Sertifikasi Kompetensi Kerja Kehutanan Dan Peran Persaki

1

Category : Makalah

Tindakan seseorang untuk mencapai tujuannya haruslah terukur dengan baik. Seorang ahli perpetaan untuk dapat dikatakan kompeten jika mampu menghadirkan sebuah “peta” rupa bumi yang informative. Seorang Dokter manusia dapat dikatakan memiliki kompetensi baik jika mampu menggunakan pengetahuan profesinya untuk menyembuhkan / menangani pasien yang sedang sakit di bawah keahliannya (jantung, internis, bedah umum/tulang, anak, THT, Gigi, Anestesi, kandungan, dll). Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang dapat menyembuhkan SDH yang sedang dalam keadaan “sakit” ? inilah pertanyaan besar bagi setiap orang yang bekerja di sektor kehutanan dan bagi ahli madya / sarjana kehutanan. Pertanyaan penting ini harus mendapat jawaban secara serius oleh kelompok kompetensi kerja kehutanan.

Seseorang lulus dari universitas pada jenjang pendidikan S1, S2 dan S3 belum dapat dikatakan memiliki kompetensi kerja. Jika kita periksa dokumen setiap program studi pendidikan tinggi pastilah ditemukan adanya kompetensi yang diharapkan (diturunkan dari visi dan misi). Kompetensi umumnya adalah sbb: “lulusan S1 mampu memahami pengetahuan bidang kehutanan, dan dapat menerapkan pengetahuan tersebut dalam dunia kerja”. Muncul pertanyaan masih perlukah sarjana kehutanan diuji kompetensinya?
Adanya sistem sertifikasi kompetensi kerja merupakan mandatori dari UU.No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 18 UU No. 13/2003 sbb:

  1. Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setekah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja;
  2. Pengakuan kompetensi kerja dilakukan melalui sertifikasi kompetensi;
  3. Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman;
  4. Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang independen.

Dalam melaksanakan tugasnya BNSP dapat memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang memenuhi persyaratan kelembagaan dan teknis. Aspek kelembagaan mencakup LSP dibentuk oleh para pihak yang berkepentingan (pemerintah, swasta, industri, dll) dan memiliki badan hukum. Sudah terbentuk “Lembaga Sertifikasi Profesi Kehutanan Indonesia (LSP-HI)”, sudah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis, serta masih menunggu proses penilaian oleh BSNP.

Untuk memperoleh sertifikasi kerja, setiap pekerja profesi (kehutanan) harus melalui satu uji kompetensi yang dilaksanakan oleh LSP-HI. Ciri-ciri professional dalam kompetensi kerja kehutanan adalah : (1) pekerja adalah orang yang terlatih; (2) memberikan jasa untuk public; (3) pekerja memiliki sertifikat; dan (4) pekerja merupakan anggota organisasi profesi.

Apa sesungguhnya manfaat sertfikasi kompetensi kerja di bidang kehutanan? Manfaat sertifikasi kompetensi kerja (SKK) adalah: (1) dapat menjadi jaminan untuk rekruitmen tenaga kerja kompeten; (2) dapat menjadi dasar penetapan gaji / remunerasi; (3) dapat menjadi dasar untuk pengembangan karier tenaga kerja; dan (4) dapat menjadi acuan untuk perundingan Mutual Recognition Arrangement antar Negara dalam rangka kesepakatan WTO dan AFTA.

Apa implikasi sertifikasi kompetensi kerja kehutanan bagi lembaga / organisasi kehutanan dan para pekerja kehutanan? Karena mandatori UU No.13/2003 tersebut maka setiap seseorang yang bekerja di sektor kehutanan HARUS memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh LSP sektor kerja kehutanan, yang dalam hal ini LSP-HI. Alumni Akademi Kehutanan, jenjang pendidikan D3, Jenjang pendidikan S1, S2, dan S3, yang bekerja di profesi kehutanan (pemerintah, BUMN, swasta dan industry), seharusnya mengikuti uji kompetensi kerja profesi. Dalam konteks lembaga Dinas Kehutanan, Perhutani, Inhutani, HPH, HPHTI, konsultan kehutanan, dll, semuanya menjadi obyek dari sertifikasi kompetensi kerja kehutanan. Pada saatnya siapapun yang akan menjabat sebagai Kepala Dinas Propinsi dan kabupaten, Kepala Bidang, Kepala Seksi, dan lain-lain di satuan kerja profesi kehutanan, harus memiliki sertifikat kompetensi kehutanan (tidak mempersoalkan kealumnian, agama, etnik, bahasa, kaya, miskin, tim sukses, harus multidimensi untuk nasionalisme Indonesia). Otonomi daerah BUKAN hambatan bagi seseorang untuk bekerja secara professional, asalkan memiliki kompetensi kerja profesi kehutanan. Uji coba sertifikasi kompetensi kerja profesi kehutanan akan dimulai tahun 2009 di Perum Perhutani oleh LSP-HI, karena Perhutani dipandang lembaga yang paling siap untuk uji kompetensi.

Download Full Artikel : SertifikasiKompetensiKerjaKehutanan.pdf

Konstruksi Pengetahuan Dan Unit Manajemen Hutan Rakyat

Category : Makalah

Dasar-dasar manajemen secara umum mengandung empat elemen penting untuk mencapai tujuannya yaitu: (1) perencanaan; (2) organisasi pelaksana kegiatan; (3) tindakan dari perencanaan; dan (4) pengawasan pelaksanaan kegiatan. Elemen atau unsur-unsur manajemen tersebut lebih sesuai diterapkan untuk satuan manajemen perusahaan berskala menengah dan besar. Namun demikian, tidak berarti usaha bisnis skala kecil tidak memerlukan unsur-unsur manajemen tersebut. Usaha skala kecil atau usaha skala menengah dan besar akan memiliki kebutuhan sama pada unsur-unsur tersebut. Skala usaha sebetulnya menentukan pengambilan keputusan model manajemen yang layak dipakai untuk mencapai tujuan usaha tersebut. Perbedaan skala bisnis hanya menentukan ruang lingkup usaha dan jangkauan dari bisnis tersebut.

Biasanya usaha skala kecil akan mengalami kesulitan ketika usaha tersebut hanya berdiri sendiri dan tidak membangun jaringan dengan unit usaha skala kecil lainnya. Sementara usaha skala menengah dan besar sudah dapat menjalankan usahanya dengan baik tanpa harus berjaringan dengan usaha-usaha sejenis. Dengan demikian yang mencirikan kemajuan usaha-usaha skala kecil terletak pada kesadaran membangun jaringan usaha dan kemudian membesarkan jaringan tersebut untuk kepentingan anggota jaringan.

Tentu saja penguasaan pengetahuan, teknologi, modal, dan informasi dalam usaha skala kecil selalu lebih rendah dibandingkan para usaha skala menengah dan skala besar. Artinya aspek sumberdaya manusia dalam usaha skala kecil selalu berada jauh di bawah usaha skala menengah dan besar. Namun demikian, tidak pula secara otomatis semua usaha skala kecil selalu lebih rendah, lebih jelek, kurang bermutu, dan lebih tidak bijak dibanding usaha skala menengah dan skala besar. Sebagai contoh, kasus manajemen (pengelolaan) sumberdaya hutan rakyat yang berkategori usaha bisnis skala kecil, skala individu, atau skala keluarga. Manajemen hutan rakyat ternyata mampu menjamin stabilitas lingkungan alam, sistem sosial bekerja secara bersama-sama, sistem kehidupan, dan sistem sosial politik yang lebih stabil dan berkelanjutan.

Sifat usaha hutan rakyat yang individual membentuk usaha pengelolaan sumberdaya alam yang individual action. Model pengelolaan yang bersifat individual ini jika tidak terkendali dapat menyebabkan tindakan over exploitation pada sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu model pengelolaan hutan rakyat yang individual ini perlu segera diarahkan menjadi tindakan collective action. Lembaga pengelola hutan rakyat tidak lagi hanya individu, tetapi menjadi sebuah lembaga dari kumpulan-kumpulan individu. Harapannya kelembagaan ini mampu menjamin kelestarian sumberdaya alam demi kepentingan pemilik hutan rakyat, ekonomi rakyat, dan lingkungan hidup sekitarnya. Namun perubahan sifat pengelolaan hutan rakyat yang semula individual menjadi tindakan kolektif mengalami kesulitan dan memerlukan waktu yang lama. Oleh karena itu, perlu mengembangkan intervensi berbagai program dan kegiatan untuk mempersiapkan terbentuknya unit manajemen hutan rakyat yang berciri model manajemen yang collective action.

Download Full Artikel : KonstruksiPengetahuanUnitManajemenHutanRakyat.pdf

Rasionalisasi Pengurusan Hutan Indonesia

Category : Makalah

Sumberdaya hutan di Indonesia saat ini berada dalam satu fase tekanan yang amat serius akibat dari perubahan sistem pemerintahan dan perkembangan ekonomi, politik, sosial dan teknologi. Jika tidak segera dipersiapkan dan diantisipasi dengan cerdas, sistematis, berani, kalkulatif, dan bertanggung jawab, maka dapat dipastikan fungsi hutan sebagai pensuplai materi kehidupan, pengawetan alam, konservasi alam, sumber plasma nutfah, sumber obat-obatan masa depan manusia, pengatur stabilitas iklim global, dan pengatur sumber air, akan segera musnah dari bumi Indonesia. Pasti semua hal di atas tidak kita inginkan.

Rimbawan Indonesia harus segera ambil posisi atas cepatnya laju deforestasi dan degradasi hutan selama ini di Indonesia. Rimbawan Indonesia, dan diharapkan dimotori secara profesional oleh Rimbawan UGM, maju tampil ke muka untuk memulai secara tegas, tegar dan berani. Rimbawan UGM juga harus consisten, istiqomah, jujur, memiliki konsep yang matang dan aplikatif, memahami kepentingan politik nasional dan lokal, dan berempati kepada masyarakat miskin, khususnya yang hidup bergantung lepada sumberdaya hutan.

Posisi yang sangat perlu diambil oleh Rimbawan Indonesia adalah berani ambil posisi dalam pengurusan sumberdaya hutan Indonesia melalui kalkulasi strategis terhadap luasan hutan Indonesia yang benar-benar secara scientific based dapat dipertanggung jawabkan. Pengurusan dan pengelolaan hutan ke depan harus didasarkan pada kajian-kajian ilmu pengetahuan (scientific based), bukan sepenuhnya bersandar pada justifikasi profesionalisme. Tafsir atas profesionalisme tidak cukup hanya dengan “berijazah sarjana kehutanan atau lainnya”, tetapi harus lebih dari itu bahwa pengetahuan dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan, dan perkembangan ilmu pengetahuan hanya akan terjadi jika didasarkan atas penelitian-penelitian pada dunia nyata.

Rasionalisasi pengurusan sumberdaya hutan Indonesia sangat dekat dengan profesionalisme rimbawan tersebut. Rimbawan Indonesia tahu persis bahwa sebagian besar kebijakan pembangunan kehutanan sejak tahun 1970-an telah dilahirkan atas dasar “merasa profesional dalam bidang kehutanan”. Contoh paling nyata adalah pemanfaatan hutan alam tropis dengan sistem HPH pada awalnya tidak didasarkan atas penelitian yang akurat, tetapi didasarkan atas toeri-teori yang sudah berjalan di beberapa negara. Kaum intelektual yang memperoduksi pengetahuan juga memiliki andil kesalahan dalam pemanfaatan hutan tropis luar jawa pada masa Orde Baru. Tetapi pengambil kebijakan, instituĂ­s pemerintah sebagai lembaga yang memperoduksi regulasi dan pengawas pelaksanaan pembangunan, memiliki andil kesalahan yang paling besar. Ke depan mereproduksi kesalahan tersebut sudah harus tidak diulang lagi oleh siapapun. Saat ini rimbawan Indonesia sudah memiliki pengalaman banyak untuk tidak membuat kesalahan baru.

Mengambil posisi merasionalkan pengurusan hutan Indonesia sangat penting. Karena : (1) start from now, rimbawan jangan disibukkan dengan konflik kawasan antar instansi pemerintah dan antar kehutanan dengan masyarakat. Rimbawan bertanggung jawab melestarikan SDH; (2) Rimbawan harus ambil bagian dalam ikut mengurangi jumlah warga masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural dan kemiskinan relatif; dan (3) rimbawan adalah warga Indonesia yang tahu hutan lebih banyak dari warga lainnya (they know more about forest), ini adalah kebanggaan, tetapi harus dibuktikan dalam praktik (realitas menunjukkan sebalikknya, rimbawan belum mampu membuat hutan lestari). Oleh karena itu beranikah Rimbawan UGM ambil posisi mendorong pengurusan hutan Indonesia atas dasar realitas kawasan yang ada saat ini, tidak statusquo dan tidak ragu-ragu untuk menggunakan data-data realistik yang mutakhir.

Pertanyaan dasar dalam makalah ini adalah: (1) Berapa luas penutupan kawasan hutan Indonesia yang akan menjadi pijakan pengurusan hutan dan pelaksanaan jangka benah; (2) apakah tahapan pengurusan hutan sudah menjadi tekad rimbawan?; (3) Bagaimana prediksi perbaikan hutan tingkat tapak sampai tahun 2045?; dan (4) Sampai berapa lama waktu yang diperlukan untuk jangka benah kelembagaan agar hutan tertata dengan baik?

Download Full Artikel : RasionalisasiPengurusanHutanIndonesia.pdf