Penguatan Sertifikasi Kayu Rakyat Dalam Proses Legalitas Kayu

Category : Makalah

Departemen Kehutanan telah mengeluarkan Kebijakan mengenai penatausahaan hasil hutan. Penatausahaan hasil hutan bertujuan untuk mengetahui peredaran kayu. Peraturan demi peraturan telah dikeluarkan oleh Dephut untuk memperbaiki sistem tata usaha hasil hutan. Salah satunya kebijakan tebaru dalam tata usaha hasil hutan adalah Kebijakan SKAU (P.51/2006, jo. P.62/2006, jo. P.33/2007) dan Kebijakan Penatausahaan Hasil Negara (P.55/2006, jo. P.63/2006)
Kebijakan SKAU mengatur mengenai penggunaan surat keterangan asal usul dalam pengangkutan hasil hutan hak/rakyat. Kebijakan Penatausahaan hasil hutan negara mengenai peraturan yang berkaitan dengan pengguanaan faktur dan surat pengangkutan yang meliputi SKSKB (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat), FA-KB (Faktur Angkutan Kayu Bulat), FA-KO (Faktur Angkutan Kayu Olahan), dan FA-HHBK (Faktur Angkutan Hasil Hutan Bukan Kayu).

Selama ini penatausahaan hasil hutan hak/rakyat belum secara rinci diatur dalam perundang-undangan, dan prosedur/tata cara pemanfaatan hasil hutan rakyat belum jelas (Syahadat, 2006). Proses legalitas kayu rakyat masih disamakan dengan proses legalitas hutan negara. Proses tersebut masih memberatkan masyarakat khususnya petani sebagai produsen kayu dalam hal mendapatkan legalitas kayu.

Perlu dikaji lebih dalam mengenai kebijakan-kebijakan penatausahaan hasil hutan yang menyangkut hasil hutan rakyat dalam proses legalitas kayu. Proses legalitas kayu rakyat tersebut apakah menjadikan insentif atau disentensif bagi petani selaku produsen kayu. Selama ini menurut Tino (2006) kontribusi hutan rakyat sangat besar dalam memberikan kontribusi kayu nasional. Jumlahnya bisa mencapai 7 juta meter kubik dan Pulau Jawa bisa memberikan jatah tebangan 6 juta meter kubik pertahun.

Sertifikasi kayu rakyat atau bukti legalitas kayu digunakan untuk menunjukkan kebenaran asal usul kayu yang ditebang. Kebijakan SKAU digunakan untuk pengangkutan kayu yang berasal dari hutan hak. SKAU penggunaannya dalam pengangkutan jenis kayu rakyat masih dibatasi. Oleh karena itu jenis-jenis kayu rakyat yang menterupai hutan negara menggunakan SKSKB (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat).

Download Full Artikel : penguatansertifikasikayurakyat.pdf

Pembelajaran Dari Kemitraan PHBM

Category : Makalah

Luas hutan negara yang dikelola oleh Perhutani sekitar 2.926.949 Ha, yang terdiri dari 1.811.814 berupa hutan produksi, hutan lindung 627.937 Ha dan 442.198 berupa hutan konservasi. Menurut data dari Departemen Kehutanan dan Perhutani pada tahun 2002, lahan hutan yang paling kritis dalam kawasan hutan produksi ada 170.130 ha (12,65%), di kawasan hutan lindung ada 191.200 ha (6,53%) dan 68,375 ha ada di hutan konservasi atau 2,34% (Foretika, April 2004, Yogyakarta).

Lahan hutan yang kritis itu disebabkan oleh penanaman hutan yang tidak berhasil, lahan hutan diklaim oleh rakyat atau masyarakat dan tentu juga oleh karena kejadian penjarahan sehingga hutan menjadi rusak. Seperti telah diketahui oleh public bahwa ada sekitar 8.182.280 pohon hilang akibat illegal logging yang terjadi di Propinsi Jawa Tengah selama tahun 1998-2003, yang setara dengan nilai Rp1,477 triliun ( Bisnis Indonesia, 2003). Akar persoalan dari kerusakan hutan di Jawa setelah tahun 1998 harus diketahui dan dalam waktu yang sama harus dicarikan cara-cara memecahkan masalah tersebut secara tepat.

Semangat desentralisasi berdampak pada kebijakan Perhutani dalam upaya mencapai tujuan dengan mengubah strategi utama mereka, seperti Perhutani akan membuka kesempatan bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan penghasilan yang lebih dari hutan, pendapatan bagi pemerintah lokal dan pelaku lain yang ikut berpartisipasi dalam melakukan kontrol dan mengelolan hutan negara secara bersama-sama. Ini benar-benar merupakan sebuah perspektif baru dalam konteks pelaksanaan pengelolaan hutan Jawa. Dengan pendekatan baru ini, posisi Perhutani adalah sebagai satu-satunya “pemegang dan pemain” tunggal dalam pengelolaan hutan di Jawa. Multistakeholder dan kerangka berfikir multistakeholder menjadi pilihan yang tepat untuk mengkontrol, memanfaatkan, dan mengelola hutan di Jawa pada masa yang akan datang.

PHBM yang dijalankan oleh Perhutani sejak 2001 berdasarkan pada keputusan Dewan Pegawas No 136/Kpts/DIR/2001 sebagai arahan bagaimana keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan dapat terintegrasi secara proporsional agar misi dan visi Perhutani dapat tercapai. Tujuan dari PHBM adalah : (1) Meningkatkan rasa tanggung jawab dari Perhutani, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap keberlanjutan sumberdaya hutan, (2) Memperluas peran Perhutani, masyarakat lokal dan aktor lain yang memiliki kepentingan dalam sistem pengelolaan hutan, (3) Membuat semua kegiatan pengelolaan hutan lebih adaptif untuk menjawab dinamika perubahan sosial di pedesaan; (4) Meningkatkan kualitas sumberdaya alam hutan ; (5) Untuk memberi stimulus terhadap meningkatnya pendapatan Perhutani, pendapatan masyarakat desa, pihak-pihak lain yang terkait. Untuk mewujudkan tujuan PHBM tersebut diperlukan penguasaan terhadap data dasar sosial ekonomi dan budaya masyarakat desa, kondisi sumberdaya hutan dan penggunaannya, kondisi organisasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), dan aturan kelembagaan PHBM lainnya.

Untuk merealisasikan pelaksanaan program PHBM yang baik, benar, dan tepat, dibutuhkan studi aksi yang berhubungan dengan isue-isue sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, teknik kehutanan, dan kelembagaan. Mengapa studi aksi ini penting ? karena dari waktu ke waktu setiap ada program sosial di Perhutani selalu muncul hipotetik bahwa ” relasi power antar Perhutani dan organisasi masyarakat desa dalam posisi tidak seimbang, posisi tawar masyarakat rendah, dan dominasi Perhutani sangat kuat”. Hipotesis ini harus disikapi dan dicarikan jalan pemecahan masalahnya. Penelitian aksi partisipatif dipersiapkan oleh tim internasional melalui program Levelling the playing field , sebagai bentuk kolaborasi antara CIRAD-CIFOR-Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Fakultas Kehutanan UGM (untuk Indonesia), serta didukung oleh Perum Perhutani dan PT. MHP Muara Enim Sumatera Selatan. Penelitian aksi kolaboratif ini dilaksanakan pada periode tahun 2004-2007.

Pelajaran penting yang dapat ditarik dari pembelajaran fasilitasi dan pemberdayaan LMDH dalam program PHBM di wilayah kerja Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah adalah sebagai berikut:

  1. Semangat dari program PHBM adalah kesetaraan peran, tugas dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan. Pada tahun 2004 pemahaman tentang PHBM sangat rendah dari pihak masyarakat di 4 desa penelitian maupun pada petugas Perhutani tingkat lapangan. Dari hasil evaluasi dan penilaian kinerja kelestarian PHBM dan diskusi-diskusi dalam fasilitasi, serta pada saat woekshop exit plan dilakukan, diketahui bahwa pemahaman akan kesetaraan dan konsep PHBM sudah lebih baik. Pengurus LMDH, petani, organisasi sosial lainnya dan staf serta pejabat Perhutani, sekarang dapat berbicara dalam satu forum yang lebih demokratis, bebas mengeluarkan pendapat dan mampu memberi usulan-usulan pemecahan masalah tingkat lapangan;
  2. Komunikasi para pihak dalam pengelolaan PHBM sudah sangat baik. Organisasi desa dengan organisasi LMDH sudah saling memahami untuk saling bersinergi guna mensukseskan PHBM;
  3. Sekarang pengurus LMDH sudah memahami proses melakukan penilaian kinerja kelestarian hutan dalam program PHBM. Pengetahuan ini dibangun secara bersama-sama dalam fasilitasi dan trasnfer pengetahuan mengenai penetapan prinsip, kriteria dan indikator seperti apa untuk menentukan kelestarian hutan. Kerena penilaian kinerja pengelolaan PHBM dilakukan oleh masyarakat sendiri, maka mereka paham bagaimana menyelesaikan kekurangan pengelolaan yang ada;
  4. Pengurus LMDH dan anggota LMDH sudah dapat memahami cara inventarisasi, perencanaan, pengelolaan uang LMDH. Pengurus LMDH sudah sangat paham siapa saja masyarakat yang telah menjadi anggota LMDH. Rumusan Visi dan Misi menjadi acuan dalam pengembangan PHBM di desa masing-masing;
  5. Koordinasi dan komunikasi internal LMDH sudah berjalan baik, tetapi koordinasi eksternal dengan Forum Komunikasi Kecamatan dan Kabupaten, masih belum berjalan dengan baik. Secara tegas dapat dikatakan bahwa koordinasi dengan FK PHBM tingkat Kecamatan dan Kabupaten tidak berjalan;
  6. Mengingat peran, hak dan kewajiban para pihak sudah jelas dalam program PHBM, maka pengurus LMDH tidak lagi merasa kesulitan dalam melakukan langkah-langkah negosiasi dalam memperjuangkan kepentingan hutan dan anggota LMDH kepada pihak pimpinan Perhutani. Keterbukaan para pihak dalam bernegosiasi diakui sebagai hasil dari fasilitasi tim LPF. Masyarakat berhasil menegosiasi Perhutani dalam hal pengembangan usaha yang antara lain: perbaikan jarak tanam tanaman kehutanan, penentuan jenis tanaman palawija yang di tanam, jenis tanaman produktif non kayu (tebu), sengon, sistem bagi hasil dengan pihak ketiga diputuskan berdasarkan hasil musyawarah dan negosiasi para pihak yang terkait.
  7. Muncul jiwa kewirausahaan dari kelompok LMDH. Hal ini ditandai oleh penyediaan dana dalam alokasi dana bagi hasil yang diperuntukkan guna pengembangan usaha-usaha produktif anggota LMDH pada khususnya dan masyarakat desa pada umumnya. Disamping itu ada beberapa kelompok LMDH di Pemalang yang berhasil mengembangkan kerjasama dengan pihak ke tiga dalam kegiatan penanaman sengon.
  8. Pembelajaran penting lainnya adalah bahwa pengurus dan anggota LMDH sekarang sudah berhasil memahami betapa pentingnya mengatur organisasi melalui cara-cara yang benar. Semua keputusan penting telah ditetapkan dalam ART dan disyahkan dalam rapat pengurus LMDH. Demikian pula halnya beberapa LMDH sudah melaksanakan pergantian Pimpinan LMDH, dalam rangka menyehatkan organisasi LMDH tersebut.

Download Full Artikel : pembelajarandarikemitraanphbm.pdf

Kehutanan Masyarakat : Konsep, Peluang, Dan Tantangan

Category : Makalah

Bangsa dan negara Indonesia sedang mengalami perubahan saat ini. Perubahan ini bukan tiba-tiba, tetapi telah dimulai sejak tahun 1970 an. Pergolakan politik dalam negeri dan tarik menarik kepentingan antar elit politik, kolaborasi elit politik dan pengusaha, pengusaha dan militer, dan penguasa dengan militer, telah membawa negara Indonesia menjadi sebuah hegemoni elitis yang jauh dari pembelaannya terhadap kepentingan masyarakat banyak. Para aktivis sejak tahun 1970-an sampai 1998 tiada henti melakukan kritik atas hegemoni elitis tersebut di atas. Bacaan para aktivis tentang perlunya “pencerahan peradaban” di Indonesia dipicu oleh munculnya beragam ketidak adilan, ketimpangan, kemiskinan, dominasi ekonomi kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas, munculnya beragam usaha-usaha bisnis yang dikuasai oleh pemerintah untuk kemakmuran pemerintah bukan untuk kemakmuran rakyat, pengalihan asset sumberdaya alam menjadi milik negara / pemerintah, dan merajalelanya liberalisme ekonomi melalui sistem pasar yang hanya akan berpihak kepada pemegang kapital dan pemegang kekuasaan. Konstitusi pasal 33 UUD 45 tinggal slogan kosong dan semakin jauh dari harapan rakyat bahwa pasal tersebut akan mampu sebagai instrumen mewujudkan kesejahteraan bagi sebagian besar masyarakat. Teori penetesan dari pertumbuhan ekonomi telah gagal dan mati di Indonesia (Trickle down effect theory).

Reformasi Indonesia sejak Mei 1998 adalah titik puncak dari keinginan pihak yang ingin segera mewujudkan era demokrasi di Indonesia. Era reformasi telah menghasilkan banyak perubahan sistem politik dan sistem sosial di Indonesia. Namun demikian kemana arah perubahan tersebut tetap menjadi masalah karena masih harus diperdebatkan. Perubahan di sektor pembangunan sumberdaya hutan yang paling mencolok selama era reformasi ini adalah : (1) semangat sentralistik menjadi desentralistik; (2) melemahnya wibawa pemerintah pusat di mata rakyat; (3) munculnya suara demokratis dari rakyat yang menggugat kepemilikan sumberdaya alam yang selama ini dikuasai oleh negara; (4) munculnya keinginan banyak pihak agar pendekatan pengelolaan sumberdaya alam tidak lagi pada “state based” tetapi berubah menjadi “community based”; dan (5) munculnya perlawanan kelompok masyarakat yang selama orde baru tersingkirkan melalui cara-cara gerakan penjarahan hutan secara massive, dll.

Ada 3 tantangan besar untuk menilai apakah paradigma CF / KM benar menurut prinsipnya yaitu :

(1) Masihkah State Based Program?

Dalam konsep dan pelaksanaannya CF harus benar-benar menggambarkan pemberdayaan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan negara dan pemerintah, tetapi untuk kepentingan masyarakat sendiri. Namun demikian, hutan negara yang dikelola oleh organisasi formal dan non formal masyarakat tidak berarti meniadakan peran pemerintah dan Dinas Kehutanan, sebab kuncinya terletak kepada pembagian peran masing-masing stakeholders. Jika ternyata program-program yang mengatas namakan CF atau CBFM ternyata tetap memberikan peluang manfaat kecil kepada masyarakat, maka hal tersebut menunjukkan bahwa CF belum mengenai sasaran konsep. Semangat comm. Based harus tercermin di dalam CF. Mampukah pihak pemerintah melalui Dinas Kehutanan menerima gagasan seperti ini?

(2) Adakah External Capital Akan Menguasai Sistem CF ?

Demikian pula halnya jika di lihat dari aspek kapital investmen. Apakah program CF tidak mengalami bias neo-liberalism, dimana semua aspek ekonomi sumberdaya diserahkan kepada mekanisme pasar, dan membiarkan para pemilik kapital menginvestasikan modalnya pada usaha-usaha CF ? Jika CF menjadi demikian terbuka terhadap investasi luar, maka sangat dikhawtirkan konsep CF justru membuka peluang baru bagi kehancuran ekonomi rakyat desa hutan. Bukankah hal ini sudah terjadi di bandung Selatan, bandung Utara, dataran tinggi Dieng, malang, dan taman nasional ?
Katakanlah dengan model CF “khas Sumatera barat”, peluang invenstor masuk untuk menanam tanaman komersial sangat terbuka, kolaborasi antara Pemerintah Daerah dengan pengusaha sangat besar peluangnya. Bagaimana dengan masyarakatnya ? Jika ini yang terjadi maka paradigmanya telah bergeser dari CF yang community based menjadi CF yang economic based atau market based. Apakah memang hal ini yang diinginkan oleh semua pihak di Sumatera Barat ?

(3) Apakah CF mampu Meningkatkan Jaminan Sosial Masyarakat ?

Jika CF sangat terbuka dengan investor luar, maka kecendrungan economic based memang besar, dan itu artinya bahwa keberlanjutan sumberdaya hutan sulit untuk dipertahankan. Dalam situasi dimana CF dikuasai oleh investor, maka kembali masyarakat menjadi PENONTON dan invenstor menjadi rajanya. Apabila paradigam CF di dalam pelaksanaannya tidak mampu menjamin kesejateraan sosial anggota masyarakatnya, maka tidak ada gunanya jargon CF dipakai di dalam program-program kehutanan. Demikian pula tidak ada gunanya jargon CF khas Sumatera Barat digunakan jika penguasaan modal masih berada di tangan pengusaha.

(4) Kelembagaan CF

Kata kunci dari tiga masalah di atas sebenarnya terletak pada kemampuan masyarakat itu sendiri dalam mengembangkan dan melaksanakan CF secara benar berdasarkan kriteria pada tabel 1 di atas. Sangatlah penting untuk memperkuat organisasi masyarakat pengelola CF agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Hanya dengan institusi sosial yang kuat, peranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat, program CF akan dapat berlangsung dengan baik. Kelembagaan bukan hanya terbatas pada membentuk organisasi masyarakat, tetapi harus lebih menjangkau batas-batas yuridiksi atas lahan, permodalan, dukungan kebijakan, dan pemberdayaan yang demokratis.

Tulisan singkat ini diharapkan dapat dijadikan bahan pemicu diskusi yang lebih produktif oleh semua pihak yang hadir, baik dari pemerintah daerah, anggota DPRD, masyarakat desa, tokoh masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, pengusaha, Dinas Kehutanan, dan Departemen Kehutanan. Pengakuan oleh pemerintah atas inisiatif-inisiatif masyarakat harus dihargai dan diberi tempat sehingga pemerintah yang bertindak sebagai fasilitator mampu memfasilitasi inisiatif-inisiatif CF di dalam kawasan hutan negara. Hanya dengan kesepahaman antar pihak saja, kita dapat menyelamatkan sumberdaya hutan di Sumatera Barat dari kehancuran yang mengerikan. Pada masa yang akan datang, dengan sistem politik lokal yang semakin kuat, diharapkan sumberdaya hutan dapat dikelola oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan organisasi masyarakat di bawah konsep dan paradigma community forestry / social forestry dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya lokal.

Download Full Artikel : kehutananmasyarakat_konsep_peluang_tantangan.pdf