Pembelajaran Dari Kemitraan PHBM

Luas hutan negara yang dikelola oleh Perhutani sekitar 2.926.949 Ha, yang terdiri dari 1.811.814 berupa hutan produksi, hutan lindung 627.937 Ha dan 442.198 berupa hutan konservasi. Menurut data dari Departemen Kehutanan dan Perhutani pada tahun 2002, lahan hutan yang paling kritis dalam kawasan hutan produksi ada 170.130 ha (12,65%), di kawasan hutan lindung ada 191.200 ha (6,53%) dan 68,375 ha ada di hutan konservasi atau 2,34% (Foretika, April 2004, Yogyakarta).

Lahan hutan yang kritis itu disebabkan oleh penanaman hutan yang tidak berhasil, lahan hutan diklaim oleh rakyat atau masyarakat dan tentu juga oleh karena kejadian penjarahan sehingga hutan menjadi rusak. Seperti telah diketahui oleh public bahwa ada sekitar 8.182.280 pohon hilang akibat illegal logging yang terjadi di Propinsi Jawa Tengah selama tahun 1998-2003, yang setara dengan nilai Rp1,477 triliun ( Bisnis Indonesia, 2003). Akar persoalan dari kerusakan hutan di Jawa setelah tahun 1998 harus diketahui dan dalam waktu yang sama harus dicarikan cara-cara memecahkan masalah tersebut secara tepat.

Semangat desentralisasi berdampak pada kebijakan Perhutani dalam upaya mencapai tujuan dengan mengubah strategi utama mereka, seperti Perhutani akan membuka kesempatan bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan penghasilan yang lebih dari hutan, pendapatan bagi pemerintah lokal dan pelaku lain yang ikut berpartisipasi dalam melakukan kontrol dan mengelolan hutan negara secara bersama-sama. Ini benar-benar merupakan sebuah perspektif baru dalam konteks pelaksanaan pengelolaan hutan Jawa. Dengan pendekatan baru ini, posisi Perhutani adalah sebagai satu-satunya “pemegang dan pemain” tunggal dalam pengelolaan hutan di Jawa. Multistakeholder dan kerangka berfikir multistakeholder menjadi pilihan yang tepat untuk mengkontrol, memanfaatkan, dan mengelola hutan di Jawa pada masa yang akan datang.

PHBM yang dijalankan oleh Perhutani sejak 2001 berdasarkan pada keputusan Dewan Pegawas No 136/Kpts/DIR/2001 sebagai arahan bagaimana keadaan sosial, ekonomi dan lingkungan dapat terintegrasi secara proporsional agar misi dan visi Perhutani dapat tercapai. Tujuan dari PHBM adalah : (1) Meningkatkan rasa tanggung jawab dari Perhutani, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap keberlanjutan sumberdaya hutan, (2) Memperluas peran Perhutani, masyarakat lokal dan aktor lain yang memiliki kepentingan dalam sistem pengelolaan hutan, (3) Membuat semua kegiatan pengelolaan hutan lebih adaptif untuk menjawab dinamika perubahan sosial di pedesaan; (4) Meningkatkan kualitas sumberdaya alam hutan ; (5) Untuk memberi stimulus terhadap meningkatnya pendapatan Perhutani, pendapatan masyarakat desa, pihak-pihak lain yang terkait. Untuk mewujudkan tujuan PHBM tersebut diperlukan penguasaan terhadap data dasar sosial ekonomi dan budaya masyarakat desa, kondisi sumberdaya hutan dan penggunaannya, kondisi organisasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), dan aturan kelembagaan PHBM lainnya.

Untuk merealisasikan pelaksanaan program PHBM yang baik, benar, dan tepat, dibutuhkan studi aksi yang berhubungan dengan isue-isue sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, teknik kehutanan, dan kelembagaan. Mengapa studi aksi ini penting ? karena dari waktu ke waktu setiap ada program sosial di Perhutani selalu muncul hipotetik bahwa ” relasi power antar Perhutani dan organisasi masyarakat desa dalam posisi tidak seimbang, posisi tawar masyarakat rendah, dan dominasi Perhutani sangat kuat”. Hipotesis ini harus disikapi dan dicarikan jalan pemecahan masalahnya. Penelitian aksi partisipatif dipersiapkan oleh tim internasional melalui program Levelling the playing field , sebagai bentuk kolaborasi antara CIRAD-CIFOR-Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Fakultas Kehutanan UGM (untuk Indonesia), serta didukung oleh Perum Perhutani dan PT. MHP Muara Enim Sumatera Selatan. Penelitian aksi kolaboratif ini dilaksanakan pada periode tahun 2004-2007.

Pelajaran penting yang dapat ditarik dari pembelajaran fasilitasi dan pemberdayaan LMDH dalam program PHBM di wilayah kerja Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah adalah sebagai berikut:

  1. Semangat dari program PHBM adalah kesetaraan peran, tugas dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan. Pada tahun 2004 pemahaman tentang PHBM sangat rendah dari pihak masyarakat di 4 desa penelitian maupun pada petugas Perhutani tingkat lapangan. Dari hasil evaluasi dan penilaian kinerja kelestarian PHBM dan diskusi-diskusi dalam fasilitasi, serta pada saat woekshop exit plan dilakukan, diketahui bahwa pemahaman akan kesetaraan dan konsep PHBM sudah lebih baik. Pengurus LMDH, petani, organisasi sosial lainnya dan staf serta pejabat Perhutani, sekarang dapat berbicara dalam satu forum yang lebih demokratis, bebas mengeluarkan pendapat dan mampu memberi usulan-usulan pemecahan masalah tingkat lapangan;
  2. Komunikasi para pihak dalam pengelolaan PHBM sudah sangat baik. Organisasi desa dengan organisasi LMDH sudah saling memahami untuk saling bersinergi guna mensukseskan PHBM;
  3. Sekarang pengurus LMDH sudah memahami proses melakukan penilaian kinerja kelestarian hutan dalam program PHBM. Pengetahuan ini dibangun secara bersama-sama dalam fasilitasi dan trasnfer pengetahuan mengenai penetapan prinsip, kriteria dan indikator seperti apa untuk menentukan kelestarian hutan. Kerena penilaian kinerja pengelolaan PHBM dilakukan oleh masyarakat sendiri, maka mereka paham bagaimana menyelesaikan kekurangan pengelolaan yang ada;
  4. Pengurus LMDH dan anggota LMDH sudah dapat memahami cara inventarisasi, perencanaan, pengelolaan uang LMDH. Pengurus LMDH sudah sangat paham siapa saja masyarakat yang telah menjadi anggota LMDH. Rumusan Visi dan Misi menjadi acuan dalam pengembangan PHBM di desa masing-masing;
  5. Koordinasi dan komunikasi internal LMDH sudah berjalan baik, tetapi koordinasi eksternal dengan Forum Komunikasi Kecamatan dan Kabupaten, masih belum berjalan dengan baik. Secara tegas dapat dikatakan bahwa koordinasi dengan FK PHBM tingkat Kecamatan dan Kabupaten tidak berjalan;
  6. Mengingat peran, hak dan kewajiban para pihak sudah jelas dalam program PHBM, maka pengurus LMDH tidak lagi merasa kesulitan dalam melakukan langkah-langkah negosiasi dalam memperjuangkan kepentingan hutan dan anggota LMDH kepada pihak pimpinan Perhutani. Keterbukaan para pihak dalam bernegosiasi diakui sebagai hasil dari fasilitasi tim LPF. Masyarakat berhasil menegosiasi Perhutani dalam hal pengembangan usaha yang antara lain: perbaikan jarak tanam tanaman kehutanan, penentuan jenis tanaman palawija yang di tanam, jenis tanaman produktif non kayu (tebu), sengon, sistem bagi hasil dengan pihak ketiga diputuskan berdasarkan hasil musyawarah dan negosiasi para pihak yang terkait.
  7. Muncul jiwa kewirausahaan dari kelompok LMDH. Hal ini ditandai oleh penyediaan dana dalam alokasi dana bagi hasil yang diperuntukkan guna pengembangan usaha-usaha produktif anggota LMDH pada khususnya dan masyarakat desa pada umumnya. Disamping itu ada beberapa kelompok LMDH di Pemalang yang berhasil mengembangkan kerjasama dengan pihak ke tiga dalam kegiatan penanaman sengon.
  8. Pembelajaran penting lainnya adalah bahwa pengurus dan anggota LMDH sekarang sudah berhasil memahami betapa pentingnya mengatur organisasi melalui cara-cara yang benar. Semua keputusan penting telah ditetapkan dalam ART dan disyahkan dalam rapat pengurus LMDH. Demikian pula halnya beberapa LMDH sudah melaksanakan pergantian Pimpinan LMDH, dalam rangka menyehatkan organisasi LMDH tersebut.

Download Full Artikel : pembelajarandarikemitraanphbm.pdf

Post a comment