Otonomi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Kebijakan Antar Level Dan Tafsir Yang Beragam

Pengelolaan sumberdaya hutan (PSDH) sejak terjadi pergantian kekuasaan pemerintah dari orde baru ke orde reformasi tahun 1998 dituntut harus mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman dan dinamika sosial ekonomi, budaya dan politik baik di tingkat nasional maupun tingkat lokal daerah. Gerakan reformasi tersebut telah benar-benar mampu merubah bangsa dan rakyat Indonesia menjadi suatu negara yang demokratis dan bebas menyatakan pendapat secara terbuka bagi masyarakatnya. Namun sangat disayangkan bahwa kebebasan tersebut telah diartikan kurang tepat oleh sebagian masyarakat Indonesia, sehingga telah menimbulkan prilaku kurang terpuji dan kehilangan substansi dan makna “perubahan” yang dicita-citakan dalam gerakan reformasi tersebut. Disisi yang lain reformasi juga belum dilakukan oleh sebagian besar institusi pemerintah dan para birokrat pelaku-pelaku pembangunan di negeri ini. Indikatornya adalah KKN masih terjadi disemua lini kehidupan, keluhan masyarakat akibat kebijakan pemerintah terus mengemuka, dan para politisi di DPR dan DPRD yang belum menjalankan aspirasi para pendukungnya, bahkan timbul gejala di banyak daerah oknum DPRD memposisikan dirinya sebagai kelompok yang “ikut-ikutan” mencari proyek di lembaga pemerintah. Contoh paling akhir apa yang kita dengar dan lihat di Sumatera Utara, dimana seorang anggota DPRD pergi kekantor dewan dengan memakai jas dan CELANA PENDEK, sebagai bentuk protes kepada rekan-rekan anggota DPRD yang hanya memperjuangkan diri sendiri bukan memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, termasuk protes tentang kerusakan hutan yang tidak mendapat perhatian dari sebagian besar anggota DPRD Sumatera Utara. Kasus ini hanya satu POTRET masalah serius yang dihadapi oleh kualitas SDM bangsa, kualitas moral, dan pertanggungjawaban moral seorang politisi kepada konstituennya. Masih banyak kejadian serupa dapat di simak di daerah lainnya di Indonesia.

Otonomi pengelolaan sumberdaya hutan (Otoda PSDH) adalah konsekuensi dari keputusan politik nasional yang dituangkan dalam UU No.22/99 dan UU.No.25/99. Keputusan politik ini sebagai upaya merespon kemauan politik masyarakat yang ingin keluar dari satu situasi dimana “bias pembodohan pusat terhadap daerah” selama era orde baru harus segera dihentikan. Apabila situasi “politik reform” ini tidak direspon maka akan terjadi satu keadaan dimana pemerintah pusat harus menghadapi gerakan disintegrasi yang semakin banyak dan meluas, sebagai akibat dari perlakuan yang tidak adil kepada daerah-daerah, khususnya daerah yang kaya akan sumberdaya alamnya. Dalam kasus sumberdaya hutan, masyarakat dan pemerintah daerah sudah sangat menderita selama lebih dari 30 tahun rezim Orba, dimana semua kekuasaan peruntukan dan pemanfaatan SDH berada di tangan pemerintah piusat, sementara yang menerima dampak negatif seperti kekeringan, kebakaran hutan, hilangnya hak masyarakat hukum adat dan kebanjiran, serta punahnya berbagai macam ragam plasma nutfah, semuanya dirasakan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Demikian pula halnya dengan ber bagai macam penetapan kawasan hutan Taman Nasional (TN) dan kawasan hutan Cagar Alam (CA) sangat tidak memperhatikan kepentingan lokal, tetapi selalu mempertimbangkan kepentingan internasional, yang notabenenya adalah bersembunyi pada gerakan kapitalisme internasional itu. Seberapa jauh kita dapat menelaah gerakan-gerakan anti-rakyat di dalam pembentukan Cagar Alam dan Taman nasional di Indonesia.

Dengan berbagai macam kepentingan dan tarik menarik kepentingan ekonomi, sosial, dan poltik terhadap SDH, maka ketika agenda “seksi” otoda PSDH akan digagas oleh banyak pemerintah daerah muncul reaksi dari pihak Departemen Kehutanan dan dari PARA RIMBAWAN konvensional yang dengan segala macam cara untuk tidak RELA otonomi tersebut dijalankan. Ada agenda apa sebenarnya dibalik semua penolakan pelaksanaan otoda PSDH dan bersemangatnya pemerintah daerah ingin melaksanakan Otoda PSDH.

Uraian tentang tafsir otoda PSDH lebih ditekankan kepada uraian mengenai opini yang berkembang dari masing-masing aktor yang terkait dan punya kaitan dengan sumberdaya hutan dan kegiatan kehutanan. Kita tidak akan dapat menyelesaikan masalah besar dalam otoda PSDH jika kita terus “berkelahi dan bertempur” satu sama lain, tanpa melihat dan memahami betul akar persoalannya.

Akar persoalan terletak pada kerelaan, keihklasan, kepercayaan, dan kemampuan profesionalitas dari SDM yang ada di Indonesia. Peraturan UU seperti UU No.41/99 dan UU. No.22/99 adalah buatan manusia yang ketika membuatnya tidak dapat melepaskan diri dari kepentingan golongan dan kelompok, dan tentu harapan-harapan sebagai manusia normal untu lebih baik lagi menata kepentingan masyarakat dan bangsa pada masa yang akan datang. Namun demikia semua menyadari bahwa bangsa ini belum memiliki pengalaman dalan berotonomi. Jadi kesalahan dan kekurangan adalah hal yang biasa dan tentu harus segera diperbaiki agar sesuia dengan fakta-fakta sosial budaya dan politik yang berjalan.

Karena itu, jika semua tafsir yang disampaikan di atas itu benar, maka hanya dengan keikhlasan dan kepercayaan saja kita dapat menyatukan pandangan dan persepsi menuju otonomi PSDH yang sesungguhnya, dan demi mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia umunya dan khususnya yang terkait dengan sumberdaya hutan. Pertemuan regional se Sumatera diharapkan dapat menjadi contoh bagi daerah lainnya, dapat menjadi penggerak pengambil inisiatif untuk dimulainya dialog intensif antara berbagai level pemerintahan dan masyarakat tentang otoda PSDH. Persoalan berat yang akan dihadapi oleh pulau sumatera saat ini dan yang akan datang adalah persoalan masyarakat dengan Taman Nasional dan Cagar Alam, sebab hutan produksi yang dikelola oleh HPH sudah habis. Dapatkah kesadaran kolektif pulau Sumatera dimulai dan dibangkitkan ?

Daftar Bacaan

  • Awang, S, dkk (eds). 2001. Otonomi Sumberdaya Hutan. Proseding Pertemuan reguler V, FKKM, Bandar Lampung 23-25 Januari 2001, Yogyakarta.
  • Awang, S. 2000. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Jurnal Hutan Rakyat, Pusat Kajian Hutan Rakyat, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
  • Budiardjo, M. 1999. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta.
  • Chamber, R. 1993. Rural Development- Putting the Last First. Longman Scientific & Technical. New York
  • Giddens, Anthony. 1993. Sociology. Polity Press, UK.
  • Soltau, Roger H. 1961. An Introduction to Politics. London: Longman, Green & Co.
  • Simon, H. 1999, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Cooperative Forest Management). Bayu Grafika, Yogyakarta.
  • Wolf, E.R. 1985. Petani : Suatu Tinjauan Antropologis. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta

Download Full Artikel : otonomipengelolaansumberdayahutan.pdf

Post a comment