Eksisitensi Negara Dan Rakyat Atas Konflik Sumberdaya Hutan

Memasuki abad 21 sektor kehutanan Indonesia mendapat tantangan besar yang berasal dari perubahan model pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik.. Pengelolaan sumberdaya hutan (PSDH) yang dilaksanakan selama ini misalnya melalui Perusahaan Umum (Perum), BUMN, dan BUMS (HPH) telah menghasilkan 3 masalah besar yaitu: (1) meningkatnya kerusakan hutan secara sistematis; (2) kurangnya penerapan profesionalisme rimbawan; dan (3) dehumanisasi penduduk lokal, karena kehilangan wilayah kelola dan labensraum masyarakat dan pemerintah daerah. Karena itu pendekatan sentralistik tersebut perlu ditinjau ulang kebijakannya, dan kemudian difikirkan cara-cara baru yang lebih adil, lestari dan demokratis.

Dampak pemanfaatan SDH seperti di atas mendapat sorotan tajam dan kritis dari pemerhati lingkungan dan pemerhati kehutanan, dan walaupun mereka sepakat bahwa SDH harus tetap dipertahankan keberadaannya, tetapi timbul pertanyaan siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab terhadap kerusakan SDH tersebut?. Pertanyaan ini sangat tidak disukai oleh para pemangku dan pengusaha hutan. Sementara itu sebagian besar pemerintah daerah sepakat agar keberadaan SDH tersebut tidak lagi diurus oleh badan atau lembaga yang JAUH dari hutannya. Dengan kata lain pengurusan dan pengelolaan SDH perlu memikirkan kepentingan nasional dan regional, tetapi memberikan peranan yang besar kepada pemerintah daerah dan masyarakat secara langsung.. Era Otonomi daerah jangan dianggap SEPELE dan acuh tak acuh oleh aparatur yang berada di pusat Jakarta, sebab jika salah mengatur dan mengurusnya maka hal tersebut akan memicu disintegrasi bangsa dan kerusakan hutan akan semakin parah. Hal ini sudah terbukti di banyak tempat di Jawa dan luar Jawa.

Merubah pandangan dari sentralistik menjadi desentralistik tentu memerlukan waktu dan kesiapan mental semua pihak untuk melaksanakannya. Sektor kehutanan dan pertambangan adalah sektor yang terus menjadi PEREBUTAN pihak pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mengingat dua sektor ini dapat dikatakan sebagai LUMBUNG UANG. Masih benarkah pandangan seperti ini dikenakan kepada hutan Indonesia yang kerusakannya mencapai 2,0 juta ha pertahun ?. Hal tersebut terbukti dari pernyataan Pemerintah saat ini yang menyatakan bahwa dalam jangka pendek tetap mengutama kan pendapatan negara berasal dari pajak, bantuan luar negeri dan sumberdaya alam (hutan). Hal yang sangat menarik untuk dicermati adalah pemikiran yang berkembang di daerah-daerah tentang pengelolaan SDH. Sebagian besar pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten) memerlukan SDH salah satunya sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) dan sebagian kecil menganggap bahwa memperoleh PAD bukan sebagai tujuan utama dan utamanya adalah menjaga lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup disekitar hutan. Pikiran pemerintah daerah tidak keliru sebab mereka hanya menjalankan sebuah konsekuensi logis dari otonomi daerah, yang memang memerlukan dana besar jika ingin tetap disebut sebagai daerah Kabupaten. Jika tidak mampu maka Kabupaten tersebut harus di gabung dengan Kabupaten yang lebih mampu membiayai diri sendiri. Kekhawatiran sebagian orang adalah bahwa pengurusan hutan oleh pemerintah pusat, propinsi, dan Kabupaten, tetap saja tidak mampu mengembalikan kelestarian hutannya. Bagaimana nasib anak cucu kita ?

Bagi masyarakat di pedesaan, khususnya yang hidup disekitar hutan di seluruh Indonesia, siapapun yang mengatur hutan (pusat atau daerah) tidaklah menjadi soal prinsipil. Bagi mereka yang lebih utama adalah pengurusan dan pengelolaan SDH itu mampu menjamin akses ekonomi, politik, dan akses sosial budaya secara berkelanjutan. Dengan kata yang paling singkat dapat dirumuskan bahwa kehendak masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya hutan (PSDH) adalah menuntut demokratisasi pengurusan dan penyelenggaraan PSDH tersebut sampai tingkat devolusi masyarakat. Pengurusan dan penyelenggaraan PSDH sampai sekarang ini belum sesuai dengan kehendak masyarakat tersebut, sebab penyerahan pengusahaan kepada Perusahaan Umum Negara (BUMN) dan kepada HPH (BUMS) ternyata sangat bersifat sentralistik dan jauh dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan mendasar dalam PSDH di seluruh Indonesia. Gagasan tentang PSDH-BM adalah alternatif penyelesaiaan konflik sumberdaya hutan.

Ada dua kemungkinan PSDH-BM yaitu: (1) memberi ruang kelola secara luas kepada kelompok masyarakat untuk mengelola hutan bersama pemerintah (BUMN / BUMD) (Co-management); dan (2) pengakuan hak pengelolaan hutan secara langsung oleh kelompok masyarakat melalu BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat), setara dengan hak pengelolaan oleh BUMN / BUMD /BUMS.

Ada dua hal penting yang menyebabkan keniscayaan perubahan system PSDH di Indonesia yaitu : (1) keberadaan UU No. 22/99 dan UU No.25/99; yang harus direspon secara positif dan cepat oleh pihak Departemen Kehutanan, dan (2) belum terselesaikannya masalah tekanan penduduk terhadap sumberdaya hutan (penjarahan hutan, konflik kepentingan para pihak terhadap hutan, kemiskinan, konflik dengan masyarakat hukum adat, lemahnya partisipasi, lemahnya penegakan hukum, dan lembaga lokal yang kurang berfungsi, dan lain-lain).

Download Full Artikel : eksisitensinegaradanrakyat.pdf

Daftar Bacaan

  • Awang, S. 2000. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Jurnal Hutan Rakyat, Pusat Kajian Hutan Rakyat, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
  • Awang, S. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana, Yogyakarta Budiardjo, M. 1999. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta.
  • Chamber, R. 1993. Rural Development- Putting the Last First. Longman Scientific & Technical. New York Giddens,
  • Anthony. 1993. Sociology. Polity Press, UK.
  • Soltau, Roger H. 1961. An Introduction to Politics. London: Longman, Green & Co.
  • Simon, H. 1999, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Cooperative Forest Management). Bayu Grafika, Yogyakarta.
  • Wolf, E.R. 1985. Petani : Suatu Tinjauan Antropologis. Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta

Post a comment