Kehutanan Masyarakat : Konsep, Peluang, Dan Tantangan

Category : Makalah

Bangsa dan negara Indonesia sedang mengalami perubahan saat ini. Perubahan ini bukan tiba-tiba, tetapi telah dimulai sejak tahun 1970 an. Pergolakan politik dalam negeri dan tarik menarik kepentingan antar elit politik, kolaborasi elit politik dan pengusaha, pengusaha dan militer, dan penguasa dengan militer, telah membawa negara Indonesia menjadi sebuah hegemoni elitis yang jauh dari pembelaannya terhadap kepentingan masyarakat banyak. Para aktivis sejak tahun 1970-an sampai 1998 tiada henti melakukan kritik atas hegemoni elitis tersebut di atas. Bacaan para aktivis tentang perlunya “pencerahan peradaban” di Indonesia dipicu oleh munculnya beragam ketidak adilan, ketimpangan, kemiskinan, dominasi ekonomi kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas, munculnya beragam usaha-usaha bisnis yang dikuasai oleh pemerintah untuk kemakmuran pemerintah bukan untuk kemakmuran rakyat, pengalihan asset sumberdaya alam menjadi milik negara / pemerintah, dan merajalelanya liberalisme ekonomi melalui sistem pasar yang hanya akan berpihak kepada pemegang kapital dan pemegang kekuasaan. Konstitusi pasal 33 UUD 45 tinggal slogan kosong dan semakin jauh dari harapan rakyat bahwa pasal tersebut akan mampu sebagai instrumen mewujudkan kesejahteraan bagi sebagian besar masyarakat. Teori penetesan dari pertumbuhan ekonomi telah gagal dan mati di Indonesia (Trickle down effect theory).

Reformasi Indonesia sejak Mei 1998 adalah titik puncak dari keinginan pihak yang ingin segera mewujudkan era demokrasi di Indonesia. Era reformasi telah menghasilkan banyak perubahan sistem politik dan sistem sosial di Indonesia. Namun demikian kemana arah perubahan tersebut tetap menjadi masalah karena masih harus diperdebatkan. Perubahan di sektor pembangunan sumberdaya hutan yang paling mencolok selama era reformasi ini adalah : (1) semangat sentralistik menjadi desentralistik; (2) melemahnya wibawa pemerintah pusat di mata rakyat; (3) munculnya suara demokratis dari rakyat yang menggugat kepemilikan sumberdaya alam yang selama ini dikuasai oleh negara; (4) munculnya keinginan banyak pihak agar pendekatan pengelolaan sumberdaya alam tidak lagi pada “state based” tetapi berubah menjadi “community based”; dan (5) munculnya perlawanan kelompok masyarakat yang selama orde baru tersingkirkan melalui cara-cara gerakan penjarahan hutan secara massive, dll.

Ada 3 tantangan besar untuk menilai apakah paradigma CF / KM benar menurut prinsipnya yaitu :

(1) Masihkah State Based Program?

Dalam konsep dan pelaksanaannya CF harus benar-benar menggambarkan pemberdayaan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan negara dan pemerintah, tetapi untuk kepentingan masyarakat sendiri. Namun demikian, hutan negara yang dikelola oleh organisasi formal dan non formal masyarakat tidak berarti meniadakan peran pemerintah dan Dinas Kehutanan, sebab kuncinya terletak kepada pembagian peran masing-masing stakeholders. Jika ternyata program-program yang mengatas namakan CF atau CBFM ternyata tetap memberikan peluang manfaat kecil kepada masyarakat, maka hal tersebut menunjukkan bahwa CF belum mengenai sasaran konsep. Semangat comm. Based harus tercermin di dalam CF. Mampukah pihak pemerintah melalui Dinas Kehutanan menerima gagasan seperti ini?

(2) Adakah External Capital Akan Menguasai Sistem CF ?

Demikian pula halnya jika di lihat dari aspek kapital investmen. Apakah program CF tidak mengalami bias neo-liberalism, dimana semua aspek ekonomi sumberdaya diserahkan kepada mekanisme pasar, dan membiarkan para pemilik kapital menginvestasikan modalnya pada usaha-usaha CF ? Jika CF menjadi demikian terbuka terhadap investasi luar, maka sangat dikhawtirkan konsep CF justru membuka peluang baru bagi kehancuran ekonomi rakyat desa hutan. Bukankah hal ini sudah terjadi di bandung Selatan, bandung Utara, dataran tinggi Dieng, malang, dan taman nasional ?
Katakanlah dengan model CF “khas Sumatera barat”, peluang invenstor masuk untuk menanam tanaman komersial sangat terbuka, kolaborasi antara Pemerintah Daerah dengan pengusaha sangat besar peluangnya. Bagaimana dengan masyarakatnya ? Jika ini yang terjadi maka paradigmanya telah bergeser dari CF yang community based menjadi CF yang economic based atau market based. Apakah memang hal ini yang diinginkan oleh semua pihak di Sumatera Barat ?

(3) Apakah CF mampu Meningkatkan Jaminan Sosial Masyarakat ?

Jika CF sangat terbuka dengan investor luar, maka kecendrungan economic based memang besar, dan itu artinya bahwa keberlanjutan sumberdaya hutan sulit untuk dipertahankan. Dalam situasi dimana CF dikuasai oleh investor, maka kembali masyarakat menjadi PENONTON dan invenstor menjadi rajanya. Apabila paradigam CF di dalam pelaksanaannya tidak mampu menjamin kesejateraan sosial anggota masyarakatnya, maka tidak ada gunanya jargon CF dipakai di dalam program-program kehutanan. Demikian pula tidak ada gunanya jargon CF khas Sumatera Barat digunakan jika penguasaan modal masih berada di tangan pengusaha.

(4) Kelembagaan CF

Kata kunci dari tiga masalah di atas sebenarnya terletak pada kemampuan masyarakat itu sendiri dalam mengembangkan dan melaksanakan CF secara benar berdasarkan kriteria pada tabel 1 di atas. Sangatlah penting untuk memperkuat organisasi masyarakat pengelola CF agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Hanya dengan institusi sosial yang kuat, peranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat, program CF akan dapat berlangsung dengan baik. Kelembagaan bukan hanya terbatas pada membentuk organisasi masyarakat, tetapi harus lebih menjangkau batas-batas yuridiksi atas lahan, permodalan, dukungan kebijakan, dan pemberdayaan yang demokratis.

Tulisan singkat ini diharapkan dapat dijadikan bahan pemicu diskusi yang lebih produktif oleh semua pihak yang hadir, baik dari pemerintah daerah, anggota DPRD, masyarakat desa, tokoh masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, pengusaha, Dinas Kehutanan, dan Departemen Kehutanan. Pengakuan oleh pemerintah atas inisiatif-inisiatif masyarakat harus dihargai dan diberi tempat sehingga pemerintah yang bertindak sebagai fasilitator mampu memfasilitasi inisiatif-inisiatif CF di dalam kawasan hutan negara. Hanya dengan kesepahaman antar pihak saja, kita dapat menyelamatkan sumberdaya hutan di Sumatera Barat dari kehancuran yang mengerikan. Pada masa yang akan datang, dengan sistem politik lokal yang semakin kuat, diharapkan sumberdaya hutan dapat dikelola oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan organisasi masyarakat di bawah konsep dan paradigma community forestry / social forestry dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya lokal.

Download Full Artikel : kehutananmasyarakat_konsep_peluang_tantangan.pdf

Perkembangan Kehutanan Sosial Dan Kehutanan Masyarakat

Category : Makalah

Menarik sekali melihat fenomena pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Dibandingkan dengan penanganan sumberdaya alam lainnya, sumberdaya hutan (SDH) relatif lebih “di obok-obok” oleh publik, dan hal ini sekaligus memberi petunjuk bahwa berbagai ragam perubahan memang diharapkan juga oleh istansi kehutanan, walaupun sering sekali perubahan itu hanya di definisikan sendiri oleh institusi tersebut. Publik melihat SDH sering dengan perspektif masing-masing, bahkan sering sekali dilihat dengan kepentingan masing-masing. Cara publik melihat ini telah melahirkan ragam pengertian dan konsep pembangunan kehutanan. Setuju atau tidak, sepanjang pengamatan yang kami lakukan, peranan tekanan luar negeri dan kehadiran LSM dalam sektor SDH, secara signifikan telah mendorong perubahan-perubahan pemikiran. Tulisan ini berusaha mengurai berbagai macam pemikiran yang gamang tentang beberapa istilah dan praktik antara kehutanan konvensional (Classical forestry / timber management), kehutanan sosial (social forestry), dan kehutanan masyarakat (community forestry). Tidak hanya pemikiran yang akan diketengahkan dalam tulisan ini, tetapi praktik lapangan juga akan diuraikan.

Pelaksanaan SF di Indonesia sebagai hasil dari tekanan internasional, terutama jika dikaitkan dengan upaya-upaya mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan. Berbeda dengan kehutanan masyarakat (KM) yang dilaksanakan atas inisiatif masyarakat sendiri untuk waktu yang sudah sangat lama, tingkat keberhasilannya jelas dan terukur secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Katakanlah model PARAK dan KHEPONG di Lampung (damar, buah-buahan, dan hutan campur), hutan rakyat, merupakan contoh tidak terbantahkan yang muncul di tengah masyarakat Indonesia. Adopsi nama HKm oleh pemerintah sebagai representasi CF harus diwaspadai, sebab dapat saja kasus program PS menimpa KM karena intervensi pemerintah yang salah dan serba mengatur dan diatur dari Jakarta. Siapapun tidak boleh merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan KM di seluruh Indonesia tanpa melibatkan mereka-mereka yang sesungguhnya sudah melaksanakan praktik KM tersebut. Tantangan KM di Indonesia adalah bagaimana menyelesaikan konflik-konflik tenurial mereka dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Jika persoalan tenurial ini tidak diselesaikan maka hanya FRUSTASI yang diperoleh masyarakat, dan pemerintah akan rugi karena tekanan atas sumberdaya hutan akan semakin besar dari masyarakat. Kita diminta memilih sekarang, maju atau mundur untuk memperjuangkan kehutanan masyarakat sebagai paradigma dalam proses pembangunan sumberdaya hutan di Indonesia.

Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat perkembangan ragam pemikiran, konsep dan praktik-praktik pembangunan kehutanan yang berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat yang pernah ada dan yang sedang berjalan di Indonesia pada khususnya. Jika diperhatikan istilah kehutanan sosial sudah muncul sejak tahun 1978 ketika sebuah tema kongres kehutanan sedunia ke-8 di Jakarta adalah forest for people. Tema ini bergema ke seluruh dunia, dan baru mendapat perhatian dalam implementasinya tahun 1986 di Indonesia. Jadi kesadaran orang Indonesia tersentuh oleh tema itu setelah 8 tahun kongres berlangsung. Sebab zaman itu adalah zaman Boom minyak, dan Boom kayu, yang hampir setiap orang melupakan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Download Full Artikel : perkembangankehutanansosial.pdf

Ekonomi Politik Konservasi Sumberdaya Hutan

1

Category : Makalah

Apabila kita semua pernah membaca sebuah buku dari Nancy Peluso berjudul Rich Forest Poor People pastilah akan muncul rasa penasaran, mengapa buku tersebut muncul. Buku tersebut telah dipublikasi sekitar 15 tahun yang lalu, dan anehnya tidak banyak orang yang berkecimpung di sumberdaya alam yang membaca buku tersebut sampai habis tuntas. Buku ini ditulis dengan data-data sejak zaman kolonial belanda sampai zaman pemerintahan orde baru sedang berjaya. Kajian yang bertema sosial dan antropologis ini menyajikan informasi yang sangat tidak pernah dibayangkan oleh ahli-ahli kehutanan domestik di Indonesia. Hampir di semua kampus yang ada ilmu kehutanan dan Departemen Kehutanan pada saat itu (1970-1990) membanggakan model-model eksploitasi hutan yang dilakukan oleh HPH, tetapi terendus aroma tidak sedap datang dari sistem pengelolaan hutan yang paling tua di Jawa yang dipangku oleh Perhutani, bahwa banyak sekali rakyat miskin yang hidup di sekitar hutan negara di Jawa, hutan yang kaya karena komoditi jati, hutan yang dikelola dengan cara yang feodalistik. Produksi kayu jati terus meningkat dengan memperluas areal penebangan, pendapatan perisahaan Perhutani meningkat juga, sementara benefit dari eksploitasi tersebut tidak adal yang “menetes” langsung ke masyarakat. Nancy mengatakan something wrong dalam sistem pengelolaan hutan di Jawa, sebab pada waktu itu belum ada istrumen kebijakan pengelola hutan yang menjamin adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Instrumen meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat ditentukan oleh sikap pimpinan, bukan sikap sistematis yang dituangkan dalam sistem Perhutani.

Disinilah kita tahu bahwa pembangunan sumberdaya hutan di Jawa menimbulkan paradoks, dia menimbulkan bekas luka yang menghitam dan sukar dikembalikan ke bentuk semula. Satu sisi jargon pembangunan seolah-olah melakukan perubahan tetapi pihak lain menindas kelompok orang yang terpinggirkan. Masyarakat yang tergusur pemukimannya di Jakarta menganggap bahwa mereka korban pembangunan. Seorang pemborong bangunan, jalan raya , dan reboisasi menjadi “kaya” hidupnya karena berkah pembangunan. Macam-macam pendapat orang tentang pembangunan. Apa artinya pembangunan? Pembangunan adalah usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya terutama sekali bidang material. Dengan benar jika ada orang mengatakan bahwa pembangunan itu sesungguhnya merupakan kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi. Ukuran pembangunan antara lain (a) kekayaan rata-rata dengan ukuran seperti GNP (gross national product), PDB (Produk domestik bruto). (b) Pemerataan, dan (c) Kualitas kehidupan (dengan ukuran rata-rata harapan hidup, setelah umur 1 tahun, rata-rata jumlah kematian bayi, dan rata rata prosenrase buta dan melek huruf. (d) Kerusakan lingkungan; dan (e) Keadilan sosial dan kesinambungan.

Pendekatan ekonomi politik konservasi sumberdaya hutan masih belum menjadi “domein” penting dalam pembangunan sumberdaya hutan di Indonesia. Taman Nasional sering menjadi pilihan model pengelolaan kawasan konservasi sumberdaya hutan di Indonesia oleh pemerintah. Sayangnya konsep Taman Nasional ini bukan konsep orsinil Indonesia, tetapi meminjam konsep barat dan negara-negara maju, yang konteks politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, seluruhnya berbeda dengan Indonesa, tentu berbeda dengan Jawa Tengah, dan pastilah berbeda dengan situasi yang dihadapi oleh desa-desa di lereng Timur Merbabu.

Alternatif yang dapat dipilih untuk mengembangkan kawasan lereng Timur Merbabu yang berbatasan dengan 12 desa dan puluhan ribu jiwa penduduk adalah meneguhkan pilihan pembangunan kawasan lestari yang dipandu oleh pendekatan ekonomi politik konservasi kawasan Merbabu (integrasi kawasan rakyat dan kawasan negara). Wujud tindakan pengelolaan kawasan tersebut mengikuti paradigma CBFM dengan strategi utama menerapkan model CI (kolaborasi para pihak). Indikator yang digunakan dalam mewujudkan CI tersebut adalah mengembangkan kriteria dan indikator lokal dan pada hal-hal tertentu kriteria dan indikator lokal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip universal.

Ketentuan konservasi dalam tata aturan perundang-undangan di Indonesia yang terkait dengan konservasi sifatnya sangat global dan lebih kuat pada paradigma “mono interpretatif” dan sangat berat pada memperjuangkan kepentingan negara dan pemerintah, belum seimbang dengan kepentingan masyarakat kecil dan miskin, yang akses pada sumberdaya hutannya lemah. UU Kehutanan dalam konteks konservasi belum menerima eksistensi manusia / masyarakat sejajar dengan elemen ekosistem lainnya (hewan dan vegetasi), manusia masih dipandang sebagai ” the other” (makhluk asing dan makhluk lain dalam ekosistem hutan). Pandangan ini merupakan mitos lama yang harus disempurnakan. Kini saatnya rakyat angkat bicara untuk menentukan kawasan konserasi lingkungan mereka sendiri, tanpa tekanan dan kepentingan yang mengatasnamakan “globalisasi” tetapi anti rakyat. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat membuka mata dan hati kita semua betapa pentingnya kawasan konservasi yang dibangun secara demokratis, adil dan berkelanjutan.

Download Full Artikel : ekonomipolitiksdh.pdf