Perubahan Kebijakan Atas Kewenangan Kelola Lahan Hutan Indonesia

Kebijakan di sektor kehutanan sering kali hanya diarahkan kepada bagaimana kepentingan ekonomi dan politik pemerintah dapat dlaksanakan. Konsep dan wacana kelestarian hutan dan lingkungan terkesan hanya sebagai alat hegemoni pemerintah atas dasar kepentingan pemerintah sendiri. Wacana ini justru dikembangkan pada era reformasi menjadi alat hegemoni politik dan kekuasaan oleh pemerintah. Misalnya paradigma pembangunan kehutanan yang state based dirubah seolah-olah menjadi community based, hanya sekedar mengikuti gerakan populis yang ada dalam masyarakat. Tindakan pemerintah seperti ini seakan-akan akomodatif dengan kepentingan masyarakat yang berinteraksi dengan hutan.

Deforestasi terjadi di seluruh Indonesia, puluhan ribu manusia meninggal dunia akibat banjir, ratusan ribu manusia terkena bencana alam tanah longsong dan banjir. Semua kejadian tersebut salah satunya disebabkan oleh terjadinya perubahan system penggunaan lahan dalam kawasan hutan, baik hal tersebut disebabkan oleh tindakan-tindakan pelaku bisnis kehutanan dan perkebunan, maupun tindakan pemanfaatan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi dan terjadilah apa yang disebut dengan tindakan over exploitation. Salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan dipandang banyak pihak karena belum ada kebijakan kehutanan di Indonesia yang tepat untuk membuat sistem pengelolaan hutan tersebut menuju ke arah hutan lestari. Banyak sudah perubahan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pada era reformasi tetapi kebijakan-kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaikan masalah, sehingga yang terjadi hanya satu proses memproduksi kebijakan kehutanan secara besar-besaran tetapi semuanya tidak cukup efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam sektor kehutanan Indonesia. Ke depan harus ada kebijakan hutan yang dapat menyelesaikan masalah-masalah krusial kehutanan Indonesia.

Masalah kebijakan di sektor kehutanan Indonesia sekarang ini adalah: pertama, berkaitan dengan keinginan mencapai pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management / SFM) belum didukung oleh kebijakan yang tepat. Artinya sudah ada kebijakan yang dibuat, katakanlah UU No.41 tentang Kehutanan tahun 1999, serta PP No.34 tahun 2002 tentang penataan hutan perencanaan hutan dan pemanfaatan hutan, sebagai turunan dari UU No.41/1999, lebih banyak di tolak dari padai diterima oleh pemerintah daerah. Kebijakan hukum seperti ini justru tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kehutanan. Penyebabnya adalah karena akar persoalan terletak pada pemerintah sendiri yang memproduksi peraturan tetapi secara nasional peraturan tersebut mengandung unsure konflik (norm conflict). Simak saja pertentangan norma antara UU No.41/1999 dengan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pertentangan kewenangan ini telah membuat pemerintah daerah khususnya daerah otonom Kabupaten bersikap berlebihan dalam memposisikan sumberdaya hutan, dimana hutan masih dianggap sebagai “mesin pencetak uang” yang harus dieksploitasi. Tidak semua daerah seperti ini, ada daerah yang tidak membuat peraturan daerah untuk kepentingan memperoleh pendapatan daerah (PAD) terutama daerah yang sumberdaya hutannya tidak signifikan untuk sumber ekonomi. Peraturan daerah yang berkaitan dengan peredaran hasil kayu yang dibuat oleh pemerintah daerah yang sedang dalam proses yudicial review (uji material) di Mahkamah Agung / Mahkamah Konstitusi banyak sekali.

Kedua, dalam rangka memberi kepastian hukum kepada pengelola hutan setelah pasca reformasi menjadi semakin kacau dan terus dalam tingkatan wacana oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi dan LSM. Paling mencolok dari persoalan ini adalah banyaknya izin HPH di cabut oleh Menteri kehutanan karena melakukan mal-praktik dalam pengusahaan yaitu tidak mampu menjamin kelestarian usaha dan kelestarian hutannya. Sementara itu bagi pengusaha hutan (HPH) yang masih beroperasi tidak dapat melaksanakan semua programnya dengan lancar karena terganggu dan harus melayani tuntutan-tuntutan masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat yang selama ini termarginalkan oleh adanya kebijakan HPH di Indonesia (Awang, 2003; Epiq, 1999). Pertanyaannya kemudian adalah apakah semua tuntutan masyarakat akan property right ini dapat dimasukkan sebagai bahan dasar menuju perubahan kebijakan kehutanan ? Tidak ada kepastian akan hal tersebut, sehingga tidak ada juga kepastian kearah keberhasilan pembangunan kehutanan di Indonesia.

Ketiga, kebijakan pemerintah tentang keinginan mereka melibatkan secara aktif peran masyarakat dalam pengelolaan hutan belum bersifat given, selalu berubah-ubah. Pada tahun 1992 Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan tentang HPH Bina Desa Hutan (BDH) dan dilaksanakan mengalami kegagalan karena campur tangan pemerintah berlebihan yang ditandai dengan pengaturan-pengaturan dan pembatasan-pembatasan isi perencanaan HBD yang berpihak kepada kepentingan pemerintah bukan kepentingan masyarakat. Kemudian muncul kebijakan Hutan Kemasyarakatan melalui SK Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1996, lalu dirubah lagi dengan SK Menteri Kehutanan No.677/Kpts-II/1998 tentang Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan, dan kemudian di revisi lagi melalui SK Menteri Kehutanan no.865/Kpts-II/1999 dan nomor 31/Kpts-II/2001 tentang penyelenggaraan HKm. Hasil studi evaluasi HKm menunjukkan bahwa program HKm yang didukung oleh sebagian LSM ini dinyatakan selesai dalam hal sosialisasi, dan masih dalam persoalan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kelembagaan HKm yang harus tidak lagi sentralistik, program HKm harus mengikuti semangat politik lokal yang desentralistik (Capable,2002). Kesimpulan studi seperti ini kelihatannya hanya menekankan kepada persoalan kelembagaan saja, padahal persoalan HKm hanya sebagian kecil saja yang terkait dengan kelembagaan. Persoalan paling dasar dari HKm adalah yang berkaitan hak-hak masyarakat dalam program tersebut tidak terlihat mendapat kajian dalam studi tersebut. Bias dari studi ini terletak pada sample studi yang didasarkan kepada pilihan purposive dan formatnya mengikuti pikiran positivistic pemerintah saja, sementara perspektif masyarakat tidak dilihat secara dalam. Kiranya untuk pembanding diperlukan studi atau evaluasi HKm dari perspektif teori kritis yang lebih emansipatoris sifatnya. Pertanyaan sederhana dapat dimunculkan dalam kajian HKM yaitu, bagaimana dengan status hukum lahan HKm menurut masyarakat?

Dari ketiga masalah dasar dalam pembangunan hutan dan kehutanan di Indonesia saat ini, maka sangat perlu membuat perubahan kebijakan kehutanan yang secara prinsip mampu berfungsi sebagai leverage (pengungkit) sehingga semua bottle neck dapat diselesaikan. Namun demikian tulisan ini tidak berpretensi dengan kebijakan kecil lalu semua soal akan selesai dalam waktu dekat dan cepat. Fokus policy yang diajukan dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan property right atas system-sistem tata aturan lahan hutan di era otonomi daerah. Setelah tata pertanahan hutan menjadi jelas maka pola-pola menajemen dan pemanfaatan kelola ruang hutannya menjadi lebih jelas, yang kemudian berdampak kepada system kelembagaan pengurusan sumberdaya hutan di Indonesia (termasuk di dalamnya posisi HPH, BUMN, HKm, social forestry, dll).

Bahan Bacaan

  • Jones,C.O. Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
  • Cubbage, F.W; O’Laughlin, J and Bullock III, C.S. Forest Resource Policy. New York: John Wiley & Sons, Inc, 1993
  • Putra, F. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
  • Awang, S. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana-CCSS, 2003.
  • Epiq. Dialog Kebijakan Pembangunan Kehutanan. Proceeding and Background Paper. Jakarta: NRMP, 1999.
  • Hardiman, F. Budi. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik, dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 1993

Download Full Artikel : perubahankebijakanlahanhutanindonesia.pdf

Post a comment