Penegakan Hukum Dan Perubahan Pemikiran Sistem Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Tengah

Secara keseluruhan Indonesia saat ini mengalami berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan bernegara dan berbangsa. Masalah-masalah yang ada secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik, adalah hasil dari sesuatu yang bersifat akumulatif yang berlarut-larut, dan sangat sulit melacak akar masalahnya. Masalah sosial politik dan budaya ditandai dengan munculnya berbagai gejala dan praktik kehidupan yang saling curiga, saling menyalahkan, dan saling tidak percaya satu sama lain, serta pertentangan etnik dan agama. Berbagai macam pula faktor penyebab yang menimbulkan hal-hal tersebut di atas. Setiap daerah memiliki masalahnya sendiri-sendiri, yang biasanya berbeda pula dengan masalah yang dihadapi oleh pemerintah pusat. Sangat umum dijumpai bahwa masalah yang dihadapi oleh pemerintah pusat ternyata berbeda sekali dengan masalah dan agenda-agenda yang dihadapi dan diinginkan oleh masyarakat dan pemerintah di daerah.

Di daerah semua masalah tumpah disana, mulai dari kemiskinan, ketidak berdayaan ekonomi, powerless, akses dan asset pada sumberdaya alam dan produksi yang terbatas, dan peluang kerja yang terbatas. Masalah di daerah muncul sangat sering dipicu oleh beberapa hal antara lain: (1) ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam antara pusat dan daerah, (2) pembagian hasil sumberdaya alam (hutan) antara pusat dan daerah yang belum berkeadilan, khususnya bagi daerah-daerah yang kaya sumberdaya alam, dan (3) secara tidak sadar pendekatan pemanfaatan sumberdaya alam (hutan) yang sentralistik telah “meminggirkan” hak sosial budaya, politik, dan ekonomi masyarakat sekitar dan dalam hutan, sehingga menimbulkan keresahan berkepanjangan. Masalah-masalah tersebut tetap berlangsung sejak dulu sampai sekarang ini.

Penebangan kayu liar (illegal logging) adalah salah satu persoalan nasional dan internasional yang dirasakan oleh negara-negara berkembang. Contoh penebangan liar mendapat sorotan dunia adalah dengan dimasukkan butir illegal logging dalam retsrukturisasi fundamental ekonomi pada kesepakatan Indonesia dan IMF dalam letter of intent pertama (LOI -I). Sebab menurut berbagai analisis ekonomi mengatakan bahwa pemerintah telah banyak dirugikan terutama dari segi pajaknya akibat penebangan liar tersebut. Penebangan hutan secara liar tersebut terjadi di seluruh daerah di Indonesia, baik di kawasan hutan produksi yang dikuasai oleh pemegang HPH, hutan lindung, maupun di kawasan hutan konservasi. Bagaimana mengatasi penebangan liar tersebut bukanlah suatu tindakan yang sederhana dan mudah, karena memang pencurian kayu berdimensi komplek dan melibatkan banyak pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan dan hak-hak generasi yang akan datang.

Kerusakan hutan sebagai akibat dari penebangan liar, khususnya yang terjadi di Sulawesi tengah dan daerah-daerah kabupaten seperti Poso., Toli-toli, dan Donggala, sama kejadiannya dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Penebangan hutan secara liar tersebut disebabkan antara lain oleh:

  1. tidak seimbangnya supply – demand kayu sebagai akibat dari industri kehutanan yang tidak tertata dengan baik;
  2. izin pembukaan industri menengah perkayuan tidak mempertimbangkan pasok sumberdaya kayu yang ada di hutan;
  3. fokus industri hasil hutan hanya pada kayu saja, dan mengecilkan arti bisnis hasil hutan non-kayu;
  4. pemikiran dari departemen kehutanan bahwa satu-satunya nilai hutan yang paling cepat hasilnya adalah dari kayu, dan nilai hutan lainnya belum dihitung dengan cermat;
  5. ulah pemegang modal untuk memperoleh kayu, tetapi tidak ingin mengikuti prosedur yang benar;
  6. kemiskinan penduduk desa yang ada disekitar kawasan hutan;
  7. masyarakat meniru cara-cara pengusahaan hutan yang ada di sekitar kehidupan mereka

Kerusakan hutan yang awalnya terjadi di kawasan hutan produksi, saat ini sudah merambat secara serius ke dalam akwasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi. Kawasan cagar Alam, Cagar biosfer, wisata alam, hutan lindung, dana kawasan Taman Nasional, sekarang ini mengalami kerusakan sereius di berbagai tempat seperti TN Leuser, Wanggameti, Kerinci Sebelat, Bukit barisan Selatan, TN Lore Lkindu, Cagar Alam Morowali, TN Kutai, dan lain-lain. Cara pandang para pencuri kayu di hutan konservasi adalah sebagai akibat dari semakin sedikitnya potensi hutan di kawasan hutan produksi karena pengelolaan oleh HPH tidak mampu membuktikan kelestarian sumberdaya hutannya tercapai.

Masalah illegal logging di Sulawesi Tengah merupakan dampak dari berbagai macam kekecewaan atas cara-cara pengelolaan hutan yang ada selama ini. Hutan di kelola selama ini dengan fokus kepada bisnis tentang kayu saja. Ketika kayu mulai habis di lawasan hutan produksi, maka para pengguna kayu harus mencari alternatif di kawasan hutan konservasi. Pencurian kayu di Taman nasional Lorelindu adalah salah satu contoh dari dampak tersebut. Dalam jangka panjang orientasi pengelolaan hutan jangan lagi ke timber based, tetapi lebih ke ekosistem based. Terbukti bahwa nilai hutan itu hanya kurang dari 5% dari nilai hutan secara keseluruhan. Ke depan bisnis hasil hutan non kayu jauh lebih prospektif di banding dengan bisnis kayu saja.

Daftar Bacaan

Manurung, EGT, 2001. Bahan Ekspose The State of the Indonesian Forest Report (SoFR). Bogor.
Awang, S. 2001. Otonomi Daerah. Proseding Pertemuan Reguler V FKKM. Bandar Lampung, 23-25 Januari 2001

Download Full Artikel : penegakanhukumdanperubahanpemikiran.pdf

Post a comment