Harus diakui secara terbuka bahwa masa lalu kegiatan kehutanan memang didominasi oleh arus pemikiran “timber” , dan itu semua karena political economic yang adalah adanya keharusan untuk pemenuhan kebutuhan pasar. Pandangan ini dalam banyak lieteratur dianggap pandangan primitive kehutanan, dan di Ilmu Kehutanan Negara maju, sudah sejak tahun 1970-an mengalami perubahan paradigmatik yang mendasar.
Akibat pandangan primitif tersebut memang fatalistik, sebab kemudian ilmu kehutanan berkembang kearah yang sangat sempit yaitu bagaimana meningkatkan pendapatan hanya bersandar pada nilai ekonomi kayu semata. Hutan hanya dilihat dari aspek ekonomi kayu, sementara nilai-nilai ekonomi non-kayu dan nilai nilai lainnya sangat tidak diperhatikan. Dalam kurikulum pendidikan kehutanan di Indonesia sampai tahun 2002, suasana keilmuan yang dikemas dalam kurikulumnya, masih sangat dipengaruhi oleh citra “kayu” tersebut. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa pada periode timber minded tersebut tidak ada upaya-upaya pengembangan ilmu kearah pentingnya konservasi dan perlindungan sumberdaya alam hutan, hanya saja konsep yang terakhir ini tidak menjadi primadona pada masa lalu.
Membaca situasi dan tantangan pembangunan kehutanan di Indonesia, maka lembaga pendidikan kehutanan harus “merias wajahnya” dengan wajah yang lebih familiar dengan keadaan riil di lapangan dan masyarakat. Namun demikian melakukan perubahan kruikulum tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena menyangkut berbagai interest dan kepentingan, terutama sekali kepentingan para pihak yang terkait dengan sumberdaya alam, dan yang paling ironis sebenarnya adalah karena banyak para dosen tidak memahami dunia nyata kehutanan dan kurang paham arah perubahan ke depan. Dapat saja ini penilai kami yang subyektif, tetapi itulah kenyataannya. Dosen terlalu banyak membaca buku dari Negara maju dan melakukan foto copi ilmunya, yang banyak tidak cocok dengan alam kepulauan seperti Indonesia. Ilmu kehutanan yang berkembang di Perguruan Tinggi Kehutanan (PTK) di Jawa, pastilah tidak sempurna dan tidak dapat mewakili persoalan seluruh Indonesia. Orientasi pada PTK Jawa dapat saja menjadi “berhala” baru bagi PTK di luar Jawa, sebab mengulangi kesalahan baru yang dilakukan oleh PTK Jawa yang pada awalnya banyak berorientasi pada western knowledge.
Kebijakan masa depan pendidikan Tinggi Kehutanan tidak saja didasarkan pada kebijakan formal dari pemerintah, tetapi kebijakan juga datang dari proses-proses internal organisasi PTK di UNRAM. Sebagai Program Studi Kehutanan baru tentu saja masih banyak hal yang harus dibenahi seperti kebijakan pemerintah mana yang harus di acu, kelembagaan seperti apa yang sesuai untuk trumbuh kembangnya program studi Kehutanan, pengembangan sumber daya manusia (SDM) mahasiswa, pegawai, dan staf pengajar, kualitas staf pengajar seperti apa yang akan dikembangkan, manajemen pengetahuan seperti apa yang diperlukan oleh ekosistem Nusa Tenggara pada khususnya dan ekosistem Indonesia pada umumnya, Kurikulum PS Kehutanan yang seperti apa yang akan menjadi “selling point” bagi PS Kehutanan di Unram, dan harus ada kesadaran sejak awal bahwa moralitas dan profesionalitas lembaga PS Kehutanan hanya dapat diwujudkan jika prinsip dan aplikasi good university governance (GUG) dapat diterapkan secara baik dan benar. Semoga makalah singkat ini dapat membuka wacana diskursus yang memadai. Terima Kasih atas perhatian semua pihak.
Download Full Artikel : masadepanpendidikantinggikehutanan.pdf