Kehutanan Sosial Berbasis Reforma Agraria

1

Paling sedikit ada 2 tahapan konstruksi pengetahuan pembangunan dan pengelolaan hutan di dunia dan Indonesia, yaitu pengetahuan kehutanan konvensional dan kehutanan sosial. Pengetahuan kehutanan konvensional melihat hutan sangat ekstrim yaitu hanya fokus pada “kayu” dan atau “konservasi alam” saja. Sementara itu pengetahuan kehutanan sosial berusaha menyeimbangkan manfaat dan fungsi-fungsi hutan untuk perlindungan, konservasi, sosial dan ekonomi. Kedua pengetahuan tersebut memang berbeda dari aspek ontologi (hakikat pengetahuan) dan epistemologi (bagaimana pengetahuan kehutanan terbentuk) . Pengetahuan konvensional ontologinya berbasis pada flora, fauna dan ekosistemnya. Pengetahuan kehutanan sosial ontologinya berbasis pada flora, fauna, manusia, dan ekologi (lingkungan).

Jika dikaitkan dengan persoalan reforma (pembaharuan) agraria, maka ontologi kehutanan konvensional tidak akan mampu mengakomodir kepentingan sosial budaya masyarakat. Di duga dengan amat sangat kuat bahwa pengetahuan kehutanan sosial menjadi pintu masuk dari penataan dan pendistribusiaan lahan hutan untuk kemakmuran masyarakat. Gerakan sosial di Indonesia yang memperjuangkan pemerataan pemilikan lahan, utamanya untuk para petani yang tertindas dan terampas hak-hak atas hidup layak sebagai petani, terus berlanjut sejak zaman kolonial sampai sekarang ini. Distribusi lahan negara kepada rakyat dalam pelaksanaannya menjadi sangat sulit karena adanya hak menguasai negara dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tidak mudah untuk diterapkan, karea adanya kepentingan ekonomi global dan pemerintah yang kurang berpihak kepada rakyat. Kebutuhan lahan pertanian dan lahan hutan yang dikuasai oleh negara menyebabkan “benturan sosial” yang serius di tingkat lapangan, dan menjadi sulit ketika program kehutanan sosial (social forestry) dan gagasan kehutanan masyarakat (community forestry) diterapkan dalam pengelolaan hutan yang pro rakyat.

Dalam payung paradigmatik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (community based forest management) yang menjamin demokrasi, keadilan, keseriusan keterbukaan, anti korupsi, dan kesejahteraan masyarakat, maka kegiatan pembaruan (reforma) agraria dan pengelolaan sumberdaya alam akan dapat dilaksanakan secara bertahap. Artinya antara paradigm kehutanan sosial dengan reforma agrarian, seharusnya memiliki keterkaitan sangat kuat, dan atas dasar reforma agrarian tersebut maka paradigm kehutanan sosial akan dapat dikembangkan dengan baik dan sempurna.

Paradigma kehutanan sosial tahap dua harus dilaksanakan dalam bingkai pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Pelaksanaan kehutanan sosial tahap 1 dapat dikatakan gagal karena persoalan agrarianya tidak terselesaikan dengan baik. Dengan menerapkan spirit yang ada dalam TAP MPR No.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam sebagai syarat mutlak dekonstruksi paradigma kehutanan sosial, maka cita-cita semua pihak menjadikan pengelolaan hutan sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa akan tercapai. Tanpa menerapkan prinsip-prinsip pembaruan agrarian dan pengelolaan sumberdaya hutan tersebut, maka semua program yang dibangun pemerintah seperti PHBM, HTI, HTR, HKm, HD, dan kemitraan / kolaborasi lainnya, pasti akan mengalami kegagalan untuk kesekian kalinya. Sampai kapan cerita kegagalan pembangunan sumberdaya alam hutan akan terus berlangsung di Indonesia ini. Semoga tuilisan ini mampu menggugah kita semua untuk berlomba-lomba berusaha melakukan perbaikan atas kehancuran hutan, memberantas kemiskinan, dan menciptakan keadilan bagi masyarakat.

Download Full Artikel : KehutananSosialBerbasisReformaAgraria.pdf

Comments (1)

Setuju pak, mudah-mudahan bisa tercapai..

Post a comment