Perkembangan Kehutanan Sosial Dan Kehutanan Masyarakat

Category : Makalah

Menarik sekali melihat fenomena pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Dibandingkan dengan penanganan sumberdaya alam lainnya, sumberdaya hutan (SDH) relatif lebih “di obok-obok” oleh publik, dan hal ini sekaligus memberi petunjuk bahwa berbagai ragam perubahan memang diharapkan juga oleh istansi kehutanan, walaupun sering sekali perubahan itu hanya di definisikan sendiri oleh institusi tersebut. Publik melihat SDH sering dengan perspektif masing-masing, bahkan sering sekali dilihat dengan kepentingan masing-masing. Cara publik melihat ini telah melahirkan ragam pengertian dan konsep pembangunan kehutanan. Setuju atau tidak, sepanjang pengamatan yang kami lakukan, peranan tekanan luar negeri dan kehadiran LSM dalam sektor SDH, secara signifikan telah mendorong perubahan-perubahan pemikiran. Tulisan ini berusaha mengurai berbagai macam pemikiran yang gamang tentang beberapa istilah dan praktik antara kehutanan konvensional (Classical forestry / timber management), kehutanan sosial (social forestry), dan kehutanan masyarakat (community forestry). Tidak hanya pemikiran yang akan diketengahkan dalam tulisan ini, tetapi praktik lapangan juga akan diuraikan.

Pelaksanaan SF di Indonesia sebagai hasil dari tekanan internasional, terutama jika dikaitkan dengan upaya-upaya mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan. Berbeda dengan kehutanan masyarakat (KM) yang dilaksanakan atas inisiatif masyarakat sendiri untuk waktu yang sudah sangat lama, tingkat keberhasilannya jelas dan terukur secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Katakanlah model PARAK dan KHEPONG di Lampung (damar, buah-buahan, dan hutan campur), hutan rakyat, merupakan contoh tidak terbantahkan yang muncul di tengah masyarakat Indonesia. Adopsi nama HKm oleh pemerintah sebagai representasi CF harus diwaspadai, sebab dapat saja kasus program PS menimpa KM karena intervensi pemerintah yang salah dan serba mengatur dan diatur dari Jakarta. Siapapun tidak boleh merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan KM di seluruh Indonesia tanpa melibatkan mereka-mereka yang sesungguhnya sudah melaksanakan praktik KM tersebut. Tantangan KM di Indonesia adalah bagaimana menyelesaikan konflik-konflik tenurial mereka dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Jika persoalan tenurial ini tidak diselesaikan maka hanya FRUSTASI yang diperoleh masyarakat, dan pemerintah akan rugi karena tekanan atas sumberdaya hutan akan semakin besar dari masyarakat. Kita diminta memilih sekarang, maju atau mundur untuk memperjuangkan kehutanan masyarakat sebagai paradigma dalam proses pembangunan sumberdaya hutan di Indonesia.

Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat perkembangan ragam pemikiran, konsep dan praktik-praktik pembangunan kehutanan yang berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat yang pernah ada dan yang sedang berjalan di Indonesia pada khususnya. Jika diperhatikan istilah kehutanan sosial sudah muncul sejak tahun 1978 ketika sebuah tema kongres kehutanan sedunia ke-8 di Jakarta adalah forest for people. Tema ini bergema ke seluruh dunia, dan baru mendapat perhatian dalam implementasinya tahun 1986 di Indonesia. Jadi kesadaran orang Indonesia tersentuh oleh tema itu setelah 8 tahun kongres berlangsung. Sebab zaman itu adalah zaman Boom minyak, dan Boom kayu, yang hampir setiap orang melupakan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Download Full Artikel : perkembangankehutanansosial.pdf

Ekonomi Politik Konservasi Sumberdaya Hutan

1

Category : Makalah

Apabila kita semua pernah membaca sebuah buku dari Nancy Peluso berjudul Rich Forest Poor People pastilah akan muncul rasa penasaran, mengapa buku tersebut muncul. Buku tersebut telah dipublikasi sekitar 15 tahun yang lalu, dan anehnya tidak banyak orang yang berkecimpung di sumberdaya alam yang membaca buku tersebut sampai habis tuntas. Buku ini ditulis dengan data-data sejak zaman kolonial belanda sampai zaman pemerintahan orde baru sedang berjaya. Kajian yang bertema sosial dan antropologis ini menyajikan informasi yang sangat tidak pernah dibayangkan oleh ahli-ahli kehutanan domestik di Indonesia. Hampir di semua kampus yang ada ilmu kehutanan dan Departemen Kehutanan pada saat itu (1970-1990) membanggakan model-model eksploitasi hutan yang dilakukan oleh HPH, tetapi terendus aroma tidak sedap datang dari sistem pengelolaan hutan yang paling tua di Jawa yang dipangku oleh Perhutani, bahwa banyak sekali rakyat miskin yang hidup di sekitar hutan negara di Jawa, hutan yang kaya karena komoditi jati, hutan yang dikelola dengan cara yang feodalistik. Produksi kayu jati terus meningkat dengan memperluas areal penebangan, pendapatan perisahaan Perhutani meningkat juga, sementara benefit dari eksploitasi tersebut tidak adal yang “menetes” langsung ke masyarakat. Nancy mengatakan something wrong dalam sistem pengelolaan hutan di Jawa, sebab pada waktu itu belum ada istrumen kebijakan pengelola hutan yang menjamin adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Instrumen meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat ditentukan oleh sikap pimpinan, bukan sikap sistematis yang dituangkan dalam sistem Perhutani.

Disinilah kita tahu bahwa pembangunan sumberdaya hutan di Jawa menimbulkan paradoks, dia menimbulkan bekas luka yang menghitam dan sukar dikembalikan ke bentuk semula. Satu sisi jargon pembangunan seolah-olah melakukan perubahan tetapi pihak lain menindas kelompok orang yang terpinggirkan. Masyarakat yang tergusur pemukimannya di Jakarta menganggap bahwa mereka korban pembangunan. Seorang pemborong bangunan, jalan raya , dan reboisasi menjadi “kaya” hidupnya karena berkah pembangunan. Macam-macam pendapat orang tentang pembangunan. Apa artinya pembangunan? Pembangunan adalah usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya terutama sekali bidang material. Dengan benar jika ada orang mengatakan bahwa pembangunan itu sesungguhnya merupakan kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi. Ukuran pembangunan antara lain (a) kekayaan rata-rata dengan ukuran seperti GNP (gross national product), PDB (Produk domestik bruto). (b) Pemerataan, dan (c) Kualitas kehidupan (dengan ukuran rata-rata harapan hidup, setelah umur 1 tahun, rata-rata jumlah kematian bayi, dan rata rata prosenrase buta dan melek huruf. (d) Kerusakan lingkungan; dan (e) Keadilan sosial dan kesinambungan.

Pendekatan ekonomi politik konservasi sumberdaya hutan masih belum menjadi “domein” penting dalam pembangunan sumberdaya hutan di Indonesia. Taman Nasional sering menjadi pilihan model pengelolaan kawasan konservasi sumberdaya hutan di Indonesia oleh pemerintah. Sayangnya konsep Taman Nasional ini bukan konsep orsinil Indonesia, tetapi meminjam konsep barat dan negara-negara maju, yang konteks politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, seluruhnya berbeda dengan Indonesa, tentu berbeda dengan Jawa Tengah, dan pastilah berbeda dengan situasi yang dihadapi oleh desa-desa di lereng Timur Merbabu.

Alternatif yang dapat dipilih untuk mengembangkan kawasan lereng Timur Merbabu yang berbatasan dengan 12 desa dan puluhan ribu jiwa penduduk adalah meneguhkan pilihan pembangunan kawasan lestari yang dipandu oleh pendekatan ekonomi politik konservasi kawasan Merbabu (integrasi kawasan rakyat dan kawasan negara). Wujud tindakan pengelolaan kawasan tersebut mengikuti paradigma CBFM dengan strategi utama menerapkan model CI (kolaborasi para pihak). Indikator yang digunakan dalam mewujudkan CI tersebut adalah mengembangkan kriteria dan indikator lokal dan pada hal-hal tertentu kriteria dan indikator lokal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip universal.

Ketentuan konservasi dalam tata aturan perundang-undangan di Indonesia yang terkait dengan konservasi sifatnya sangat global dan lebih kuat pada paradigma “mono interpretatif” dan sangat berat pada memperjuangkan kepentingan negara dan pemerintah, belum seimbang dengan kepentingan masyarakat kecil dan miskin, yang akses pada sumberdaya hutannya lemah. UU Kehutanan dalam konteks konservasi belum menerima eksistensi manusia / masyarakat sejajar dengan elemen ekosistem lainnya (hewan dan vegetasi), manusia masih dipandang sebagai ” the other” (makhluk asing dan makhluk lain dalam ekosistem hutan). Pandangan ini merupakan mitos lama yang harus disempurnakan. Kini saatnya rakyat angkat bicara untuk menentukan kawasan konserasi lingkungan mereka sendiri, tanpa tekanan dan kepentingan yang mengatasnamakan “globalisasi” tetapi anti rakyat. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat membuka mata dan hati kita semua betapa pentingnya kawasan konservasi yang dibangun secara demokratis, adil dan berkelanjutan.

Download Full Artikel : ekonomipolitiksdh.pdf

Epistemologi Komuniti Forestri : Pendekatan Konstruktivis

Category : Makalah

Perkembangan ilmu dan perkembangan pengetahuan sudah merupakan kebutuhan manusia saat ini. Sejarah berkembangnya suatu ilmu pengetahuan di dunia ini sejak zaman Yunani kuno dahulu selalu dimulai dari berbagai macam krisis sosial, alam semesta dan bio-organik yang mempengaruhi kehidupan anak manusia di jagad raya ini. Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions banyak menceritakan berbagai perubahan paradigma ilmu pengetahuan mulai dari klasik sampai modern. Kuhn sangat cerdas menggambarkan bagaimana terjadinya sebuah perubahan “sains” baik secara perlahan maupun secara cepat (revolusioner). Perubahan paradigma ilmu itu tidak dapat dicegah karena tuntutan zaman, dan oleh karena itulah perubahan dalam arti luas dalam sebuah disiplin ilmu pengetahuan bukan merupakan hal yang tabu, tetapi sudah merupakan satu keniscayaan tersendiri. Membaca bukunya Kuhn tersebut telah memberikan ilham agar mencoba merefleksikan hal-hal yang bersifat filsafati ke dalam berbagai perubahan paradigma dalam rumpun pengetahuan ilmu-ilmu kehutanan.

Seharusnya setiap pengetahun berkembang di dunia ini dilandasi dan didukung oleh pandangan esensi dan hakikat yang ada di dalam pengetahuan baru tersebut. Pertanyaan seperti: “ mengapa pengetahuan baru tersebut ada dan perlu ? Apa hakikat yang akan dicapai dalam pengetahuan baru tersebut? Apa obyek dan subyek dari pengetahuan tersebut? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang perlu di jawab jika sebuah pengetahuan akan dikonstruksikan menjadi pengetahuan yang ilmiah dan dapat diterima oleh khalayak umum. Pandangan filsafat akan pengetahuan tersebut belum sepenuhnya berkembang di dalam kontek pengembangan ilmu-ilmu pendukung ilmu kehutanan di Indonesia.

Filsafat pengetahuan (epistemologi) hampir tidak berkembang dalam khasanah ilmu-ilmu kehutanan di Indonesia. Thesis saya justru sangat besar kecenderungan berkembangnya cabang-cabang pengetahuan di Indonesia secara umum juga tidak dilandasi oleh epistemologinya, sehingga terkesan pengetahuan yang berkembang di Indonesia itu hanya sebagai ilmu “foto copy” model barat, yang tidak dikonstruksi dari sistem sosial budaya sendiri. Karena itu banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh bangsa Indonesia sendiri sebab esensi ilmu pengetahuan yang dikembangkan belum diratifikasi di Indonesia. Apakah karena hal seperti ini pula, bangsa Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibanding negara lainnya di dunia ini. Ada gejala yang lebih berbahaya lagi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah bahwa ilmu filsafat hanya dipandang sebagai milik fakultas Filsafat, sementara cabang pengetahuan lainnya tidak menganggap epistemologi dan filsafat ilmu sebagai kebutuhan, termasuk di sini adalah ilmu-ilmu kehutanan, dimana banyak cabang pengetahuan berkembang tetapi tidak didukung oleh epistemologinya, sehingga sering sekali kehilangan arah perkembangannya.

Tulisan ini adalah sebuah pemikiran awal yang terkait dengan bagaimana pandangan epistemologi digunakan untuk mengkonstruksi dan memposisikan satu cabang pengetahuan alternatif dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan.. Pengetahuan yang relatif baru ini dikenal dengan sebutan Community Forestry (kehutanan masyarakat). Istilah ini sering juga jumbuh dengan istilah paradigma Social Forestry (kehutanan sosial). Dalam tulisan ini istilah yang digunakan adalah kehutanan masyarakat, sebab secara substansial kedua istilah tersebut merefleksikan semangat dan sendi-sindi tujuan dan proses yang sama. Kendatipun di dalam praktik sehari-hari di tengah masyarakat kegiatan kehutanan masyarakat (komuniti forestri) ini sudah ada, dan banyak sudah literatur yang mendokumentasikan proses-proses bagaimana paradigma ini muncul dan ada ditengah masyarakat, tetapi belum ada satupun tulisan yang khusus menggambarkan pandangan epistimologi komuniti forestri. Karya tulis ini berusaha mengisi kekosongan akan hal tersebut. Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkuat perspektif komuniti forestri sehingga pengetahuan ini layak didudukkan sejajar dengan pengetahuan lainnya, tentu setelah pengetahuan ini terbukti dapat terkonstruksi secara ilmiah. Tulisan ini awal menuju pencaharian basis-basis ilmiah dari komuniti forestri.

Download Full Artikel : epistemologikomunitiforestri.pdf

 

Daftar Bacaan

  • Awang, S. 1997. Pemahaman Tentang Kehutanan Sosial. Yogyakarta.
  • Bodner, M . (1986). Constructivism: A Theory of Knowledge”. Journal of Chemical Education, 63 (10): 873 – 878.
  • Foley, G and Barnard, G. 1984. Farm and Community Forestry. International Institute for Environment and Development. Technical Report No.3.
  • London FAO, 1992. Community Forestry : Ten years in Review. Community Forestry Note No.7.
  • Rome Hadi, P.H. 1994. Epistemologi : Filsafat Pengetahuan. Kanisius, Yogyakarta.
  • Munggoro, D.W. 1998.Sejarah dan Evolusi Pemikiran Kumuniti Forestri.Seri Kajian Komuniti Forestri, Seri 1 tahun 1 Maret 1998.
  • Suriasumantri, J.S. 1999. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. C.V. Suliasari, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
  • Suparno, P, 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta.