisi hutan dan kawasan hutan memang perlu di redefinisi secara mendasar. Pertanyaannya adalah mana yang lebih penting secara substansial : mempartahankan luas kawasan hutan tetapi hutannya kritis dan tidak berfungsi, atau mempertahankan fungsi hutan dengan membangun kawasan hutan yang keadaan hutannya ditumbuhi oleh tanaman serba guna untuk peningkatan ekonomi kerakyatan ? Mana yang lebih baik dari aspek lingkungan?

Silahkan memilih, karena keduanya memiliki konsekuensi masing-masing. Dekonstruksi kelembagaan yang sudah kami tuangkan dalam beberapa skenario di atas sangat terbuka diperdebatkan oleh semua pihak. Semoga sumbangan pikiran ini ada gunanya.

Download Full Artikel : dekonstruksikelembagaan.pdf

Makalah Pada Seminar Tentang Kebijakan Pengelolaan dan Deforestasi Hutan Lampung, Bandar Lampung 17 MEI 2004

Perubahan Kebijakan Atas Kewenangan Kelola Lahan Hutan Indonesia

Category : Makalah

Kebijakan di sektor kehutanan sering kali hanya diarahkan kepada bagaimana kepentingan ekonomi dan politik pemerintah dapat dlaksanakan. Konsep dan wacana kelestarian hutan dan lingkungan terkesan hanya sebagai alat hegemoni pemerintah atas dasar kepentingan pemerintah sendiri. Wacana ini justru dikembangkan pada era reformasi menjadi alat hegemoni politik dan kekuasaan oleh pemerintah. Misalnya paradigma pembangunan kehutanan yang state based dirubah seolah-olah menjadi community based, hanya sekedar mengikuti gerakan populis yang ada dalam masyarakat. Tindakan pemerintah seperti ini seakan-akan akomodatif dengan kepentingan masyarakat yang berinteraksi dengan hutan.

Deforestasi terjadi di seluruh Indonesia, puluhan ribu manusia meninggal dunia akibat banjir, ratusan ribu manusia terkena bencana alam tanah longsong dan banjir. Semua kejadian tersebut salah satunya disebabkan oleh terjadinya perubahan system penggunaan lahan dalam kawasan hutan, baik hal tersebut disebabkan oleh tindakan-tindakan pelaku bisnis kehutanan dan perkebunan, maupun tindakan pemanfaatan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi dan terjadilah apa yang disebut dengan tindakan over exploitation. Salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan dipandang banyak pihak karena belum ada kebijakan kehutanan di Indonesia yang tepat untuk membuat sistem pengelolaan hutan tersebut menuju ke arah hutan lestari. Banyak sudah perubahan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pada era reformasi tetapi kebijakan-kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaikan masalah, sehingga yang terjadi hanya satu proses memproduksi kebijakan kehutanan secara besar-besaran tetapi semuanya tidak cukup efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam sektor kehutanan Indonesia. Ke depan harus ada kebijakan hutan yang dapat menyelesaikan masalah-masalah krusial kehutanan Indonesia.

Masalah kebijakan di sektor kehutanan Indonesia sekarang ini adalah: pertama, berkaitan dengan keinginan mencapai pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management / SFM) belum didukung oleh kebijakan yang tepat. Artinya sudah ada kebijakan yang dibuat, katakanlah UU No.41 tentang Kehutanan tahun 1999, serta PP No.34 tahun 2002 tentang penataan hutan perencanaan hutan dan pemanfaatan hutan, sebagai turunan dari UU No.41/1999, lebih banyak di tolak dari padai diterima oleh pemerintah daerah. Kebijakan hukum seperti ini justru tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kehutanan. Penyebabnya adalah karena akar persoalan terletak pada pemerintah sendiri yang memproduksi peraturan tetapi secara nasional peraturan tersebut mengandung unsure konflik (norm conflict). Simak saja pertentangan norma antara UU No.41/1999 dengan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pertentangan kewenangan ini telah membuat pemerintah daerah khususnya daerah otonom Kabupaten bersikap berlebihan dalam memposisikan sumberdaya hutan, dimana hutan masih dianggap sebagai “mesin pencetak uang” yang harus dieksploitasi. Tidak semua daerah seperti ini, ada daerah yang tidak membuat peraturan daerah untuk kepentingan memperoleh pendapatan daerah (PAD) terutama daerah yang sumberdaya hutannya tidak signifikan untuk sumber ekonomi. Peraturan daerah yang berkaitan dengan peredaran hasil kayu yang dibuat oleh pemerintah daerah yang sedang dalam proses yudicial review (uji material) di Mahkamah Agung / Mahkamah Konstitusi banyak sekali.

Kedua, dalam rangka memberi kepastian hukum kepada pengelola hutan setelah pasca reformasi menjadi semakin kacau dan terus dalam tingkatan wacana oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi dan LSM. Paling mencolok dari persoalan ini adalah banyaknya izin HPH di cabut oleh Menteri kehutanan karena melakukan mal-praktik dalam pengusahaan yaitu tidak mampu menjamin kelestarian usaha dan kelestarian hutannya. Sementara itu bagi pengusaha hutan (HPH) yang masih beroperasi tidak dapat melaksanakan semua programnya dengan lancar karena terganggu dan harus melayani tuntutan-tuntutan masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat yang selama ini termarginalkan oleh adanya kebijakan HPH di Indonesia (Awang, 2003; Epiq, 1999). Pertanyaannya kemudian adalah apakah semua tuntutan masyarakat akan property right ini dapat dimasukkan sebagai bahan dasar menuju perubahan kebijakan kehutanan ? Tidak ada kepastian akan hal tersebut, sehingga tidak ada juga kepastian kearah keberhasilan pembangunan kehutanan di Indonesia.

Ketiga, kebijakan pemerintah tentang keinginan mereka melibatkan secara aktif peran masyarakat dalam pengelolaan hutan belum bersifat given, selalu berubah-ubah. Pada tahun 1992 Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan tentang HPH Bina Desa Hutan (BDH) dan dilaksanakan mengalami kegagalan karena campur tangan pemerintah berlebihan yang ditandai dengan pengaturan-pengaturan dan pembatasan-pembatasan isi perencanaan HBD yang berpihak kepada kepentingan pemerintah bukan kepentingan masyarakat. Kemudian muncul kebijakan Hutan Kemasyarakatan melalui SK Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1996, lalu dirubah lagi dengan SK Menteri Kehutanan No.677/Kpts-II/1998 tentang Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan, dan kemudian di revisi lagi melalui SK Menteri Kehutanan no.865/Kpts-II/1999 dan nomor 31/Kpts-II/2001 tentang penyelenggaraan HKm. Hasil studi evaluasi HKm menunjukkan bahwa program HKm yang didukung oleh sebagian LSM ini dinyatakan selesai dalam hal sosialisasi, dan masih dalam persoalan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan HKm yang harus tidak lagi sentralistik, program HKm harus mengikuti semangat politik lokal yang desentralistik (Capable,2002). Kesimpulan studi seperti ini kelihatannya hanya menekankan kepada persoalan kelembagaan saja, padahal persoalan HKm hanya sebagian kecil saja yang terkait dengan kelembagaan. Persoalan paling dasar dari HKm adalah yang berkaitan hak-hak masyarakat dalam program tersebut tidak terlihat mendapat kajian dalam studi tersebut. Bias dari studi ini terletak pada sample studi yang didasarkan kepada pilihan purposive dan formatnya mengikuti pikiran positivistic pemerintah saja, sementara perspektif masyarakat tidak dilihat secara dalam. Kiranya untuk pembanding diperlukan studi atau evaluasi HKm dari perspektif teori kritis yang lebih emansipatoris sifatnya. Pertanyaan sederhana dapat dimunculkan dalam kajian HKM yaitu, bagaimana dengan status hukum lahan HKm menurut masyarakat?

Dari ketiga masalah dasar dalam pembangunan hutan dan kehutanan di Indonesia saat ini, maka sangat perlu membuat perubahan kebijakan kehutanan yang secara prinsip mampu berfungsi sebagai leverage (pengungkit) sehingga semua bottle neck dapat diselesaikan. Namun demikian tulisan ini tidak berpretensi dengan kebijakan kecil lalu semua soal akan selesai dalam waktu dekat dan cepat. Fokus policy yang diajukan dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan property right atas system-sistem tata aturan lahan hutan di era otonomi daerah. Setelah tata pertanahan hutan menjadi jelas maka pola-pola menajemen dan pemanfaatan kelola ruang hutannya menjadi lebih jelas, yang kemudian berdampak kepada system kelembagaan pengurusan sumberdaya hutan di Indonesia (termasuk di dalamnya posisi HPH, BUMN, HKm, social forestry, dll).

Bahan Bacaan

  • Jones,C.O. Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
  • Cubbage, F.W; O’Laughlin, J and Bullock III, C.S. Forest Resource Policy. New York: John Wiley & Sons, Inc, 1993
  • Putra, F. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
  • Awang, S. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana-CCSS, 2003.
  • Epiq. Dialog Kebijakan Pembangunan Kehutanan. Proceeding and Background Paper. Jakarta: NRMP, 1999.
  • Hardiman, F. Budi. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik, dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 1993

Download Full Artikel : perubahankebijakanlahanhutanindonesia.pdf