Dekonstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lampung

Propinsi lampung dapat diumpamakan seperti gadis cantik yang seksi atau pemuda yang banyak dilirik orang. Lampung itu “seksi” bukan baru akhir-akhir ini saja, tetapi jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia ini diproklamasikan. Lihatlah kebelakang sejenak pada tahun 1905 dimana pemerintah Hindia Belanda sangat berkeinginan membangun Lampung untuk dijadikan pusat perkebunan kopi dan pertanian pangan. Caranya dengan membuat program kolonisasi penduduk dari Pulau Jawa ke Lampung. Hal itu merupakan episode pertama lampung menjadi “perebutan” oleh pihak-pihak yang membutuhkan sumberdaya lahan. Pada episode pertama ini, kehadiran penduduk “Jawa Bagelen” atas kehendak pemerintah Hindia Belanda, dan untuk kepentingan Belanda. Penduduk Jawa datang ke Lampung karena alasan banyak penduduk miskin di desa-desa Bagelen Jawa tengah. Jadi pemicunya adalah ketersediaan lahan dan kemiskinan. Penduduk miskin di bagelen ini tidak hanya di kolonisasi ke lampung, tetapi juga dikirim ke Pulau Muna Sulawesi Tenggara untuk membangun tanaman hutan jati di pulau tersebut., dan bahkan ke negara Fiji, Suriname, serta beberapa negara di pasifik Selatan. “Seksi” nya Lampung ternyata berkepanjangan dan berlanjut sampai saat sekarang ini.

Episode kedua dari “perebutan” lahan di lampung berkembang terus baik melalui program-program transmigrasi sistematis maupun transmigrasi spontan dari Sumatera dan Jawa. Program transmigrasi sistematis jelas melalui perencanaan yang ketat, tetapi transmigrasi spontan justru telah menimbulkan berbagai masalah sosial budaya ekonomi dan politik, karena lemahnya pengawasan semua pihak dalam masyarakat. Persoalan kemudian adalah munculnya banyak sekali persoalan agraria yang bersifat vertikal antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan pengusaha, dan konflik horizontal antar masyarakat dengan masyarakat. Selama orde baru berkuasa, lahan-lahan hutan banyak yang dirubah fungsinya untuk kegiatan lainnya seperti perkebunan tebu dan sawit, yang diberikan kepada perusahaan yang dekat dengan keluarga pejabat di jakarta.

Di era orba, Propinsi lampung dilihat semakin seksi oleh kelompok-kelompok pemodal, sehingga pertarungan kepentingan akan lahan semakin tinggi dan ketat di daerah ini. Karena lahan semakin sempit sementara penduduk dalam propinsi terus berkembang dan penduduk pendatang tidak dapat dibendung, maka tidak dapat dihindarkan muncul korban-korban dalam pembangunan. Disini korban sumberdaya alam hutan tidak dapat dihindarkan, baik untuk kepentingan pertanian dan perkebunan masyarakat maupun hutan dibongkar fungsinya untuk kepentingan produksi dan tentu dengan mengorbankan kepentingan lingkungan. Kerusakan sumberdaya hutan di lampung sudah mencapai lebih dari 70% dari total luas hutan sekitar 1.24 juta ha. Kerusakan fisik hutan alam terjadi di semua fungsi hutan produksi, hutan lindung, hutan marga satwa, dan taman nasional (lebih dari 40%). Kondisi fisik tersebut akan terus mengalami kemunduran jika tidak ada upaya-upaya sistematis dari semua pihak. Kita yakin sepenuhnya bahwa kelestarian hutan tidak mungkin dikerjakan hanya oleh departemen kehutanan, sebab apa yang terjadi tentang hutan di lampung sekarang ini adalah akibat dari kebijakan pembangunan hutan pada masa lalu. Kiranya ke depan perlu sekali melakukan restrukturisasi konsep dan kebijakan yang radikal pembangunan sumberdaya hutan di Lampung.

Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan fisik kawasan hutan di Propinsi lampung antara lain:

  1. pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Pada awal tahun 1980 pertumbuhan penduduk di lampung sebesar 5.6% pertahun. Pada waktu itu pertumbuhan penduduk nasional hanya 2.9 ha per tahun. Laju pertumbuhan itu sesungguhnya berasal dari penduduk transmigrasi Jawa, NTB dan Bali (3.5%) dan pertumbuhan di dalam masyarakat Lampung sendiri sekitar 2.4% per tahun;
  2. Pertumbuhan penduduk yang tinggi itu diikuti dengan peningkatan kebutuhan penduduk akan lahan untuk kegiatan pertanian, pemukiman dan perkebunan. Hutan-hutan konversi digunakan untuk kepentingan transmigrasi tersebut;
  3. Sampai sekitar akhir tahun 1979 kegiatan transmigrasi reguler dari Jawa diberhentikan karena tanah sudah semakin langka dan penduduk lampung sendiri sudah harus ditata agar merata antar kabupaten. Dalam ranglka penataan penduduk tersebu maka pada awal tahun 1980-an diciptakan satu program transmigrasi lokal dari Kabupaten Lampung Selatan ke lampung Utara. Penduduk yang dipindahkan tersebut umumnya penduduk etnik, Jawa, sunda, Sumatera Selatan, dan penduduk etnik Lampung yang bermukim dalam kawasan hutan produksi, Taman Nasional, dan hutan lindung secara dainggap bermasalah oleh pemerintah;
  4. Pendatang “spontan” tersebut masuk dalam kawasan hutan melalui cara-cara: mendapat izin dari kepala desa dengan membayar sejumlah uang; mengikuti saudaranya yang sudah terlebih dahulu datang di kawasan hutan, mendapat izin tidak resmi dari petugas kehutanan, masuk hutan secara diam-diam dan berkelompok. Petugas kehutanan mengetahui semua itu, tetapi awalnya pura-pura tidak tahu, karena penegakan hukum tidak berjalan;
  5. Koordinasi instansi pemerintah daerah dengan Dinas kehutanan (dephut) tidak baik dalam hal tata ruang, sehingga penempatan lahan untuk investor dan beberapa transmigrasi khusus (trans. Polri) dan percetakan sawah (rawa sragi), yang memanfaatkan kawasan hutan produksi tumpang tindih;
  6. Berubah nya fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan tebu dan perkebunan rakyat lainnya;
  7. TGHK yang dibuat pada awal tahun 1982 tidak secara konsisten diterapkan dan RTRWP juga kurang mendapat pemantauan dalam pelaksanaannya; dan;
  8. Pengawasan masyarakat lokal dan publik secara umum terhadap kegiatan kehutanan tidak berfungsi, karena sistem sangat tertutup dan sentralistik, sehingga memunculkan apatisme dan “perlawanan tersembunyi” dari masyarakat lampung;

Situasi kawasan hutan di atas semakin bertambah parah ketika muncul jargon dari Menteri kehutanan mengenai “forest for people” yang keliru menafsirkan dan populistik, dan desakan reformasi yang tanpa arah. Kesalahan instansi Kehutanan dan oknum aparaturnya masa lalu membuat mereka tidak mampu menjadi panutan bagi masyarakat di era reformasi. Perlawanan rakyat yang merasa selama orba “ditindas dan dimarjinalkan” oleh pihak kehutanan kembali memperoleh momentum untuk terus memasuki kawasan hutan negara. Jika dicermati ada terjadi semacam gerakan “social disobeyed” dan “social banditary” terhadap kawasan hutan negara di lampung khususnya. Ternyata perlawanan tersebut juga terjadi di Jawa dan seluruh Indonesia.

Kawasan hutan lampung sungguh telah menjadi korban dari anggapan bahwa lahan di Lampung murah dan mudah untuk diperoleh. Anggapan ini telah menyebabkan jutaan manusia berbondong-bondong datang ke lampung. Anggapan ini tidak disadari oleh masyarakat lampung dan pemerintah daerah sejak awal karena terlena dengan sumberdaya alam yang melimpah. Kapan titik balik itu terjadi, sesungguhnya ketika kesepakatan politik lokal mengatakan bahwa transmigrasi dari Jawa di berhentikan dan dilanjutkan dengan redistribusi penduduk antar kabupaten melalui program transmigrasi lokal tahun 1980 awal. Saat itu pula pemerintah Lampung menyadari bahwa telah terjadi kelanggkaan lahan, padahal penanaman modal untuk kegiatan perkebunan besar dan industri pertanian belum berkembang.

Sejak tahun 1980 awal itu juga investasi dibuka untuk memanfaatkan lahan, tentu lahan hutan yang sudah jenuh tersebut tetap dipaksakan untuk dikonversi. Sementara rakyat yang ada dalam kawasan hutan lindung “diusir” dan mereka kehilangan asset sumberdaya alam, dan karenanya mereka jatuh miskin. Banyak putra-putra mereka putus sekolah dan terpaksa pergi bekerja ke tanggerang, Bekasi, dan jakarta, menjadi tenaga kerja murah dan tidak trampil. Saat ini pula kemiskinan semakin menjadi di Lampung. Artinya bahwa kebijakan pemerintah dalam bidang kehutanan tempo dulu telah mendorong terpuruknya ekonomi rakyat di pedesaan, khususnya desa-desa sekitar hutan.

Beberapa skenario yang bisa dikembangkan merupakan skenario yang pahit bagi pemerintah, sekalipun itu sangat realistis tetapi diharapkan pemerintah dalam hal ini Departemen kehutanan dapat berbesar hati (legawa) untuk mundur selangkah tetapi menang beberapa langkah pada masa depan demi kelestarian hutan. Masyarakat Lampung secara umum terbiasa menanam tanaman keras dan kearifan seperti ini didorong dan dikembangkan untuk diterapkan di dalam kawasan hutan bersama dengan tanaman kehutanan. Ke depan, khususnya bagi Lampung, definisi hutan dan kawasan hutan memang perlu di redefinisi secara mendasar. Pertanyaannya adalah mana yang lebih penting secara substansial : mempartahankan luas kawasan hutan tetapi hutannya kritis dan tidak berfungsi, atau mempertahankan fungsi hutan dengan membangun kawasan hutan yang keadaan hutannya ditumbuhi oleh tanaman serba guna untuk peningkatan ekonomi kerakyatan ? Mana yang lebih baik dari aspek lingkungan?

Silahkan memilih, karena keduanya memiliki konsekuensi masing-masing. Dekonstruksi kelembagaan yang sudah kami tuangkan dalam beberapa skenario di atas sangat terbuka diperdebatkan oleh semua pihak. Semoga sumbangan pikiran ini ada gunanya.

Download Full Artikel : dekonstruksikelembagaan.pdf

Makalah Pada Seminar Tentang Kebijakan Pengelolaan dan Deforestasi Hutan Lampung, Bandar Lampung 17 MEI 2004

Post a comment